Ari Susanah

Ari Susanah, adalah seorang guru juga sebagai ibu rumah tangga. Hobinya menulis sejak SD membuat ia semakin semangat untuk bergabung dengan grup KPPBR (Komunita...

Selengkapnya
Navigasi Web

Giga Gajah Mandiri

Giga Gajah Mandiri

 

Oleh: Ari Susanah, S.Pd.

 

(Part 2)

 

 

 

Sementara itu, penduduk gajah berusia lanjut yang tidak bisa ikut mencari makanan ke tepi hutan, menunggu anggota keluarga mereka dengan duduk sambil mengibas-ibaskan ekor dan telinganya karena siang hari begitu panas.

 

Keadaan pepohonan di hutan semakin kering. Yang tersisa tinggal dedaunan tinggi di antara pepohonan besar yang sudah berusia ratusan tahun. Sedangkan rerumputan semakin langka, tumbuhan perdu pun tinggal mennjadi ilalang tanpa daun. Hutan kering semacam ini sangat rawan terjadi kebaran. Jika tersulut api sedikit saja, pasti bisa memicu kebakaran besar dalam hutan tersebut. Sehingga binatang-binatang yang berada di hutan menjadi semakin menderita, hidup mereka pun kian hari semakin berat.

 

Matahari merangkak tinggi menandakan siang hari semakin panas terik menyengat kulit. Ayah Gajah dan kelompoknya dengan gigih mneyabet semua dedaunan di tepi hutan dekat dengan sebuah danau yang airnya pun hampir mengering karena kemarau yang berkepanjangan. Selain membawa dedaunan mereka juga mengisi belalai-belalai mereka dengan air dari danau tersebut. Setelah makanan yang mereka dapat dirasa cukup banyak, mereka memutuskan untuk kembali ke dalam hutan di mana keluarga mereka telah menunggu.

 

Sang surya nampak sedikit condong ke barat ketika gajah-gajah itu tiba di sarang mereka. Keluarga mereka oun menyambut dengan penuh suka cita, termasuk Ibu Lala dan Kakak Giga. Ibu Lala nampak terharu dan bahagia karena Ayah Gaga telah kembali dengan selamat. 

 

Sedangkan Kakak Giga langsung saja menyambut dedaunan dan menyantapnya dengan begitu lahap karena lapar. Sementara Ayah Gaga menyemburkan air ke tubuh anaknya. Mereka semua bersyukur, meskipun keadaan semakin sulit, namun masih dapat berkumpul untuk mneikmati makanan bersama keluarganya. 

 

"Semoga makanan ini dapat bertahan paling tidak untuk sepekan". Kata Ayah Gaga sambil mengusap kepala Giga yang basah kuyup dengan belalainya.

 

"Setelah sepekan nanti, sudah waktunya kita berpindah tempat Ayah " sela Ibu, "tapi Ibu ragu apakah Ibu mampu melalui perjalanan ini?" Lanjut Ibu.

 

"Kandungan Ibu sudah semakin besar, lagi pula kita mau berpindah tempat kemana? Bukankah hutan juga sudah semakin sempit?" Jawab Ayah kemudian.

 

Semua terlihat diam seketika, Ayah dan Ibu terlihat sedang berpikir.

 

"Lebih baik kita tetap bertahan di sini sampai Ibu melahirkan." Kata Ayah mengakhiri percakapan.

 

Hari berlalu dan berganti malam, semua hewan-hewan penduduk hutan kembali ke sarangnya. Suasana hutan di waktu malam sungguh gelap gulita tanpa cahaya. Hanya sesekali cahaya bulan yang belum begitu sempurna purnama terlihat jelas terlihat melintas menerangi kegelapan dalam susana remang dan damai. Karena langit di musim kemarau begitu bersih tanpa kabut dan awan. 

 

Namun udara musim ini begitu dingin menusuk tulang, menyebabkan semua larut dan terlelap dalam istirahat malamnya.Kecuali hewan-hewan malam (Nochturnal) yang masih beraktifitas mencari mangsa di malam hari. Suara-suara serangga malam pun makin menambah syahdu suasana hutan.

 

Di antara hewan-hewan malam yang masih terjaga, ternyata Ibu Lala belum bisa memejamkan matanya. Dengan matanya yang kecil, dia berusaha melihat dalam kegelapan ditemani redup cahaya rembulan. Dia pandangi wajah suaminya, kemuadian pandangannya beralih ke anaknya. Mereka terlihat begitu pulas tertidur. Tak terasa menetes air matanya, sambil mendekam kaki kanannya yang sakit berusaha dia luruskan. Lalu dia elus lembut perutnya dengan belalainya. Seakan tahu Ibunya sedang terjaga, bayi gajah dalam kandungannya pun bergerak pelan.

 

Ibu Lala benar-benar tidak bisa menyembunyikan kesedihannya akan keadaan mereka saat itu. Namun dia hanya pasrah dan bersabar kepada Tuhan, karena dia yakin bahwa ini semua adalah kehendak Sang Pencipta alam semesta. Dia berdoa dan berharap semoga ada manusia baik yang mau memperhatikan nasib mereka. Nasib semua binatang di muka bumi ini. Ketika memandang wajah anaknya, Giga, Ibu Lala menjadi teringat kenangan ketika dia masih menginjak usia remaja. Saat itu dia sangat ceroboh ingin memetik buah kelapa sawit yang sengaja ditanam oleh manusia di sebuah perkebunan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow, kisah haru sang gajah. Masih berlanjut. Sukses selalu dan barakallahu fiik

12 Jul
Balas



search

New Post