Artha Kristanti

Mengajar di SMPN 5 Yogyakarta, salah satu keberuntunganku. Ditengah tengah siswa cerdas, membuat aku tidak boleh berhenti belajar dan berinovasi. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
GAMERS

GAMERS

“ Saya suka main game, karena apapun yang saya lakukan di game tersebut selalu mendapat reward,” kata salah satu narasumber di sebuah acara talk show terkenal dari salah satu stasiun TV swasta. Aku heran, dengan alasan yang sangat sederhana itu. “ Saya tidak suka belajar, karena saya hanya akan dapat reward jika nilai ulangan sempurna,” lanjutnya lagi. Deg....jantungku hampir berhenti, aku langsung membayangkan suasana di kelas saat nilai ulangan kubacakan. Aku hanya memberi reward bagi siswaku yang nilainya 100. Yang dibawah 100, pujianpun tidak kuberikan. Bahkan saat bertanya seusai mengoreksi, aku selalu berkata salah berapa, bukan benar berapa. Aku malu pada diriku sendiri. Selanjutnya, narasumber itu juga mengaku walau jago main game, tetapi prestasinya tetap membanggakan. Dia termasuk siswa peraih medali OSN dari salah satu SMP di sebuah kota besar. Runtuh sudah image yang aku bangun. Gamers adalah siswa yang bodoh.

Beberapa tahun kemudian, aku mendapatkan siswa serupa. Namanya Yudhistira, kami biasa memanggil Yudhit. Ibunya pernah berkonsultasi tentang hobi anaknya main game. Dia ingin anaknya menghentikan dan fokus belajar. Aku langsung lihat nilai ulangannya, dan ternyata selalu diatas sembilan. Lha kurangnya dimana? Aku malah menjadi bingung. Beruntung imageku tentang siswa yang hobi main game sudah runtuh. Aku bisa lihat sisi yang lain. Tetapi aku tidak berani langsung membantah argumen ibu tersebut. Pelan-pelan aku jelaskan bahwa pretasi akademik anaknya tidak perlu di kawatirkan. Malah hampir sempurna, kurang apa lagi. Kok jadi lebay begitu

Ponselku bergetar. Setelah aku buka, ternyata ibunya Yudhit. “ Selamat sore Ibu, apakah bisa membantu saya,”terdengar suara gugup lewat ponselku. Ibunya Yudhit sedang kesulitan mengajak pulang anaknya dari warnet. Dia meminta aku untuk membujuk Yudhit agar mau pulang. Yudhit sudah hampir dua minggu selalu ke warnet. Pulang kerumah hanya untuk mandi dan ganti baju. Maklum saat itu liburan sekolah. Apa yang salah dari Yudhit? Kenapa sampai harus meminta aku untuk menjemputnya. Aku malah jadi penasaran.

“Selamat malam,” ada suara dari balik pintu. Setelah aku buka ternyata sopir Yudhit . Aku langsung berkemas, dan pamit suamiku. Di dalam mobil aku banyak bertanya tentang kegiatan Yudhit. Ternyata benar cerita ibunya, bahwa dia jarang pulang selama liburan. Lebih banyak di warnet dari pada di rumah. Untuk makan dia hanya pesan mie instant dari penjaga warnet dan dimakan sambil main game. Yudhit jarang minum, karena tidak mau sering ke toilet. Oh Yudhit, kamu bisa sakit Mas. Aku mulai mencemaskannya. Saat mobil masuk halaman, didepan pintu Ibu Yudhit sudah menungu. “ Selamat malam Bu,” katanya sambil memelukku. Wajahnya muram, aku tahu yang dipikirkan.

Kami langsung berangkat ke warnet langganan Yudhit. Tidak jauh dari rumahnya. Sampai di depan warnet, ibu Yudhit tidak mau ikut masuk. Dia kuatir tidak bisa mengendalikan diri kemudian melabrak penjaga warnet. Wah bisa kacau, kalau itu terjadi, kami dapat berurusan dengan polisi . Tuduhannya berbuat onar. Aku segera turun dan masuk ke warnet. Dadaku langsung sesak, bagaimana tidak, ruangan ber AC tetapi hampir semua pengunjung merokok. Yudhit, walau kamu tidak merokok tetapi udara yang kamu hirup sudah tercemar. Aku berguman sendiri. Aku cari disetiap bilik, belum juga ketemu. Sampailah dibilik paling ujung yang tidak berpintu, aku temukan Yudhit. Rambutnya berantakan, wajahnya tegang, dan bajunya lusuh. Diatas meja bertumpuk mangkuk kotor, mungkin bekas tempat mie instant. Sangat pelan, aku tepuk pundaknya sambil berkata, “ Mas, ayo pulang”. Spontan dia menoleh, wajahnya memerah saat melihat wajahku. “Tapi,”protesnya. Sepertinya dia ingin menolak pulang. Segera aku pegang tangannya, dengan tajam aku tatap matanya. Sekuat tenaga aku keluarkan energi karismatik sebagai seorang guru. Dan berhasil, dia langsung mematikan komputer, mengambil dompet dan beranjak ke kasir. Aku membuntuti dari belakang. Segera aku gandeng masuk mobil. Agar tidak memancing amarah ibunya, aku suruh dia duduk di jok depan. Aman, batinku

Aku minta pak sopir berhenti di restoran cepat saji yang buka 24 jam. Aku cari kursi di lantai dua. Mencoba mencari tempat yang jauh dari lalu lalang orang. Sengaja aku tinggal ibunya di mobil. Aku tidak ingin ada keributan di restoran karena amarahnya pada anaknya. “Mas....kenapa kamu tidak pernah pulang, main game terus menerus,”kataku membuka membicaraan. Yudhit makan ayam goreng dengan lahap, tampak sekali kalau dia kelaparan. Dalam waktu singkat piringnya sudah bersih. Aku sodorkan sup krim hangat yang kupesan. Ternyata dia menyukainya. Kutunggu jawaban Yudhit. Dia tetap diam. Aku ulang lagi pertanyaanku, sambil pegang pundaknya. “Ibu...saya hanya ingin refresing setelah belajar keras selama satu semester,”jawabnya lirih. Dia menjelaskan bahwa waktu ini sangat tepat melakukan hobinya. Jika tidak liburan sekolah tidak mungkin dia main game sampai puas. Akses internet tidak disediakan di rumah. Game di ponsel nya tidak lagi menantang. Hanya di warnet dia bebas memilih jenis game yang disuka. Dia merasa diterima apa adanya saat main game. Tidak ada yang menuntut jumlah skornya harus sempurna. Tidak ada yang marah jika kalah dalam permain. Bahkan selalu dapat reward untuk sekecil apapun aktiviatas yang dia lakukan di dalam permaian. Sangat berbeda dengan apa yang dialami saat harus sekolah. “Ibu, apa salahnya saya main game saat liburan ini,” katanya. “ Apakah masih kurang, menuruti perintah mama, belajar terus menerus selama satu semester,” ratapnya. Yudhit menunduk, kulihat punggungnya bergetar. Aku tahu dia menangis. Kusodorkan tisu, tetapi dia menolaknya. Dengan lengan bajunya dia hapus airmatnya. Lirih sekali dia jelaskan, rasa malunya karena dijemput guru dan kemarahannya pada ibunya.

“Yudhit, kenapa harus malu, “kataku sambil menepuk nepuk punggungnya. Aku jelaskan bagaimana ibunya sangat mengkuatirkannya bukan karena Yudhit tidak mau belajar. Tetapi karena dia tidak mau pulang. Tidak mau makan. Tidak lagi peduli kepada keluarga. Sibuk dengan dunianya sendiri. Wajahnya selalu murung, omongannya kacau. Tidak bisa fokus jika berbincang dengan kakak, adik bahkan kedua orang tuanya. ”Mas, Ibumu kuatir kalau kamu sakit,”jelasku lagi. Yudhit mulai tenang. Guru memang punya tanggung jawab untuk mengingatkan siswanya. Salah satu mitra orang tua dalam mendidik. Aku lanjutkan memberi nasehat. Main game tidak dilarang, tetapi harus ingat waktu. Walaupun libur bukan berarti hanya game satu satunya pilihan berkegiatan. Aku ceritakan jika orang tuanya ingin mengajaknya berlibur ke Medan. Berkunjung ke kampung halaman Bapaknya. Aku tunggu reaksi Yudhit dengan nasehat panjangku. Tak kuduga dia merangkul punggungku sama seperti kalau anak laki-lakiku merajuk. Ach... Yudhit, kamu sudah ambil hati ibu, berubahlah Nak agar kedua orang tuamu tidak lagi mengkuatirkanmu. Aku doakan dia dalam hati.

Hari Senin, aku datang lebih awal. Aku bersiap siap mengikuti upacara bendera. Tiba-tiba ada seorang laki-laki muda tinggi besar berpakaian rapi masuk ke ruang guru. “Ibu pasti lupa dengan saya,” kata laki-laki muda itu sambil menjabat tanganku. Aku tidak pernah lupa dengan senyumnya. Laki-laki itu adalah Yudhistira, gamersku yang pintar. Dia minta maaf karena tidak bekerja di bidang yang sesuai dengan ijazahnya. “Saya sudah persembahkan ijazah dan sertifikat saya sebagai dokter untuk mama saya”, katanya tegas. Aku kaget bukan kepalang. Ragu antar ingin memberi selamat karena dia sudah menjadi dokter atau karena dia sudah merdeka dari target ibunya. “Mas, jangan hidup dengan kemarahan,”kataku sambil mengajaknya duduk. Aku kembali ingatkan untuk memaafkan ibunya jika bersalah. Tetap menghormati dan menyayanginya. Yudhit, Gamersku sekarang sedang merintis karier di bidang yang dia sukai. Bersama teman-temannya membangun industri animasi. Bidang yang sangat dekat dengan dunia game. Aku kembali belajar untuk menjadi guru yang harus memahami keinginan siswanya. Walau tetap memberi pandangan-pandangan agar siswa tidak salah memilih keinginan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih Bu Artha .......tulisan yang bisa membuka hati dan pikiran saya sebagai seorang guru dan seorang ibu.

02 Feb
Balas



search

New Post