Artha Kristanti

Mengajar di SMPN 5 Yogyakarta, salah satu keberuntunganku. Ditengah tengah siswa cerdas, membuat aku tidak boleh berhenti belajar dan berinovasi. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Paspor  Sang Guru

Paspor Sang Guru

PASPOR SANG GURU

“Untuk apa kamu buat paspor,” kata Rini sahabat karibku dengan nada canda. “Tidak usah bermimpi untuk ke luar negeri, katanya lagi sambil merebut formulir pengisian bio data. Rini hanya ingin membuat aku tahu diri. Agar jangan pernah berharap seperti Esti yang dosen sebuah PTS ternama, Fajar pengusaha kaya apalagi Retno seorang dokter spesialis. Mereka semua adalah teman-temanku SMA. Dari posting foto-fotonya aku tahu setiap tahun mereka bepergian ke luar negeri. Baik perjalanan dinas ataupun liburan pribadi. Tidak bolehkan aku bermimpi hanya karena aku seorang guru SMP. Aku ingin buktikan dapat seperti mereka. Tuhan ijinkan mimpiku terwujud. Aku nekat mengisi bio data sebagai syarat pembuatan paspor. Rini menyerah.

Kisahku dimulai saat sekolahku ditunjuk untuk menyelenggarakan kelas ICT. Sebuah kelas yang semua pembelajarannya menggunakan teknologi informasi (IT). Aku dipercaya sebagai salah satu pengelolanya. Kelas ICT merupakan kelas unggulan sekolahku. Siswanya harus diseleksi dengan tes psikologi maupun tes akademik. Salah satu syarat sekolah dapat memiliki kelas ICT harus memiliki sister school dari luar negeri. Dari sebuah seminar internasional , kami mendapat sister school di Korea Selatan. Kegiatan dimulai dengan hubungan komunikasi online siswa kelas ICT dengan siswa SMP di Korea Selatan tersebut. Dilanjutankan kunjungan persahabatan. Kunjungan SMP dari Korea Selatan kesekolahku mengawalinya. Kegiatan itu berlangsung sangat istimewa. Kami mengajak mereka memainkan gamelan, membuat kerajinan rotan, memasak makanan khas Indonesia sampai belajar membatik. Mereka sangat antusias, apalagi saat kami ajak berkunjung ke destinasi wisata budaya kota kami. Setahun kemudian kami diundang untuk mengunjunginya. Karena aku salah satu pengelola maka otomatis aku ikut dalam kunjungan tersebut. Impianku terwujud sudah. Pasporku terpakai untuk pertama kalinya dan aku yakin akan ada negara tujuan lainnya lagi.

“Listrik dinamis”, teriak temanku saat membuka kertas undianku. Saat itu kami mengundi materi yang akan kami pakai dalam peerteaching. Aku bersorak gembira, karena materi itu baru saja aku dikusikan dengan Prof Dr Heru Kuswanto salah satu konsultan program RSBI di sekolahku. Peerteaching itu sangat penting karena sebagai alat untuk menyeleksi guru-guru IPA untuk dikirim Bimtek di luar negeri. Saat itu pilihannya Malaysia atau Australia. Aku bertekad untuk lolos sehingga dapat menggunakan pasporku untuk yang ketiga kalinya. Setelah beberapa bulan sebelumnya aku terpilih mewakili sekolah untuk studi banding di sebuah sekolah menengah di Singapura. “Ayo ikut, ke jembatan Suramadu,” teriak salah satu temanku dari Jawa Tengah. Ternyata malam itu seusai kegiatan bimtek mereka berencana melihat jembatan yang baru saja diresmikan. Aku tolak dengan halus, karena ingat tekadku malam itu akan mempersiapkan peerteaching sebaik mungkin. Seperti biasa Bu Rini membantu untuk mengoreksi presentasiku dalam Power Point. Sementara aku sibuk siapkan media pembelajarn untuk eksperimen. Aku beruntung sudah membawa banyak alat dari sekolah. Tidak heran barang yang aku bawa saat itu dua koper. Temana-temanku tidak tahu jika salah satu koperku berisi media pembelajaran dari laboratoriumku. Hampir jam tiga pagi semua persipan sudah fix. Aku tinggal mempersiapkan mental sehingga tidak grogi saat peerteaching.

Sainganku sangat berat. Guru-guru hebat dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan.Saat giliranku maju, aku lakukan dengan sebaik mungkin. Beruntungnya materi yang aku ajarkan sangat kontekstual. Mudah dihubungkan dengan kejadian sehari-hari. Tuhan menolongku karena saat itu teman-temanku yang berperan sebagia siswa sangat kooperatif. Model pembelajaran yang aku pakai membuat mereka terhanyut dalam kegiatan belajar yang menyenangkan. Dengan presentasi Power Point yang interaktif seluruh siswa bisa terlibat secara aktif dari awal sampai akhir. Bu Rini yang saat itu ikut membantu menyeleksi tersenyum puas. Aku bahagia saat dia acungkan jempol. Malamnya separuh mimpiku terwujud, karena aku lolos untuk melanjutkan seleksi tahap kedua yaitu wawancara. Dan sebulan kemudian datanglah surat pemanggilan untuk mengikuti bimtek di Recsam, Penang, Malaysia. Aku dinyatakan lolos seleksi. Pasporku aku gunakan lagi.

Prgram RSBI dihentikan. Berita itu aku dengar dari Breaking News sebuah stasiun Televisia Swasta Nasional. Habis sudah impian untuk bimtek di Australia. Impian terakhirku untuk menggunakan paspor selama ada program RSBI. Tetapi tidak tahu kenapa aku masih punya keyakinan suatu saat dapat belajar di Australia. Kusimpan keyakinan itu sebagai sebuah harapan

“Siapa yang dikirim sekolahmu”, kata temanku guru Biologi SMPN 8. Sore itu aku dikagetkan telepon temanku. Aku bingung kerena tidak punya informasi apapun dari tata usaha. Ternyata temanku dikirim sekolahnya untuk mewakili program Short Course di Australia. Semalam aku tidak bisa tidur, siapakah yang akan dikirim kepala sekolah mewakili sekolahku. Apakah aku akan terpilih. Semalam terasa seperti seribu malam saat itu. Paginya aku ketemu bu Rini yang dulu pernah menjadi ketua pengelola program RSBI. Sepertinya dia tahu kalau aku galau. Dia menceritakan jika kepala sekolah masih belum dapat memutuskan siapa yang akan dikirim. Sebenarnya tidak begitu sulit untuk menentukan karena yang diminta guru Fisika. Guru itu juga harus terlibat dalam pembinaan OSN Fisika. Hanya aku yang masuk dalam kriteria itu. Tetapi kenapa belum juga diputuskan?. Bu Rini sudah berusaha mencoba menyakinkan kepala sekolah jika aku memenuhi syarat. Untuk makin menyakinkan dia memberi nomor ponsel konsultan RSBI dari salah satu universitas di kotaku. Sehari, dua hari, tiga hari aku menunggu dengan hati gemas. Ada apa ini? Apa salahku, sampai kepala sekolah kesulitan membuat keputusan. Tetapi sebenarnya aku maklum karena kepala sekolahku baru menjabat beberapa bulan. Pasti masih belum mengetahu kemampuanku. Aku tunggu dengan sabar. Bagiku jika Tuhan sudah menentukan tidak ada yang bisa menghalangi. Tetapi jika Tuhan belum ijinkan , apapun usahaku akan sia-sia. “ Bu dipanggil Pak Kepala Sekolah”, teriak salah satu temanku seusai menerima telepan intrekom di ruang guru. Aku segera lari menuju ruangan kepala sekolah. “Silahkan masuk” terdengar suara dari dalam ruangan. Aku segera masuk dan duduk di depannya. “Bu, saya akan mengirim ibu untuk memenuhi undangan dari Direktorat ke Australia”, katanya. Deg, jantungku hampir berhenti. Akhirnya Paspor guru akan aku pakai lagi.

Saat kisah ini aku tulis, sebenarnya aku baru saja menolak tugas mendampingi siswaku untuk berkunjung ke sebuah sekolah menengah di Jepang. Keputusan yang sangat berat aku ambil. Dua alasan yang aku berikan, yang pertama aku butuh biaya besar untuk kuliah anak sulungku, dan yang kedua aku tidak bisa meninggalkan anak bungsuku yang sedang mempersiapkan ujian akhir sekolahnya.

Harapan berkunjung ke luar negeri bagi seorang guru tetap terbuka lebar.Saat ini jika ada guru yang berprestasi, negara akan memberi penghargaan dengan mengirim guru tersebut untuk belajar di luar negeri. Ayo para guru, kita tingkatkan kompetensi kita dan kita raih sebanyak mungkin prestasi. Paspor kita akan selalu dipergunakan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post