Arwis yuliana

Mengajar di SDN. 04 Batu Payuang, Kec. Lareh Sago Halaban, Kab. Lima Puluh Kota. Sebelumnya pernah mengajar di SDN. 03 Koto Lamo, Kec. Kapur IX dan &nbs...

Selengkapnya
Navigasi Web

Antara Gunuang Sago Dan Bukik Oguang

BAGIAN PERTAMA

Sore itu cuaca terlihat mendung. Terlihat dikawasan Gunuang sago hujan sudah mulai turun. Dengan malasnya Kemuning keluar dari pekarangan rumahnya. Ia harus pergi ke Jorong Kapalo Bukik untuk menagih cicilan dari usaha menjual pakaian yang selama ini ia lakukan. Ya, kemuning selain menjadi tenaga honor disalah satu sekolah negeri. Ia juga menjual pakaian jadi secara kredit untuk tambahan pendapatannya.

Baru keluar dari pekarangan rumah. Ia bertemu dengan Fadil anak tetangganya yang berumur lima tahun. “Ada hantu mak..!”, kata Fadil pada ibunya sambil menunjuk ke arah batang rambutan yang ada di rumah kemuning. “Loh..nak Fadil, mana ada hantu siang-siang begini sayang?”. Ujar Kemuning pada anak kecil itu.

Fadil masih ketakutan sambil sekali-kali matanya melirik ke pohon rambutan milik Kemuning.“Ada hantu mak...!”ulang Fadil pada emaknya yang membimbing tangan Fadil. Kemudian Fadil digendong oleh emaknya. Sambil membelai kepala Fadil. “Nggak ada hantu Fadil sayang..tuh cuma ada kupu-kupu di atas rantingnya”. Kata emak Fadil sambil menunjuk ke arah kupu-kupu yang bertengger di atas ranting rambutan.

“Mau kemana Ning?. Kok udah rapi banget?”. Tanya emak Fadil pada Kemuning. “Biasa ni, aku mau jalan ke jorong sebelah, untuk jemput tagihan minggu ini”. Jawab Kemuning dengan santun. “ooh, begitu?. Kamu kagak bawa payung ning?. kayaknya mau hujan nih”. Tanya emak Fadil yang dipanggil uni oleh Kemuning. “Nggak ni !. paling hujan hanya di sekitar gunung saja”. Jawab Kemuning sambil memandang ke atas langit.

“Kalau begitu Kemuning pergi dulu ya ni”. Kata Kemuning sambil berlalu meninggalkan emak Fadil yang sedang menggendong anaknya. “oh ya, silahkan”. Jawab Emak Fadil.

Kemuning kemudian melangkahkan kakinya sambil sesekali menghela nafas panjang. Matanya terlihat berkaca-kaca. “Tuhan, berilah aku kesabaran menghadapi ujian ini”. Do’anya dalam hati. Terbayang dipelupuk matanya orang yang diharapkan untuk jadi pendamping hidupnya akan bersanding dengan wanita lain. Luka dan perih terasa dalam lubuk hatinya. Namun luka dan perih itu ia simpan dalam hatinya. Ia hanya dapat mengadukan kesedihan itu pada Yang Kuasa.

Kemuning terus melangkahkan kakinya. Sakit dalam hatinya biarlah ia tanggung sendiri. Namun walaupun demikian perjalanannya masih panjang. Ia tidak harus putus asa hanya karena dikecewakan seorang pria. Ia harus melanjutkan perjuangannya, apalagi ia adalah anak tertua di keluarganya. Harapan keluarga sudah pasti tertumpu padanya suatu saat nanti.

Hujan mulai turun rintik-rintik. Kemuning sudah sampai di rumah seorang langganannya. “Assalammu’alaikum W.W”. Panggil kemuning sambil mengetuk pintu. “Wa’alaikum salam”. Terdengar jawaban dan suara langkah kaki menuju pintu. Kreek... pintu rumahpun terbuka.

“Oh..Kemuning, silahkan masuk dek”. Sapa yang punya rumah yang tak lain bernama Linda pada kemuning. “Trimakasih kak”. Jawab Kemuning sambil mengikuti yang punya rumah masuk ke dalam. Karena hujan mulai semakin deras. “Numpang berteduh dulu ya kak”. Kata Kemuning kemudian. “Ya, silahkan duduk Ning”. Kata kak Linda pada Kemuning. “Ning, cicilan hutang kakak untuk hari ini kakak lunasi ajalah Ning. Mumpung kakak dapat rejeki yang lebih”. Kata kak Linda pada Kemuning kembali.

“Alhamdulillah kak, kalau begitu”. Jawab Kemuning sambil mengambil buku catatan kredit yang di simpannya dalam tas.

“Kakak mau ambil apa lagi?, ini ada beberapa Mukena dan baju tidur yang Kemuning bawa. Kalau kakak berminat. Boleh, silahkan dulu dilihat”. Kata Kemuning kembali.

“Maaf Ning, untuk saat ini, kakak belum berminat. Nanti aja. Masalahnya, anak kakak lagi butuh biaya untuk masuk sekolah beberapa bulan lagi. Jelas kak Linda pada Kemuning.

“Ya, udah. Nggak apa-apa”. Kata kemuning kembali. Hujan semakin deras saja. Kemuning ingin melanjutkan perjalanannya. Namun terhalang oleh hujan deras. Selang beberapa waktu, hujanpun mulai reda.

“Kak, kayaknya hujan sudah mulai reda nih. Aku pamit dulu ya”, kata Kemuning sambil menyodorkan tangannya pada Linda untuk bersalaman. “Ya, trimakasih ya Ning, udah memberi kemudahan buat kakak selama ini. Kalau ada kekurangan kakak selama ini, tolong dimaafkan ya”. Jawab Linda sambil menjabat tangan Kemuning. Kemuning kemudian meninggalkan rumah Linda. Dalam hujan yang masih rintik-rintik, Kemuning lalu pergi menuju warung Eli. Eli juga adalah pelanggan Kemuning. Sampai di warung Eli. Tiba-tiba kemuning dan Eli serta beberapa orang yang duduk di warung itu terkejut. Ada suara seperti angin kencang menderu-deru. Namun ketika dilihat kesekitar, tak ada yang terlihat.

“Suara apa ini Ya?”. Kata Eli sambil melihat-lihat sekitar. Jangan-jangan ada yang terjadi. Semua yang ada di warung hanya kebingungan mendengar suara aneh itu. Tiba-tiba kemuning melihat Saudara-saudara sepupunya dari Batu Sibulati pada berlarian. Ia bingung melihat mereka. Apalagi ketika melihat sepupunya Yeni yang sedang hamil besar berlarian sambil kakinya berdarah.

“Ni Yen, mau kemana?. Ada apa?. apa yang terjadi?”. Tanya Kemuning sambil berlari menghampiri saudara sepupunya yang terlihat ketakutan. “Anu Ning, rumah kita mungkin sekarang sudah hancur. Tak ada lagi yang tertinggal Ning. Ada banjir bandang di kampung kita Ning, hu..hu..hu.. kata Yeni sambil menangis tersedu-sedu. Yeni tak menghiraukan kakinya yang berlumuran darah. Ia hanya ingin melanjutkan larinya.

Kemuning kemudian menggenggam tangan kakak sepupunya. “Ni Yen, tunggu disini saja. Disini aman. Tak akan terjadi apa-apa disini”. Kata kemuning kepada Yeni yang kelihatan masih panik. Kemuning kemudian meminjam sebuah kursi untuk diduduki Yeni. Yenipun mulai tenang. Sedangkan Kemuning masih memanggil-manggil saudara sepupunya yang lain. Yang berlarian tak tau arah. Kemuning akhirnya dapat mengumpulkan saudara-saudara dan tetangganya di warung Eli.

Yeni kemudian menceritakan pada Kemuning. Kejadian yang menimpa kampung mereka. “Waktu itu aku lagi menyapu halaman. Kemudian aku merasa tanah bergoyang, lalu kakak iparmu Oyong memanggilku untuk lari. Aku melihat dari arah gunung Sago, ada air setinggi batang pohon kelapa sedang bergerak ke arah kami. Akupun melihat tetangga dan saudara kita yang lain sudah berlarian. Akhirnya akupun memanggil Ikhsan yang sedang tidur. Ikhsan langsung berlari keluar rumah. Aku yang sedang hamil tidak terlalu kuat untuk berlari. Hingga di tengah jalan, air sudah sampai didekatku. aku hampir terbawa arus air yang deras. Untung kakakmu cekatan, kemudian ia langsung menolongku, walaupun aku sudah terjatuh dan berdarah. Aku tak perduli lagi dan tidak pula melihat kebelakang lagi. sekarang, entah bagaimana keadaan dikampung kita. Mungkin semuanya sudah ludes dibawa arus banjir ”. Kata Yeni menjelaskan pada Kemuning.

Kemuning kemudian memperhatikan saudara dan tetangganya. Iapun teringat akan emak, dan adiknya yang dirumah. Dengan penuh kecemasan kemuning kemudian bertanya pada tetangganya. “Ni Dela, emakku mana? Terus adikku juga mana? Apa mereka baik-baik saja? Pertanyaan itu dilontarkan begitu saja pada Dela tetangganya. “Etek tadi ada di gudang heler Tuti. Adikmu juga di sana. Kamu nggak usah panik Ning, Insya Allah..mereka baik-baik saja”. Kata Dela pada Kemuning.

Tidak lama kemudian, dari belakang warung. Banjiir.. tolong... banjiir... seorang wanita berteriak ketakutan. Kemuning kemudian menghampiri dan memeluk wanita itu yang dalam kepanikkan. “Ni Susi, Istighfar”. Kata Kemuning sambil memeluk wanita itu. “Anakku buk Kemuning... Dodi tadi pergi kerumah neneknya. Mungkin sekarang dia sudah dibawa arus bu..”. kata Susi itu kembali sambil menangis.

Kemuning menenangkan Susi yang sangat cemas akan anaknya. Sebenarnya Kemuningpun mencemasi emak dan adiknya yang ada di rumah. Namun ia yakin kalau emak dan adiknya baik-baik saja. Iapun menghibur Susi sampai Susi tenang.

Waktu Maghrib sudah hampil menjelang. Kemuning akhirnya mengajak saudara dan tetangganya untuk menuju Masjid. Merekapun shalat berjamaah di Masjid. Selesai melaksanakan shalat Magrib kemuning baru lega. Ia melihat emaknya sedang mengurut salah satu tetangganya. Kemudian kemuning menghampiri emaknya.

“Mak, gimana keadaan di rumah kita mak?”. Sapa kemuning pada emaknya. “Alhamdulillah rumah kita aman ning. Cuma ternak dan sawah kita yang dibelakang rumah sudah pada hanyut”. Jawab emak kemuning dengan sedih. “Tak apa-apa mak, yang penting kita selamat. Muning yakin ini adalah ujian dari Allah buat kita. Semoga kita semua bisa sabar menghadapi ujian ini. Kata kemuning menghibur emaknya. Emak Kemuning mengangguk dengan pikiran kosong. Entah apa yang dipikirkannya. Akhirnya pada malam itu semua penduduk tidur di dalam Masjid dengan resah gelisah menungg datangnya pagi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Subhanallah, banjir menghanyutkan kampung Bunda yah. Sabar insya Allah, ini skenario-Nya. Sukses selalu dan barakallahu fiik

12 Aug
Balas

iya bund... Peristiwa beberapa tahun yang lalu... Insya allah bisa dijadikan sebuah buku...

12 Aug

Saya baca cerita bunda seakan-akan ada disana, bagus rangkaian kata dan alur ceritana. Bagaimana keadaan kampungnya sekarang bunda?

10 Sep
Balas

trmksh bund, supportnya. Alhamdulillah sudah seperti sedia kala, sukses buat kita semua, salam literasi

10 Sep



search

New Post