Arni Susanti Oktavia

Lahir di Soppeng, 2 Oktober 1984. Sekarang menjadi tenaga pengajar pada SMK Negeri 2 Wajo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Catatan Pendek untuk Perjalanan Panjang
Bersama Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi.

Catatan Pendek untuk Perjalanan Panjang

"Yaa Allah....berilah aku kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan".

Kira-kira seperti itulah doa yang kirapalkan ketika mengakhiri salat. Itu penutup doa setelah meminta kesehatan, keberkahan usia, kebahagiaan dan kebermanfaatan bagi sesama. Dan Allah selalu membayar lunas semua pintaku.

Entah harus menulis apa, menjelaskan apa, memikirkan apa. Ada ribuan kosakata berseliweran di telinga tapi tak juga bisa singgah barang sejenak di kepala. Energiku terkuras habis hari ini. Tidur pukul 01.00 malam, terbangun pukul 03.30 dini hari, kemudian berkemas untuk sebuah perjalanan yang sebelumnya tidak ada di dalam rundown acara. Tiba-tiba saja komentar Pak Menteri mengisi WA grup, menginformasikan kalau kami diundang di Bogor, untuk melihat kegiatan AKSI di Gumati Resort Sentul-Bogor dan berakhir dengan insiden berdesak-desakan demi berswafoto dengan Presiden RI yang ketujuh dan dua orang Menteri yang paling sering muncul di TV sejak perhelatan Asian Para Games dan Kompleksnya Permasalahan Pendidikan di Indonesia.

Jakarta - Bogor Bus 1 sampai 5 melaju kencang membelah jalan protokol yang masih lengang dikawal mobil patroli Polisi. Ternyata Jakarta itu cantik tanpa macet. Jakarta itu seksi ketika matahari belum sempurna menampakkan sinarnya. Semua lekuk kota terlihat jelas. Gedung pencakar langit, mal dan pasar tradisional, sampai gubuk kumuh terlihat jelas. Tak ada kerumunan manusia yang berdesakan mengantre di halte Busway. Tak ada tumpukan mobil di jalan dan kicauan klakson yang memekik di telinga. Pohon di tepi jalan pun baru saja melakukan tugasnya, membagi oksigen untuk makhluk bernyawa di sekitarnya. Sebagai perempuan kampung, wajar saja jika sepanjang jalan wajahku kulekatkan baik-baik di kaca jendela. Takjub!.

Tiba di Bogor dengan penuh sukacita, bisa menyaksikan AKSI yang dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo, bisa berswafoto dengan Pak Menteri. Terimakasih yaa Allah.

~Kembali ke Golden Boutique Hotel ~ Perjalanan pulang tak seindah perjalanan ketika pergi. Pasalnya, jalanan mulai ramai, matahari sudah meninggi, dan perut mulai berdangdut. Kalian pernah merasakan perut berdangdut tidak? Kalau belum, cobalah tak menyarap sampai pukul 12.00 siang. Aku yakin, tak hanya musik dangdut yang akan kau dengar, mungkin ada musik lain seperti keroncong, jazz dan rock. Sudahlah, itu tidak penting!.Tiba di hotel dengan badan yang mulai gemetar, kami malah ke ruang Kongres. Ada beberapa info yang disampaikan Panitia, setelah itu lanjut makan siang, salat dan seperti biasa. Kami terbenam di ruangan ini untuk melanjutkan Kongres. Untuk memudahkan pembahasan, Komisi dibagi dua. Sy memilih Komisi Satu. Duduk menatap moderator, sekertaris dan screen proyektor yang dipenuhi tulisan dengan kondisi perut setengah penuh, membuat mata merem melek.

Azan magrib menggema, masih dengan pembahasan materi Kongres yang belum kelar. Waktu berjalan lambat sore ini. Apa karena kelelahan fisik? Atau, jangan-jangan karena anak-anak rindu mulai merindukan pelukan induknya? Entahlah. Yang kutau pasti, sampai tulisan ini kuketik di gawaiku, ingatanku melayang-layang, menjelajah Jakarta, lalu melintas ke Bogor, menyeberang ke Makassar, berlari ke Pitumpanua dan akhirnya kembali mendarat di kamar 901. Kamar yang menyimpan rapi ceritaku di Golden Boutique Angkasa. Seprainya yang putih, lampunya yang temaram, pendingin ruangannya yang bergemuruh seperti suara mesin pesawat yang bersiap untuk lepas landas. Kuyakin kau tak percaya. Ayoooo...kesini. Coba buktikan sendiri gemuruhnya. Kamar ini menjadi saksi betapa pelukan hangat itu bisa kita ciptakan sendiri. Yah...memeluk diri sendiri ketika rindu mulai menjarah seperdua bagian otak.

Dan di ruangan ini, ruangan Kongres yang luasnya sekitar 150 persegi, diterangi dua lampu hias yang besar, kalau kutaksir seharga 750dollar per lampu. Ditambah jejeran lampu kecil yang jumlahnya 60 lampu. Selain mendengar sidang Komisi, pekerjaanku malam ini menghitung luas ruangan dan lampu. Sungguh, perasaanku itu tidak keruan. Serasa ada yang hilang dibalik bahagia sehari. Ada sesuatu yang luput dari jangkauan, padahal -sesuatu- itu memang gak pernah benar-benar kugenggam. Aku merasa bersalah pada otakku yang harus lelah mengkotak-kotakkan hal yang penting, stengah penting dan sangat penting. Kurasakan ada yang kosong di dadaku. Entah apa namanya. Sejak awal kusampaikan, aku tak tau harus bagaimana, tak tau mau menjelaskan apa. Yang bisa kurasakan dengan jelas hanya Rindu, selebihnya adalah perasaan-perasaan yang tak mampu kujabarkan. Maukah kau memberi solusi?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post