Rasa melawan realita, kadang tidak seimbang. Seringnya manusia memenangkan rasa, dalam kesehariannya. Yang memakai realita butuh perjuangan untuk diskusi mencari titik temu. Malahan sering tidak menemukan kesepakatan. Hanya berhenti begitu saja diskusinya, tanpa ada keputusan bersama. Kecenderungan yang mengidolakan rasa, inginnya dituruti kemauannya. Tidak mencoba untuk sedikit memahami realita.

Fenomena yang terjadi, pecinta rasa akan menyalahkan realita. Tidak mau menerima realita, apapun dasar pikirannya. Bahkan yang ditakutkan, pecinta rasa sampai membenci realita. Padahal sudah sangat mafhum, bahasa jawanya, mudeng dengan kondisi yang sedang terjadi. Sampai ada kejadian, penganut realita bercanda, ditanggapi oleh penganut rasa sebagai sebuah statemen yang serius.

Setiap kebijakan itu melihat keadaan. Misalnya, karena ada virus corona, maka santri untuk sementara tidak boleh ditengok. Kalau kondisi normal, setiap bulan pesantren memberikan fasilitas ketemu orang tua dua kali. Saat keadaan pandemi ini, fasilitas bertemu sementara dicabut. Darto yang anaknya berada di pesantren, juga mendapatkan imbas kebijakan tersebut. Pemahaman Darto, saat yang menang adalah rasa, seolah tidak mau tahu. Pokoknya obat rindu adalah bertemu. Rindunya sudah menjadi hantu. Hal ini berarti, Darto mengartikan rasa sayang itu, kurang tepat. Mestinya kesehatan menjadi pertimbangan utama, karena kondisi belum aman. Rasa sayangnya, dengan cara tidak memaksakan diri bertemu Darti. (bersambung).