Artha Kristanti

Mengajar di SMPN 5 Yogyakarta, salah satu keberuntunganku. Ditengah tengah siswa cerdas, membuat aku tidak boleh berhenti belajar dan berinovasi. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menjadi Guru Bagi Semua

Menjadi Guru Bagi Semua

Saat itu kami sedang menginap di salah satu hotel di Magelang. Mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh sebuah instansi dibawah Kemendikbud. Seusai sarapan kami foto-foto di lobi hotel. Aku baru saja diminta pak Bandi mengambil foto dia dan teman-temannya. “ Pak, ini lihat dulu hasilnya, jika kurang bagus akan kuulang,” kataku dengan riang sambil menyodorkan kameranya. Aduhhhh,” aku menjerit. Bu Tri mencubit pahaku keras sekali. Aku kaget, bukan karena sakit dicubit. Tetapi menjadi ingat kalau Pak Bandi seorang tunanetra. “ Maafkan saya Pak, “ kataku sambil mengambil tangannya lalu kujabat erat. Tidak sedikitpun kulihat amarah diwajahnya, dia tersenyum lalu malah mengajakku berfoto bersama. Lega rasanya, artinya dia sudah memaafkan aku. Aku kembali teringat kejadian lain yang pernah kualami saat menjadi pengawas Ujian Nasional.

Hari itu hari kamis, aku duduk bertiga disebuah ruangan salah satu SMPN didekat sekolahku. Hatiku gundah bukan main. “Nomor dua Bu,”katanya lembut. Aku tersentak. Siswa yang ada didepanku adalah siswa Low Vision. Saat masuk SMP pengihatannya tinggal satu mata. Lama kelamaan mata tersebut juga melemah. Akhinya saat kelas sembilan dia tidak bisa melihat sama sekali. Hanya bisa membedakan terang dan gelap, dia kesulitan untuk melihat benda-benda apalagi membaca. Ada solusi untuk pindah ke SLB tetapi tidak memungkinkan lagi, karena waktu Ujian Nasional sudah dekat. Akhirnya saat menempuh Ujian Nasional soal dibacakan guru sekolah lain yang di tugaskan mengawasi disekolahnya. Aku dan salah satu teman guru mendapat tugas itu. Dalam hati timbul pertanyaan bagaimana siswa ini atau siswa tunanetra yang lain mempersiapkan diri mengahadapi Ujian Nasional. Bagaimana caranya mereka berlatih mengerjakan soal. Dari mana mereka memperoleh saol latihan. Sedangkan siswa di sekolahku begitu sibuk mengerjakan soal latihan. Kalau dihitung bisa puluhan paket soal sudah mereka kerjakan.

Aku tidak tahu tugas itu menyenangkan atau menyedihkan. Yang pasti hatiku tiba-tiba galau. Ada perang batin antara membantunya untuk bisa memilih jawaban yang benar atau hanya sekedar membacakan soalnya saja.Tanganku mulai berkeringat. Tiba-tiba ruangan menjadi panas. Padahal hari masih pagi dan semua pintu maupun jendela terbuka lebar. “Tuhan tolonglah aku,” doaku dalam hati. “Nomor dua Bu,” katanya berbisik. Aku tersentak, sambil meminta maaf. Kembali aku melihat soal. Aduh bagaimana aku harus membacakannya kalau dalam soal ada gambar alat ukur neraca sama lengan. Kemudian ada skala hasil pengukuran massa. Aku memutar otak, mencari cara agar siswa itu bisa memahami soalnya. Soal berikutnya tentang kalor, dimana ditampilkan grafik kalor terhadap suhu. Kembali aku memutar otak untuk membuat dia paham. Aku mengambarkan grafik itu dengan tiga pensil. Kemudia aku minta dia meraba pensil-pensil itu. Dilanjutkan memasukan rumusnya dan mengitung besaran yang ditanyakan. Sangat sulit karena dia tidak bisa menghitung dengan mencoret-coret di kertas. Semua harus dilakukan di luar kepala. Soal –soal yag lain makin sulit di pahamkan. Karena banyak gambar yang tidak bisa dibaca untuk diaudiokan. Aku jadi sangat sedih. Diam-diam aku menangis, untung dia tidak bisa melihatku. Disela-sela membacakan soal, sebentar-sebentar aku menatap tajam ke pintu yang terbuka. Saat itu kami memang sedang jadi pusat perhatian. Ada pengawas independen yang selalu menengok diruangan ini. Bahkan pada hari pertama, kegiatan siswa tersebut diliput oleh TVRI. Akhirnya aku punya cara untuk menolongnya, jika jawabnya belum betul aku akan mengajak dia memikirkan ulang jawabnya. Tetapi jika jawabannya sudah betul, aku langsung memindahkan ke lembar jawab komputer. Sayangnya siswa itu tidak paham dengan maksudku. Kadang dia tetap pada jawabnya walaupun sudah aku minta memikirkan ulang. Dengan sedih aku pindahkan jawabannya sesuai pilihanya. Aku punya komitmen untuk tidak menolongnya dengan mengubah jawabannya yang salah dengan jawaban yang aku anggap benar. Aku inggin jika dia berhasil lulus, itu hasil pekerjaannya bukan karena jawabanku. Dengan cara itu aku dapat kembali tenang tidak dikejar rasa bersalah.Tetap bisa bersikap jujur tetapi bisa menolongnya. Tahun itu sekolahku kembali diperingkat satu provinsi untuk rerata Ujian Nasional. Tetapi tidak tahu kenapa aku lebih bahagia saat mendengar siswa Low Vision yang aku dampingi tersebut berhasil lulus Ujian Nasional. Terimakasih Tuhan aku sudah diberi kesempatan menjadi gurunya.

Pengalaman itu membuat aku menjadi makin peduli dengan siswa berkebutuhan khusus terutama penyandang tunanetra. Tuhan menjawab doaku, ketiak mendapat undangan dari suatu instansi dibawah Kemendikbud untuk menulis naskah soal latihan Ujian Nasional bagi siswa tunanetra. Aku akan menjadi guru mereka bukan di kelas dengan mengajar tetapi menjadi guru dalam bentuk yang lain.Tugas itu aku terima dengan sukacita dan bertekad mengerjakan dengan sebaik mungkin. Harapanku akan makin banyak siswa tunanetra mendapatkan soal latihan Ujian Nasional. Sehingga mereka bisa lulus degan nilai sama baiknya dengan siswa normal. Saat itu kami sempat kaget, karena ternyata standar ketuntasan lulusan untuk siswa tunanetra sama dengan untuk siswa normal. Bahkan soal yang harus dikerjakan juga sama dengan soal siswa normal. Ini tidak adil protesku. Tetapi apa boleh buat, aku tidak tahu harus mengadu kemana

Proses pembuatan soal latihan Ujian Nasional siswa tunanetra sama seperti membuat soal latihan Ujian Nasional siswa normal. Dimulai dari membedah standar kompetensi lulusan untuk dapat dibuat kisi-kisi. Kemudian menyusun naskah soal berdasarkan indikator yang terdapat dalam kisi-kisi. Naskah soal yang sudah ditelaah akan diproduksi sehingga menjadi bentuk audio. Siswa tunanetra sangat terbantu dengan soal audio tersebut. Mereka tidak lagi tergatung pada orang untuk membacakan soal latihan. Soal audio tersebut dapat diputar oleh siswa tunanetra dimana saja dan kapan saja sesuai keinginan mereka. Bahagia rasanya membayangkan siswa tunanetra terlayani dengan baik.

Ternyata program pelayanan untuk siswa tunanetra tidak hanya menyediakan soal audio. Program berikutnya adalah mengaudiokan buku teks pelajaran, atau dikenal denga nama Audiobook. Aku kembali diundang. Senang rasanya kembali menjadi guru mereka kembali. Tim pembuatan audiobook terdiri dari penulis soal, pengaji materi, pengaji media dan pemproduksi. Kerja kami bertahap, mulai dari mencari buku referensi, memilih materi, menulis naskah dan mengkaji materi maupun mengaji media. Yang terakhir akan memproduksi dalam bentuk audio. Harapannya audiobook tersebut akan bermanfaat bagi siswa tunanetra . Sehingga mereka bisa belajar lebih mudah. Menjadi guru bagi semua ternyata sangat membahagiakan. Aku akan menunggu program apa lagi yang disiapkan bagi siswa tunanetra agar mereka bisa makin mudah belajar.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Salut atas tekadnya

02 Dec
Balas



search

New Post