askolani

Askolani Nasution. Lulus IKIP Padang, 1993. Menulis cerpen di Majalah “Anita Cemerlang”, Majalah “Tiara”, dll. Sejak tahun 1987. Jua...

Selengkapnya
Navigasi Web
Episode Merah Ungu

Episode Merah Ungu

EPISODE MERAH UNGU

Oleh : Askolani

Mungkin orang-orang ingin memanggilku, mau menyabarkanku dengan segala macam nasehat hidup. Mungkin juga tak ada yang peduli. Aku tak tahu. Itu memang tak penting. Dalam ketersisihan seperti ini yang dibutuhkan bukanlah kalimat-kalimat kesabaran, tetapi sesuatu yang bisa melegakan.

Josephine boleh bangga menendangku. Seluruh perempuan boleh bersorak. Aku terluka, biar saja! Tidak setiap waktu orang harus segar bugar. Kukira, kesakitan dan ketersisihan, hanya satu jalan untuk tambah memahami hidup yang lebih bijaksana.

Ah! Puah dengan hidup! Puah dengan bijaksana! Puah dengan Josephine! Aku cuma perlu sebuah tempat untuk menjejali mulutku dengan rokok.

Rokok masih bergiliran di mulutku. Entah sudah berapa batang. Aku tak sempat menghitungnya. Sejak kecil aku memang tak suka berhitung. Barangkali bibirku sudah lebam. Mungkin juga pecah-pecah. Soalnya, aku merasa bibir bawahku lebih berat dari biasanya. Ah, biar saja! Biar!

Nafas kutarik keras-keras. Serasa memasukkan seisi kota ke paru-paru.

Uh, surat Josephine itu masih juga melindasku! Laki-laki itu akan segera menikahiku, Tigor, tulisnya. Kita akhirnya harus berhenti di sini.

Luar biasa anak itu! Ia dengan mudah menendangku setelah lima tahunan berpacar-ria, yang aku sendiri, laki-laki, tidak segesit itu menyudahinya.

Pertunangan! Selalu ada yang tersisihkan untuk kata pendek itu. Aku memang menyembunyikannya selama ini, Tigor. Karena aku masih terkesan hari-hari manis kita. Lalu sebaris pesan pendek menutupnya: Aku harap kau tidak sedih.

Luar biasa memang. Justru dari seorang yang rasanya tidak berani membuat kesimpulan kecil pun.

Ah, mengapa tidak kubuat saja simpulan baru, bahwa pada akhirnya setiap orang memang harus berubah dan memilih dirinya sendiri! Itulah kebenaran, jika aku memang ingin menemukan hakikat!

Puah! Puah! Dan nafas kusentakkan lagi, bergulir bersama asap kretek, biru putih. Gadis di bangku sebelahku mengangkat muka. Biar saja!

Kretek kusedot lagi. Nafas kuhempas tambah keras.

“Anda bisa sopan sedikit,” gadis itu menegur.

“Apa aku kurang ajar?” Ia balas kutatap. Mukanya jernih, seperti lilin. Ah, mengapa harus lilin!

“Anda tentu tidak buta huruf.”

“Aku jurusan Sastra,” tantangku tersinggung. “Semester lima. Di SMA bintang kelas, ketua OSIS. Lancar membaca. Terang, tidak buta huruf, bukan?”

Ia diam. Aku puas. Serasa menang mutlak. Lantas mataku terhenti di atas loket. Ada tulisan besar di sana: Terima kasih untuk tidak merokok!

Buru-buru kujatuhkan rokok di mulutku. Menginjaknya ke lantai bioskop. Ada rasa malu yang tertahan.

“Anda bisa jadi mata-mata,” cetusku kemudian pada gadis itu.

Ia melirik, aku menahan senyum. Pura-pura tidak tahu.

“Mau menonton?” sapaku ketika ia membuka dompet.

“Anda?”

Aku mengangguk saja. Lalu kutambahkan, “Filmnya tidak bagus.”

“Kok tahu?”

“Sudah empat kali kutonton,” cetusku.

Ia menarik nafas. Mungkin kaget. Aku lebih kaget lagi. Begitu mudah aku menghamburkan uang akhir-akhir ini. Kekalutan membuat logika kacau.

Ah, persetan! Aku hanya perlu tidur. Tapi malas ke rumah. Tidur saja dalam bioskop, beres.

Eh, film akan dimulai. Buru-buru aku ke loket. Memesan tiket.

Di dalam, aku dan gadis itu duduk bersisian. Ia sibuk menonton, aku tidur. Tidak ada yang lebih penting buat orang yang mengantuk selain menutup mata.

Aku baru terbangun ketika pundakku terasa diguncang. Petugas bioskop membangunkanku. Ruang telah kosong. Layar telah kosong. Kurang ajar, perempuan itu tidak membangunkanku!

* * *

Barangkali aku sudah lupa perempuan di bioskop tempo hari, kalau saja Rein tidak mengajakku ke kafe hari ini. Aku iseng-iseng membuka agendanya setelah melahap semangkuk bubur. Lantas melihat foto seorang gadis di halaman belakangnya. Sudah pasti aku membulatkan mata. Itu gadis yang menyebalkanku di bioskop.

“Kau kenal ini, Rein?” sapaku tak sabar.

“Ada apa.”

“Kenal atau tidak?”

“Kalau iya, kenapa?”

“Aduh, kenal tidak!”

“Untuk pelarian, Tigor?” Ia tentu menghubungkannya dengan surat Josephine tempo hari. Padahal, aku sudah mulai melupakannya.

“Serius, Rein!”

“Cinta pada pandangan pertama, kan? Laki-laki selalu bilang begitu.”

“Ia persis adik perempuanku di Mandailing,” dalihku sekenanya. Nah, sifat pembohongku kambuh juga. Perempuan sih suka tekan harga!

“Ia masih SMA, Tigor.”

“Aku tak bilang ia mahasiswa.”

Rein melepas tawa. Aku mengumpat berkali-kali dalam bahasa daerah. Ah, perempuan selalu menghindar tiap laki-laki mendekat. Apa susahnya sih berjujur-jujur? Tidak mengumbar waktu yang mestinya bisa dipakai buat rencana lain.

Angin melintas. Daun Akasia bergesekan menimbulkan suara gaduh. Angin selalu mengingatkanku pada masa kanak-kanak, bermain layang-layang di antara pematang, sehabis penen. Berendam di kali, lalu makan kolak pisang masakan Ibu.

Rein menopang dagu, menatapku.

“Ia adikku satu-satunya, Tigor.”

Mata kusipitkan. Terang saja aku kaget.

“Bisa dipercaya?” Sergahku.

“Karena ia lebih cantik dari aku?”

“Karena ia lebih cuek dari kau.”

“Dan ia tidak pakai kaca mata, kan?” Ia tertawa. “Tigor, apa satu keturunan harus persis sama! Anda tahu penyimpangan genetik, kan? Harusnya sih kau masuk kedokteran dulu. Jangan sastra, fiktif melulu.”

“Oke, aku percaya sekarang. Tolong kasih info tambahan.”

Ia menggeleng, lalu menarik nafas.

“Ia masih kecil, Tigor. Dua tahun lagi baru boleh diutak-atik.”

“Apa gadis kecil tak boleh diambil datanya?”

“Boleh, kalau kau petugas sensus.”

“Serius, Rein.”

Ia kembali menatapku, lalu berujar, “Umur 17, 165-48, 32B, 38...”

“Rein!”

“Suka novel dan nonton, suka musik klasik, suka mencuri baca diariku, suka berjam-jam di kamar mandi, dan satu lagi: malas berdoa. Cukup?”

“Zodiak?”

“Mungkin Capricorn, mungkin Sagitarius. Entah. Tambah satu lagi: matematikanya berantakan, nilai melukisnya sembilan. Cukup?”

“Bagus. Kapan kau mengajakku ke rumah!”

No. Tunggu ia lulus SMA.”

“Oalah, buka mata, Nona! Cewek seusia dia semua sudah punya pacar!”

“Jangan sok tahu. Aku kenal dia semuanya. Termasuk tanggapannya tentang cowok yang bertemu dia di bioskop semalam.”

Terang saja aku mengangkat muka. Jarang aku melihat diri dari kaca mata orang lain.

“Apa saja ia bilang,” sergahku.

“Ia bertemu cowok menarik dalam arti yang berbahaya.”

Aku mengerutkan dahi.

“Terus?”

“Ngorok Anda lumayan.”

Aku tertawa. Terpingkal-pingkal. Hilang, terbang semua kesalku. Terbanglah Josephine-ku!

“Ada pesan, tidak?” Rein bangkit.

“Ikut saja aku ke rumahmu nanti.”

No, tunggu dua tahun lagi!”

“Besok aku sudah mati!” ketusku. Kesal.

Ia tak menanggapi. Ia cuma pamit masuk kuliah Filsafat Seni. Aku langsung ke Senat Mahasiswa, diam-diam mencatat alamat rumahnya.

* * *

Bel kupencet, puntung rokok kuinjak sampai lumat. Pintu terkuak. Waw, aku mau melompat rasanya. Tapi gadis ini malah mengerutkan dahi. Tentu saja kaget. Nah, ini yang kusuka: memberi kejutan pada tiap orang. Soalnya, aku juga sering dibuat kaget.

“Rein, ada?” tegurku agar ia tak terlalu lama panik.

“Di kampus. Temannya?”

“Persis.”

“Ia tak pernah cerita tentang Anda.”

“Karena Anda tidak pernah menanyakan aku.”

Tawanya manis dan tanpa beban.

“Masak tamu tak ditawari masuk,” aku menggoda.

“Takut Anda ngorok lagi,” sambutnya.

“Sekali ini, tidak akan. Berani taruhan?”

Sori banget, aku tak suka untung-untungan.”

“Kita klop,” cetusku semangat.

“Siapa bilang.”

“Aku juga tak suka.”

“Itu tidak berarti kita klop, kan?”

Aku masuk, dengan seluruh sikapku. Dan segelas air jeruk menyambutku. Ah, jeruk! Itu mengingatkanku pada kebun jeruk di belakang rumahku, di kampung. Tentu juga pada Josephine. Ah, Josephine lagi!

Air jeruk kutenggak sampai kandas, seperti menelan kampungku dan gadis-gadisnya. Tentu saja ia tertegun, atau malah menyumpahiku. Biar saja! Aku selalu tak bisa berpura-pura. Memang haus, mengapa pura-pura.

“Lain kali Anda bisa ambil sendiri ke belakang,” cetusnya. “Atau sedot langsung dari kran.”

“Jadi, aku masih boleh datang, ya!”

“Kalau tidak mengecewakan.”

“Mengecewakan bagaimana?”

“Kalau Papa melihat Anda, ia pasti tanya di mana aku menemukan kamu.”

“Biar saja. Yang penting kita bisa berdua terus.”

“Siapa bilang berdua!”

“Jadi, kamu tak mau berteman dengan aku.”

“Lho, baru semalam Anda aku kenal.”

“Apa bedanya.”

“Tentu saja beda.”

“Ya, jangan dibuat beda.”

“Lho.”

“Kalau aku dapat jadi teman yang baik, mengapa menunggu lama.”

“Kalau bisa menunggu lama, mengapa tidak ditunggu.”

“Ya, sudah!”

“Sudah bagaimana?”

“Ya, aku menunggu.”

Ia tampak bingung sebentar, lantas tawanya lepas. Senang melihatnya tertawa. Giginya bagus. Aku iri. Berbulan-bulan aku tak ke dokter gigi. Tentu saja, kita ke dokter gigi kalau pas sakit saja.

Oya, namanya Ismi. Entah Ismi apa. Aku tak merasa perlu memperjelasnya. Asal punya nama saja sudah cukup kukira. Nama tidak akan mengubah apa yang sudah ada. Dan ia pun sama sekali tak perduli namaku. Padahal, aku ingin sekali ditandai. Dan ketika itu kusampaikan, ia hanya tertawa.

Luar biasa, aku suka caranya tertawa. Dengan tawa, ia mampu menampilkan diri apa adanya. Juga semakin manis.

“Kamu manis, Ismi,” cetusku jujur, tanpa getaran.

Ia mendongakkan muka sebentar. Mungkin juga tertegun. Padahal, itu sama sekali tak kumaksudkan.

“Aku sudah punya pacar,” dalihnya.

“Aku juga.”

Sekali lagi ia mengangkat dagu.

“Jadi?”

“Jadi apanya?”

“Mengapa memujiku?”

“Memuji bagaimana?”

“Kamu bilang aku manis.”

“Karena memang manis. Salah?”

Ia menggeleng.

“Aku bisa gila berteman dengan kamu,” cetusnya.

“Aku tidak seberbahaya itu.” Dan kuingat juga kata Rein semalam. Katanya, aku menarik dalam cara yang berbahaya.

Ismi beberapa kali melepas canda. Aku kesal-kesal senang. Eh, mengapa ya lelaki suka dikesali cewek? Josephine pun sering mengesaliku dulu. Sering janjian, ditunggu-tunggu malah tak datang. Esoknya, tenang saja ia bilang lupa. Dan pupus semua kesalku ketika ia menyogoknya dengan sebuah kerlingan.

Tapi, sekali ini Josephine sungguh-sungguh menohokku. Tunangan diam-diam, lalu menikah. Penyisihan yang sempurna kukira.

“Hei, mau melamun jangan di sini,” Ismi menegur. Aku kaget juga. “Cowok kok melamun.”

“Memang salah?”

“Iya.”

“Salah apanya?”

“Salah karena melamun.”

“Tiap orang kan punya masalah. Tidak semua harus berbahagia.”

“Dan tidak semua harus melamun.”

Angin mendesir di antara jendela. Sunyi tertoreh. Di luar tampak langit agak gelap. Mungkin akan hujan. Akan ada yang basah dan kuyup.

Ismi menatapku. Matanya jernih, seperti kali di tepi kampung. Anak-anak berebut mandi sambil makan embacang. Dan kuingat juga masa kecil di kampung. Mandi telanjang, main perang-perangan, berkejaran di tepi bukit, tentu juga memanjat pohon mangga. Begitu jauh hidup kita berubah.

“Ismi.”

“Ya.”

“Kamu tak mau kenal namaku?”

“Buat apa.”

“Paling tidak, agar aku punya panggilan.”

“Mengapa harus dipanggil lagi kalau kita sudah dekat. Tidak semua harus punya nama, kan?”

Ia juga memang. Josephine tidak kalah mesra tiap memanggilku. Toh akhirnya ia meninggalkanku. Ah, Josephine lagi! Mengapa masih juga kuingat gadis tengik itu. Begitu sulit membuka sebuah hari tanpa Josephine terdaftar di dalamnya.

Dan tiba-tiba kuingat rokok. Aku ingin menyedotnya lagi hingga bibirku pecah-pecah seperti semalam. Kadang-kadang aku memang suka melihat bagian tubuhku luka-luka. Tentang ini seharusnya aku patut prihatin, bahwa aku memang seorang yang berbahaya, minimal untuk diri sendiri.

“Duit kamu tentu habis buat belanja rokok, ya,” Ismi memecah sunyi.

“Tidak juga. Aku malah paling benci rokok.” Ketika Ismi mengerutkan kening, aku melanjutkan, “Aku selalu melakukan apa yang kubenci setiap kalut. Mungkin agar kekalutan kita sempurna.”

“Jadi, kamu sedang kalut, ya?”

“Anggap saja belajar dewasa. Kekalutan membuat kita tambah bijak.”

“Kamu jadi lain,” cetusnya.

“Mungkin karena ini bulan ulang tahunku. September rata-rata memberi kita kejutan.”

“Wah, ini mistis!”

“Tidak juga. Hanya berhati-hati.”

“Aku tak paham.”

“Tidak semua harus dipahami. Terlalu sibuk jadinya hidup kita.”

Tapi Ismi malah terpingkal-pingkal.

* * *

Ini di kampus. Di sudut Ruang S-17L. Rein mengomeliku panjang-lebar. Aku tenang-tenang saja. Kukira perempuan marah tak perlu dilayani.

“Dapat di mana alamat itu, hah!” sergahnya.

“Masak ke rumah saja tidak boleh. Kayak orang penting saja.”

“Ia masih kecil, Tigor. Nyetrika saja belum bisa.”

“Pelit amat.”

“Pelit opungmu[1].”

“Nah, ini salahnya mengajari orang bahasa kita.”

Rein menggeleng. Beberapa mahasiswa lewat dan menegur. Aku balas senyum.

“Aku tak suka ia jadi pelarianmu, Tigor. Serius. Kau paham, kan?” pintanya melemah.

“Tidak sejahat itu aku, Rein.”

“Aku wajar mencurigaimu. Ia saudaraku satu-satunya.”

“Tapi aku serius.”

“Serius apa lagi! Dua tahun lagi, baru!” Ia mengeraskan rahang, tapi malah tampak manis.

“Sadis amat.”

Rein mendekatiku sampai nafasnya kudengar. Wangi dan hangat.

“Tigor, dengar! Aku tahu tingkah cowok. Baru tiga hari surat gadis Batakmu itu, kan? Kau sedang benci-bencinya pada wanita. Dan Ismi tentu wanita yang paling mudah untukmu.”

Busyet. Ini keterlaluan. Mengada-ada. Issu, fitnah, gosip, dongeng, atau apa sajalah.

“Kau teman, Rein. Tidak mungkin aku macam-macam pada adik temanku sendiri.”

“Oya?”

Ia memandangku atas-bawah. Persis menawar harga barang di pasar. Kurang ajar anak ini. Selalu saja laki-laki yang dicurigai. Padahal laki-laki tak pernah mencurigai perempuan dalam soal cinta.

“Aku perlu pengakuanmu, Tigor,” cetusnya dingin dan berwibawa.

“Pengakuan apa lagi?”

“Apa saja yang menyangkut masa lalumu.”

“Mengapa harus masa lalu? Apa tidak lebih penting gagasanku selanjutnya?”

“Kau boleh membicarakan itu pada rektor besok. Aku hanya perlu mengenalmu dulu, baru rencana muluk itu.”

“Mengenal apa lagi? Kau sudah mengenalku tiga tahun ini. Sudah banyak melihatku. Tidak ada yang kupacari di sini, kan? Tidak ada wanita yang kupermainkan. Tak ada yang dekat denganku melebihi kau. Soal apa lagi, hah?”

Rein mengeleng. Masih juga meremehkanku.

“Berapa perempuan yang sempat kau taklukkan.

“Kayak invansi saja.”

“Semuanya, Tigor.”

“Untuk apa?”

“Agar aku bisa melihatmu seluruhnya.”

“Aku bisa membuka baju untukmu.”

“Tigor!”

“Ada apa, Rein?” Aku tertawa kecil. Geli juga menemukannya sewot.

“Aku perlu mengenalmu. Semuanya.”

“Kau bisa ikut pulang kampung nanti.”

“Itu bisa diatur.”

“Jadi kau serius?”

“Ya, Tuhan! Aku tak bakal main-main soal adikku.”

Ah, aku menarik nafas. Kaku.

Matahari terik di langit. Aku berkali-kali mengelap keringat di dahi. Rein menawarkan kertas tisu. Wangi perempuan. Naluri menggeliat. Betapa nyaman membangun sebuah pondok di tepi kali bersama pasangan terpilih.

“Rein, aku hanya ingin berteman dengan dia. Jangan dibuat rumit.”

“Karena ia pun ingin berteman dengan kau.”

Ia tidak melihatku. Tentu dia kecewa, mengapa Ismi harus menyukai laki-laki urakan seperti aku, jika itu benar. Tapi aku sempat tertegun juga. Tidak percaya rasanya.

“Kau tidak mengada-ada, bukan? Agar aku membuka seluruh diriku?”

Tatapannya kosong. Lihat, ia kecewa. Mengapa ada saja yang tidak percaya padaku, bahkan menyingkirkanku?

“Ismi banyak bercerita tentang kau semalam,” cetusnya. Ah, sepertinya ia baru saja turun dari sebuah pendakian, lalu menemukan diri lelah luar biasa.

“Apa saja yang ia ceritakan?” Aku mendekatinya hati-hati, takut dia berubah. Selalu saja aku tertarik setiap kali orang bercerita tentang aku. Rasanya aku mendadak jadi orang penting.

“Itu tidak penting, Tigor.”

Aku terkejut lagi. Entah sudah berapa kali aku terkejut sejak surat Josephine tempo hari. Ah, Josephine lagi. Kapan aku berhenti memikirkan dia?

“Tidak penting apanya?”

“Ismi banyak menanyakanmu. Bagi wanita itu sudah cukup sebagai pernyataan suka yang paling sederhana.”

Tentang itu baru sekali ini kudengar.

“Terus, apa saja kau bilang?” pancingku hati-hati.

“Kau suka gitar dan main kartu.”

“Tapi aku bukan penjudi, Rein.”

“Yang lain?”

“Soal wanita?”

“Semuanya.”

“Setelah itu aku lulus? Kau harus janji, Rein!”

“Jangan main-main!” sengitnya.

Ya, Tuhan! Tidak pernah Rein setegang ini.

“Ada apa sebenarnya, Rein?”

“Ada apa? Kau memberi impian pada anak remaja itu. Dan ia menyukaimu.”

Aku tertawa. Rein memalingkan muka. Ia tetap tampak cantik dari sisi yang beda. Apalagi kalau rambutnya di kepang begini.

“Salah kalau orang lain menyukaiku?” Ah, ini tidak adil namanya. Tiap hari kita berjuang agar tetap disukai orang lain.

Tapi Rein masih juga mendesakku. Ia tampak tidak puas sebelum semua kebusukanku terpampang.

“Kau suka perempuan, Tigor?” pancingnya.

“Tergantung. Aku suka yang pemalu, dan tidak kasar. Aristokratlah.”

“Ismi bukan prototipe itu.”

Aku memandangnya, lalu pada hatiku sendiri. Selera ternyata sangat relatif. Mungkin juga dinamis.

“Banyak yang mesti berubah, Rein. Josephine pendiam, tapi lihat, ia dapat juga kasar menendangku.”

“Karena itu kau mencoba Ismi, kan? Gadis bandel dan galak?”

Aku menggeleng.

“Aku menyukainya. Jangan menuduh berlebihan.”

“Dan cinta pertama, ya kan?”

Kesal aku.

“Kau terlalu negatif menilai orang,” cetusku gusar.

Senyumnya kaku.

“Wajar, Tigor. Aku pantas melindunginya.”

Tangan kukibaskan berkali-kali. Tiba-tiba saja aku ingin tertawa lepas hingga mulutku berdarah.

“Benar-benar lucu. Kayaknya gadis itu sudah kupacari bertahun-tahun, atau menghamilinya sekalian. Padahal, bertemu saja baru dua kali.” Dan aku tertawa juga jadinya. Tak bisa kutahan. Terpingkal-pingkal. Dosen di ruang S-16L menutup pintu.

Hening menggantung. Jarang alam tak bergerak begini. Beberapa daun akasia kuning bergulir di tanah. Kesepian tersayat.

Rein kutatap. Ada sisa keremajaan yang beranjak dewasa. Dengan wajah dingin, ia tampak seperti lukisan bidadari.

“Aku tahu Ismi menyukaimu. Mencintaimu. Ini yang pertama untuk dia. Kau tahu? Tak ada cinta perempuan yang main-main.”

“Itu terlalu jauh, Rein.”

“Ismi bukan tipe yang dapat menahan hati.”

“Sama. Aku juga.”

“Bagi orang seperti dia, cinta adalah musibah.”

Aku bengong selintas. Lalu tertawa keras-keras. Beberapa mahasiswa memandangiku. Biar saja. Banyak yang tak sempat kupikirkan pada saat-saat begini.

* * *

Aku turun dari pentas. Baru saja kunyanyikan Boulevard. Tepuk tangan masih melintas di kupingku. Leona yang memintaku tadi ikut mengisi Krida Mahasiswa ini. Lumayan juga rasanya. Menyanyi dapat mengurangi beban perasaan. Selalu tak mudah melupakan kenangan. Josephine dulu sering menyanyikannya, berjalan menyusuri ladang kopi, tangannya diletakkan di pundakku.

“Kau pasti ingat kampung dan gadismu itu.” Rein menjawil tanganku begitu melintasinya.

“Sudahlah. Buat apa bersedih untuk orang yang sudah meninggalkan kita.”

“Tapi hatimu blank, kan?” sindirnya.

“Ada saatnya kita perlu blank-kan semua perasaan.”

“O ya?”

“Tentu saja. Tangis tidak akan mengubah apa yang telah terjadi.”

“Waduh, filosofis banget. Benar nih sudah melupakan Josephine?” Rein menggoda.

Diam selintas. Serombongan mahasiswa baru masuk. Mereka menyalami aku dan Rein.

“Soal hati tak bisa diubah seperti mengganti baju. Tapi, paling tidak, kita berusahalah melupakan.”

“Termasuk menggaet Ismi, kan?”

Lihatlah, begitu ngototnya ia melindungi gadis itu. Meskipun Ismi sungguh-sungguh kusukai, tapi tak fair rasanya jika tetap ngotot juga. Banyak pilihan lain di sekitar kita, jika saja kita bisa melapangkan hati.

Karena itu kukatakan, “Rein, aku memang menyukainya. Lebih dari apa yang kau duga. Aku tahu, kau tidak akan percaya. Lagi pula, tak perlu memang percaya. Kupikir-pikir, Ismi memang bukan pilihan yang pas. Aku tak mau merusak hubungan baik kita.” Ah, iba rasanya menemukan diri mengalah untuk suatu hal yang belum pada tempatnya. Tapi senyum kupaksakan juga. “Dia baru dua hari kukenal, kau bertahun-tahun. Tidak fair jika aku tak menurutimu.”

Ah, ada rasa terenyuh. Betapa ingin ada satu tempat untuk meluapkan emosi.

“Kau salah paham, Tigor. Maksudku bukan begitu.”

“Apa bedanya. Hanya soal pilihan kata saja.”

“Tigor,” ia memegang lenganku, membuatku tiba-tiba ingat Anita—adik perempuanku di kampung. Waktu kecil dulu, ia selalu memegang lenganku begini tiap kali merusak mainanku. Ah ya, ini perlu Rein tahu.

“Kau persis adik perempuanku kalau lagi membujuk,” cetusku. Ada rasa kangen yang asing.

Rein tersenyum.

“Aku senang,” katanya.

“Meski aku bandel?”

“Memang sudah bawaannya bandel.”

“Ajaklah aku makan ke rumahmu.”

“Pasti, Tigor.”

Senyum kukulum. Rein juga. Ada rasa damai yang melintas. Tapi?

“Kau tidak takut aku bertemu Ismi?” Ah, mengapa pilihan yang ditawarkan dalam hidup kita selalu tampak berat.

Lihat, Rein malah diam. Wajahnya gelap. Hei, ia menangis. Aku buru-buru menariknya ke sisi kantor Senat Mahasiswa. Sepasang merpati bergegas terbang begitu kami duduk di bangku taman.

“Ada apa, Rein.” Lengannya kugenggam. Beberapa mahasiswa melintas mendekap diktat.

“Aku tak mau membuatmu kecewa,” cetusnya.

“Mengecewakan bagaimana. Aku sudah kebal lho.”

“Aku menganggapmu seperti keluarga sendiri.”

“Aku tak percaya.”

“Aku sedih karena kau menyukai Ismi.”

“Aku percaya.”

“Aku akan sangat merasa bersalah kalu kau tambah murung dan sedih.”

“Aku tak percaya.”

Dan Ismi menatapku. Sekali ini agak sengit kukira.

“Kau tahu, Tigor? Aku keras agar kau mundur.”

“Itu tak adil.”

Rein menggeleng. Wajahnya kuyu. Seperti wajah Ibu setiap kali kami anak-anaknya berbuat berbuat onar. Matanya menyimpan awan, basah, dan menetes di pipi.

“Ismi,” gumamnya. “Umurnya tidak akan panjang.”

Dan aku tertawa. Tetap terpingkal-pingkal, dan tetap beberapa mahasiswa melongok.

“Kau bukan Tuhan, Rein.”

Tapi apa katanya?

“Apa salahnya kita menyiapkan diri. Dokter memperkirakan, paling lama ia bertahan tiga bulan ini. Kondisinya tambah menurun.”

“Itu mengada-ada.”

“Kamu lihat ia kurus, bukan?”

“Banyak yang lebih kurus dari dia. Kau juga tak lebih gemuk dari dia.”

“Terserah kalau kau tak percaya.” Ia bangkit membalik badan. Segera lengannya kutarik. Kukira aku perlu percaya. Apa susahnya untuk percaya saja.

Matanya kutatap. Tepat di maniknya. Rein tak bereaksi. Juga ketika jarinya kugenggam.

“Sakit apa?”

“Jantung bawaan. Ada kelainan pembuluh darah.” Ia lalu menjelaskan beberapa istilah kedokteran yang belum pernah kudengar. Bukan ungkapannya yang membuatku percaya, tetapi wajah kuyu dan suara dinginnya.

Aku tiba-tiba bergidik. Tak masuk akal rasanya Ismi yang tampak dinamis, malah menyimpan sakit yang serius. Tapi bukankah hidup juga misteri?

“Ismi sudah tahu? Maksudku, soal perkiraan dokter tadi?” Untuk apa Rein membohongiku. Lagi pula, aku tak perlu kaget nanti jika Ismi tiba-tiba…. Ah, begitu tak mampunya manusia berhadapan dengan takdir.

“Tak ada yang berani menyampaikan. Biar saja ia tenang. Kau lihat, ia lincah sekali. Bahkan rada bandel. Jauh lebih penting memelihara kondisinya.”

Rein mengangkat wajah. Aku terpukau. Selalu tak mudah menerima duka.

Entah bagaimana wajah Ismi jika tahu dirinya tengah dibimbing pada kematian. Tak bisa kuterka.

Angin melintas. Rein merapikan rambut.

“Aku ingin bertemu dia, Rein,” cetusku pelan.

“Untuk apa?”

Entah.

“Sekedar jadi teman baiknya. Apa salahnya.”

“Jangan, Tigor. Biarkan ia tenang tiga bulan ini.”

“Kau terlalu yakin pada prediksi dokter itu! Bagaimana kalau ia ternyata tetap hidup.”

“Jangan pertaruhkan nasib, Tigor. Biar saja berjalan apa adanya.”

“Tidak! Meskipun hidupnya singkat, biarkan Ismi memilih jalan hidupnya. Kalau aku bisa membuat hidupnya lebih berharga, mengapa tak diberi kesempatan.”

“Aku tak percaya.”

“Aku tak minta kau percaya. Aku hanya ingin bersama Ismi.”

“Nanti dia juga akan meninggalkanmu. Seperti Josephine.”

“Tidak apa-apa. Nanti kau lagi yang menggantikan.”

Rein menggeleng.

“Aku berani bersaing dengan siapa saja. Tapi tidak dengan adikku.”

Senyumnya terpoles. Senang melihatnya lega. Matahari melintas di antara rimbun daun akasia, memantul di wajah Rein, menimbulkan lukisan yang sakral.

* * *

Bahagia dalam hidup yang bermakna. Bagaimana menerangkannya, ya! Tidak semua hal dapat dilukiskan. Deskripsi selalu tak sempurna, tak mampu memunculkan hakikat. Ada semangat bangun di subuh hari, mandi, kopi, nyanyian, dan yang penting: aku mulai suka menulis puisi. Puisi? Ah, ya! Puisi menimbulkan kontemplasi atas kehidupan, juga menciptakan keharuan. Bukankah cinta harus dibesarkan dengan keharuan. Hanya cinta begitu yang mampu mengubah hidup kita.

Kadang-kadang aku tertegun, begitu banyak hidupku berubah bersama Ismi. Dunia ternyata dapat lebih indah jika kita lebih ekspresif. Dan ini kucatat dalam diary. Diary? Ah, aku malu. Tapi memang, banyak yang ingin dicatat, saling berebut tampil seperti lukisan Bali. Aku bahkan mulai menyukai bunga. Bunga-bunga yang tampak sederhana: asoka, bakung, dan mawar hutan. Tentu karena Ismi juga telaten menyiramnya.

Aku juga lebih sering menulis surat ke kampung. Kadang-kadang diselipi foto-foto bersama Ismi. Dan Ibu sesekali membalas, sambil mengirimkan salam untuk Ismi yang menurut Ibu ‘seseorang yang tampaknya dapat membuat rumah lebih semarak’. Dan aku tertawa setiap kali membacanya. Ismi apalagi. Katanya, ia bahkan ‘dapat membuat rumah runtuh’. Jika sudah begitu, aku langsung menarik tubuhnya. Kukatakan bahwa tanpa dia, aku hanya seonggok daging yang tak bernyawa.

Juga malam ini, di Alun-alun Selatan. Di latar rumput beralas tikar, di bawah kerdip lilin, di lingkup langit Yogya yang berbulan. Ismi bersamaku lagi. Entah sudah berapa malam kami menatap bulan. Aku tak sempat menghitungnya. Masih ingat kan? Dari dulu aku tak suka berhitung. Bahkan aku sudah lupa ‘janji maut’ itu kalau saja wajahnya tidak semakin pucat minggu terakhir ini.

Mestinya ini malam yang penuh gejolak sebagaimana biasa. Tapi, sejak sore wajah Ismi murung terus. Ia tampak lebih tua, jauh dari kesan gadis 17-an yang manja.

Ismi mengeluh, mengapa harus jauh-jauh ceck-up ke Penang. Ia menyinggung masalah biaya, waktu, sekolah, dan aku yang katanya tak bisa ia tinggalkan. Juga bunga-bunga di halaman kost-ku. Katanya, aku tak akan punya waktu untuk mengurusi itu.

Tentu saja aku tertawa. Kubilang bahwa bunga dapat dibeli lagi, bahkan yang lebih indah dari mawar hutan. Tapi menurut Ismi, bukan soal indahnya, tapi bagaimana kita mampu memelihara apa yang sudah ditanam.

“Oke lah,” cetusku akhirnya. “Soal bunga, kujamin hidup selama kau di Penang.”

“Untuk apa jauh-jauh ke Penang, Tigor. Selama ini juga tak masalah. Periksa kesehatan saja kok harus ke luar negeri.”

“Kau perlu sembuh, Ismi. Tidak mungkin terus-terusan berobat jalan. Jangan setelah nikah nanti tetap penyakitan,” aku mencoba bercanda. Tidak enak melihatnya murung sepanjang malam.

Beberapa penjual jajanan lewat. Aku membeli kacang rebus. Kutawarkan pada Ismi. Ia ambil beberapa biji, tapi hanya dimainkan di jari.

“Aku tahu, tak ada laki-laki yang mau dengan istri sakit-sakitan.”

Kutatap matanya. Ia menghindar.

“Ada apa, Ismi?”

“Kau tahu kan, aku memang penyakitan!”

“Aku menyukaimu sejak di bioskop.”

“Kau tidak akan ngorok kalau menyukaiku.” Masih juga dingin dan kaku.

Pengamen mendekat. Buru-buru kusodorkan satu lembar ribuan.

“Mengapa tak dibiarkan saja,” cegah Ismi.

“Aku bisa menyanyi untuk gadisku.”

“Menyanyilah.”

“Buat apa kalau kau tetap sedih.”

“Buat apa saja. Buat kenang-kenangan kek!” Ketika aku tak bergeming, ia melanjutkan, “Kau suka bulan, Tigor?”

Langit bersih. Bulan tampak di antara ranting kayu. Mendadak aku kangen kampung. Terang bulan begini, aku dan adik perempuanku sering main gitar di halaman rumah. Beberapa lagu daerah kami nyanyikan. Ibu kemudian bergabung sambil membawa jagung rebus. Dan ketika itu kusampaikan pada Ismi, ia tampak senang. Ia merebahkan diri, tangannya dijadikan bantal.

“Dari kecil aku ingin sekali melihat kunang-kunang,” cetusnya. “Aku belum pernah melihatnya.”

“Di kampungku banyak. Biasanya muncul sehabis hujan.”

“Indah, Tigor.”

“Entah.”

“Lho, kok entah!”

“Aku sering menangkapnya. Pantatnya doang yang bersinar.”

“Pantat kok bersinar.”

“Itu pertanda musim kawin lho. Betina memancing jantan dengan cahaya di pantatnya.”

“Masak sih.”

“Iya.”

Dan Ismi tertawa. Aku senang melihatnya gembira.

“Kalau aku bisa membuat pantatku bercahaya, apa kau juga akan mengawiniku.”

“Tanpa itu pun aku tetap akan menikahimu.”

“Istri penyakitan?”

“Biar.”

“Bawel?”

“Biar.”

Sepi menelikung. Bulan melintas di celah awan. Ada lolong anjing yang terperangkap di langit.

“Kau percaya takdir, Tigor?”

“Percaya.”

“Kau percaya aku akan mati?”

“Semua bakal mati.”

“Tapi tidak semua satu-dua bulan ini!”

Ismi kutatap. Matanya ditutup.

“Aku tak paham.”

“Tentu saja kau paham. Karena itu kau memacariku.”

“Apaan sih, Ismi.”

Diam selintas. Ada bintang yang bergerak di antara bintang-bintang lain. Langit dapat jadi media tumbuhnya inovasi. Dari jauh, terdengar suara tukang bakso menjajakan dagangan, membuat sunyi menggelepar.

“Aku baca diari Rein,” cetus Ismi mengagetkanku. “Kalian tahu batas umurku.”

Aku tersedak. Tak tahu bagaimana menanggapinya. Aku tiba-tiba ingat Tuhan yang mahaluarbiasa. Kukatakan bahwa apa yang diperkirakan manusia tidak sebanding dengan apa yang dapat diubah Tuhan. Bukankah hidup lebih banyak kagetnya? Dan ketika itu kusampaikan pada Ismi, jawabannya sungguh menorehkan iba.

“Paling tidak, aku harus mempersiapkan diri,” cetusnya.

Benar-benar tampak lain. Dewasa dan dingin. Seperti wajah Ibu ketika dulu almarhum Ayah meninggal. Kedukaan memang selalu mampu mengubah kita lebih dari yang kita duga.

“Mengapa diam, Tigor?”

Aku tersedak.

“Kau sedih?” pancingku.

“Sedih tidak akan mengubah apa yang akan terjadi, kan?”

“Ya sudah. Mengapa harus dipikirkan?”

“Kau sedih?” sapanya membalas.

“Kalau itu bisa mengubah apa yang akan terjadi,” aku menirukan ucapannya.

“Mengapa harus diubah?”

“Agar aku bisa menikahimu.”

“Sekarang pun kau bisa menikahiku.”

Aku tertawa, Ismi tidak. Masih juga dingin dan kaku. Kulirik wajahnya. Matanya tak berkedip menatap langit.

“Waktu kanak-kanak aku sering main pengantin-pengantinan. Aku tak tahu mengapa harus ada pengantin. Kukira indah saja, karena pengantinnya memakai baju yang indah. Kau tahu, mengapa harus ada pengantin, Tigor?” Ismi membalikkan badan. Tatapannya membuatku agak gelagapan.

“Ayolah, Tigor! Apa pendapatmu.”

“Kukira agar takdirnya disatukan,” jawabku sekenanya.

“Tepat!” Tapi ucapannya kembali menohok kesadaranku, “Jika hidup kita telah dijodohkan, usia kita harusnya sama panjangnya.”

Aku lemas. Kutatap ia berubah. Ada sesuatu yang tergiris di dalam hati ketika Ismi bercerita betapa inginnya ia punya rumah sendiri bersamaku. Katanya, ia akan menanami halaman dengan bunga-bunga hutan, juga kebun ketela di belakang rumah. Aku bisa tiap hari membuat keripik sambal kesukaanmu, cetusnya.

* * *

Saat ini pukul 17 lebih. Senja menelungkup di atas kepala: merah ungu. Tak ada gerimis. Tak ada air mendesir. Di belakang, beberapa langkah, baru saja kutinggalkan segunduk tanah merah. Ismi terbaring di sana, memeluk banyak kasih. Ia akhirnya tiba pada batas usia itu.

Minggu pagi, Ismi masih menelepon dari Penang. Tentang operasi jantungnya yang sukses, aku sudah tahu. Ketika ia bilang akan segera memelukku di bandara, rasanya tak sabar untuk menghitung beberapa detik yang harus bergulir. Kuceritakan tentang bulan Yogya yang menunggu kami, tentang bangku bambu di Bulaksumur, juga tentang film terbaru Michael Douglas yang bakal segera diputar.

Sore, Rein memegang tanganku di bandara. Sebuah pesawat dari Penang menukik di landasan. Terdengar hentakan keras, disusul ledakan. Orang-orang menjerit, beberapa berlarian. Fireman dan ambulan saling menyusul. Aku tergugu. Rein tergugu. Kukira kami berdua beku.

Entah bagaimana perasaanku. Aku sungguh-sungguh tak bisa menerangkannya. Kejadian ini mengejutkanku. Memukulku lebih dari yang kubayangkan dulu jika waktunya Ismi meninggalkanku.

Di batas tanah perkuburan aku berhenti. Menatap pada gundukan tanah yang berjejer. Menatap gundakan kekasihku, menyebut namanya berkali-kali.

Aku meraba wajahku. Dingin dan kotor. Nafasku juga bau. Ah, akan tiba hari-hari sunyi dalam hidupku. Hari-hari yang membuat malas keluar rumah.

Radio harus kusiapkan lagi untuk menyambut hari-hari berikut ini. Juga membeli kuas dan cat sebanyak-banyaknya. Mungkin juga gitar, dan tentu saja diari baru. Banyak yang harus dicatat lagi.

Rein mengapit lenganku. Aku meliriknya, lalu balas mengapit pundaknya. Dingin.

Matahari berangkat tenggelam di balik daun kamboja. Ada nuansa aneh di pintu malam. Berdiri di pintu pemakaman, meninggalkan Ismi terkubur, menorehkan rasa haru. Begitu pendek jalan yang ditempuhnya.

“Aku sedih tidak bisa memberi nasehat untukmu,” gumamku pada Rein. Pelan, tersekat di kerongkongan.

Masih juga lengan kugayuhkan di pundaknya. Ia menggeleng.

“Kita kehilangan pada saat yang bersamaan,” cetusnya.

“Tapi aku laki-laki, Rein.” Ah, bisakah aku pura-pura menegarkan diri dalam hati yang luntak begini?

“Kau tak perlu mencemaskanku. Aku bahkan memikirkan keadaanmu. Kau kehilangan Josephine dan Ismi dalam waktu yang hampir bersamaan.”

“Jangan bawa-bawa Josephine. Ia sudah kulupakan sejak hari pertama aku bertemu Ismi.”

Rein diam. Matanya lurus ke depan, kaku seperi orang tengah membaca.

“Aku tak ingin kau menyesali ini, Tigor.”

“Kukira ini kejutan Tuhan untuk kita,” cetusku.

Ia menatapku. Aku pura-pura memandangi tepi senja.

* * *

Rein duduk di depanku. Hampir tak bersuara saat ia menarik kursi. Ada meja panjang yang membatasi kami. Juga buku-buku berserakan. Entah buku apa saja. Aku nyaris tak hapal judul-judul buku. Yang kuingat betul sampai hari ini hanya Angan-angan si Mustofa. Aku sering membukanya sebelum ridur, berbaring di sisi ibu dan adik perempuanku.

“Aku mencarimu ke mana-mana,” Rein menatap lurus padaku. Ia lalu menyambar sebuah buku, membolak-balik halaman tanpa membaca.

“Ada apa? Biasanya langsung ke kost-ku.” Aku menguap, mengantuk berat. Rein geleng-geleng kepala.

“Seharian penuh aku menunggumu di sana. Dan kau tak muncul-muncul.”

Muka kuangkat.

“Perlu betul? Aku ke pantai.”

Matanya menukik.

“Oya? Sendiri?”

“Dengan siapa lagi?”

“Kau kan bisa mengajakku.”

“Aku tak mau merepotkanmu.”

“Merepotkan bagaimana. Apa pernah aku mengeluh.”

Diam selintas. Sepi membuntuti.

“Aku tahu kau masih berduka.”

“Apa kau tidak berduka.”

“Karena itu aku perlu menghibur diri. Tiap orang punya cara untuk menghibur diri.”

Rein memandangku dengan tenang. Ah, begitu susahnya menahan diri bila sedang tertekan.

“Aku hanya ingin tahu keadaanmu, Tigor. Kukira itu tidak akan sampai meropotkanku.”

Aku tergugu. Ada rasa lumat di hadapan takdir.

“Rein, ini hanya soal waktu saja. Kita semua butuh waktu.” Ah, aku merasa diri sangat dewasa, pintar dan bijaksana.

“Tigor,” Rein memoles wajah simpatik untukku.

Tapi aku malah tersinggung. Egoku mendesak-desak. Menyedihkan menemukan diri dikasihani orang.

“Aku tak bakalan bunuh diri, Rein!” kataku keras-keras. Lantas kutambah dengan tawa keras. Orang-orang saling menatap. Mungkin aku orang pertama yang teriak-teriak di perpustakaan ini.

“Pulang?” ajakku kemudian pada Rein yang tersedak.

“Kau benar-benar Batak sial!” umpatnya seraya berdiri. Dan aku tertawa sekali lagi biar sempurna kemenanganku. Petugas pustaka menatap tajam. Aku mengangkat tangan, memberi salam.

Di parkir perpustakaan aku melihat Honda Civic hitam. Buru-buru Rein kukejar.

“Kita ke mana?” sapaku.

“Pulang.”

“Kemana?”

“Kemana lagi?”

“Main, yuk?”

Ia berhenti. Menatapku. Wajahnya damai.

“Ada surat untukmu. Dari Mandailing.” Ia membuka pintu mobil. Aku mengikuti.

“Warna sampulnya?” Aku tiba-tiba merasa bertemu sesuatu yang pernah cukup dekat denganku.

“Kau masih mengingatnya?”

“Siapa?”

“Yang biasa mengirimimu sampul merah jambu.”

Aku menahan tawa. Tentu saja maksudnya Josephine.

“Aku bukan orang yang suka bernostalgia,” dalihku.

“Buktinya kau lebih banyak tahu masa kecilmu dibanding aku.”

“Itu karena otakku lebih encer dari kau.”

Opungmu!”

Dan aku tertawa. Rein selalu tampak lucu setiap menirukan bahasa moyangku.

Ia lantas mengulurkan satu amplop untukku. Langsung saja kusambar. Rein tenang saja. Tidak mengingatkan aku untuk basa-basi lagi sebagaimana biasanya. Ah, memang bukan saat yang tepat untuk berbasa-basi.

Wou, dari Anita rupanya! Ia cerita tentang hari panen dua minggu lagi. Juga tentang Ibu yang sekarang membuka kedai kopi, musim duren, dan lain-lain. Senang mendengarnya.

“Dari siapa, Tigor?”

“Adik perempuanku. Kau lupa? Katanya ia lulus tes masuk SMA.”

“Terus?”

“Ia perlu pembalut.”

“Pembalut apa?”

“Pembalut wanita,” aku mengedipkan mata. Tapi Rein tak bergeming. Ini membuatku sedih saja.

“Kita ke mana?”

“Jadi kau setuju?” sambutku antusias.

Ia membuka boks, menarik kaset. Satu dua lagu berganti. Tak sepenuhnya kukenali. Sesekali Rein kutatap. Kuingat Ismi. Matanya yang menyimpan cinta senantiasa menoreh duka.

* * *

Laut tenang. Biru dan luas. Angin melintas. Ada ranting pinus yang bergesekan, suaranya membuat gaduh. Maunya aku tidur saja, lalu daun pinus menimbunku. Ingin sembunyi dari hidup yang ganas dan capek.

Rein di sisiku. Duduk di atas rumput. Kakinya ditekuk. Matanya kosong, menembus kaki langi yang tak terbatas.

Aku bersiul. Entah lagu apa namanya. Yang kuingat, ibu sering menembangkannya ketika memasak di dapur. Dan diam-diam aku sering menirunya. Kadang-kadang tanpa sadar, lagu itu pun meluncur begitu saja dari mulutku.

Mandurung au baya di rura

dapot muse sada tingkalang

Muda marsak da Amang roha

juguk tondo martungkol isang[2]

Rein, ah! Perempuan ini tak bereaksi juga.

“Rein,” panggilku hati-hati. Hati-hati sekali. Takut mengagetkannya.

Ia melirik dengan ekor matanya. Tak ada gairah. Hanya awan yang teronggok di langit, juga beberapa burung laut terbang rendah.

Rokokku? Aha! Tiba-tiba saja ingin kukerjai mulut dengan asap-asap tebal. Rokok kusulut. Asap berkepul.

“Ada apa, Tigor?” Rein meluruskan kakinya.

Wajah cinta di bawah langit, mengapa tak terkayuh sampai ke tepian. Di belahan mana hati kan ditambatkan. Lihatlah, mengapa di sisi perempuan lelaki menjadi romantis!

“Kau lebih cantik tanpa lensa,” ujarku.

Rein diam. Matanya menyipit. Ada burung putih yang menukik ke laut. Aku ternganga, sebab cuma menyentuh ombak.

“Aku merepotkanmu, Rein?” Dahan kering kupungut, mematahkannya sampai berderak-derak.

“Anggap saja ini ulang tahunmu,” katanya.

Sepi lagi. Sepi melintas tanpa terpungut. Ini tambah menarik kantuk. Keriuhan, mengapa selalu ingin dibangunkan.

“Ceritalah, Rein.”

“Kau yang harus cerita. Kau mengajak ke sini tentu tidak untuk bengong.”

Memang.

“Dari mana harus kumulai.”

“Apa aku harus wawancara dulu.”

Senyum kukulum.

“Itu membuatku merasa jadi orang penting.”

“Kau tidak suka populer, ya!”

“Apa aku pantas.”

“Mengapa tidak! Tiap orang lahir untuk menjadi tokoh.”

“Oya?.”

“Buat spekulasi. Kalau perlu tragedi. Media akan mengincarmu. Fotomu dipajang besar-besar di halaman utama. Lalu pada suatu hari kau akan ditarik masuk partai.”

“Sayangnya, aku tak tertarik. Aku lebih suka pulang kampung. Memelihara bebek, ikan mas, perkutut, atau menulis lirik lagu pop.”

“Romatis banget!”

“Bukan. Hanya belajar menikmati hidup yang bersahaja.”

Camar terbang beriringan. Beberapa ekor berbalik ke Timur, ada yang meninggalkan dan ditinggalkan.

“Rein.”

“Ya.”

“Aku ingin punya adik seperti kau.”

“Aku senang.”

“Aku juga ingin punya pasangan seperti kau.”

“Aku tak senang.”

“Karena aku tak cukup menarik?”

“Karena kau dapat sangat menarik.”

“Dan menarik dalam cara yang berbahaya,” sambutku. Ia diam, lalu kulanjutkan, “Aku ingin bicara sebanyak-banyaknya. Apa saja kekosongan hati sejak aku meninggalkan rumah ibu dan adik perempuanku, pikiran-pikiran, rasa kehilangan…”

Ia kutatap. Tak bergeming, kecuali tatapan mata yang tampak menenangkan. Ah, betapa ingin menggali luka lebih dalam.

“Aku merasa tak sempurna setiap waktu. Rasanya ada yang tak sempat ditemukan, tetapi setiap waktu kita cari. Sesuatu yang tak jelas. Coba, Rein. Bagaimana caranya menenangkan hati.”

Aku lalu ingat lagu Angie, dan kulagukan keras-keras, sampai leherku serasa pecah.

Angie,

I hate that sadness in your eyes

But Angie,

Aint it time we said good bye…

Rein senyum-senyum memandangiku. Matanya gemerlap. Dunia tampak merah ungu. Dan aku tertidur di bawah pinus, di sisi Rein yang sibuk membaca buku.

* * *

Di sebuah coffee house jalan Ahmad Yani. Ada segelas kopi di mejaku. Kental tentu saja. Sudah lama sekali tak menikmati kopi. Dulu, saban pagi Ibu menyuguhiku. Tentu saja khas kampungku di tepi gunung Merapi: kopi dicampur dengan gula merah dan sedikit kulit manis. Dituang dalam gelas dari bahan batok kelapa. Ada rasa yang unik.

Kopi kureguk, hingga gelasnya kosong. Pelayan kupanggil. Kupesan segelas lagi. Hei, rasanya ada seseorang yang memperhatikanku dari meja sudut. Ketika aku balas melirik, ia menahan senyum. Aku mendekatinya, tak mau ia menduga-menduga tentang aku.

Gelas kuangkat, menarik kursi di sebelahnya. Ia tampak tertegun, mungkin cemas, atau apa saja.

“Sudah lama aku tak minum kopi,” ujarku jujur.

Ia hanya melirik sekilas, dan kembali menekuri es jeruknya. Ah, es jeruk lagi! Aku selalu ingat Josephine tiap kali melihat jeruk. Ingat masa-masa indah panen jeruk di belakang kampung. Coba, bagaimana sebuah luka akan sembuh jika segala yang tampak membangkitkan borok.

“Suka kopi?” Aku kembali menghalau sepi yang tiba-tiba menghentak.

Ia menggeleng. Lalu begitu saja aku cerita, “Ibuku sering menyuguhi kopi waktu aku kecil. Katanya, biar suaraku kental. Malamnya terang saja aku tak bisa tidur. Aku lalu main gitar sepanjang malam.”

Ia tampak terperanjat. Aku tambah semangat. Dalam keadaan kaget seluruh watak perempuan terpampang.

“Mata Anda sensual,” cetusku jujur.

Matanya kini mengerjab seperti lilin. Saat ia tersedak, aku jadi tambah berani “Aku suka mata seperti itu,” tambahku.

“Aku lebih pantas jadi ibumu, Nak,” cetusnya.

Aku kaget. Sungguh-sungguh terperanjat. Ya, Tuhan, mengapa tak kuperhatikan wajah perempuan ini tadi! Tapi apa, iya! Aku tak percaya. Perempuan ini memang lebih tua dariku, tapi bukan lantas seusia ibuku.

“Mungkin saja kalau Anda menikah pada usia sepuluh tahun,” tantangku.

“Kau lagi kesal, Nak. Kau cuma perlu bertengkar dengan tiap orang.”

Ia tertawa. Nyaris tanpa suara.

“Apa salah dunia ini padamu? Kau saja yang menerimanya berlebihan. Banyak yang lebih sengsara darimu. Buka matamu, jangan cengeng.”

“Itu mengada-ada,” sanggahku.

“Coba, siapa yang menyisihkanmu! Bapak Anda kawin lagi, kan?”

“Iya,” sambutku cepat. Senang melihatnya merasa puas. Lagi pula, aku lebih suka ditebak daripada menebak-nebak. Kita merasa penting rasanya. Selain itu, buat apa berbelit-belit dengan orang yang cuma berpapasan di jalan!

Sekali lagi ia tertawa. Kali ini lebih keras. Ia tampak merasa puas untuk sesuatu yang diincarnya bertahun-tahun.

“Laki-laki,” katanya. “Laki-laki selalu selingkuh.”

“Wah, itu keliru,” sanggahku. Tentu saja kuingat bagaimana Josephine menendangku.

“Karena Anda memandangnya sebagai laki-laki.”

“Dan Anda berkaca dari sudut perempuan.”

“Nah, benar, kan?”

“Benar bagaimana!”

“Anda butuh bertengkar dengan siapa saja. Anda sakit.”

Puah!

“Aku tidak sakit.”

“Apa namanya kalau tidak sakit.”

“Lho, mengapa harus sakit kalau tak merasa sakit.”

“Tidak merasa sakit tidak berarti tidak sakit.”

“Mengapa sakit kalau memang tak sakit.”

“Tapi Anda merasa tidak sehat setiap waktu, bukan?”

“Aku hanya rindu ibu dan adik perempuanku. Hampir empat tahun tak bertemu.”

“Tentu saja, tiap orang membutuhkan kasih yang tulus.”

“Aku ingin tertawa sepuas-puasnya.” Dan aku tertawa juga. Keras-keras. Perempuan itu senyum-senyum memandangiku.

Lalu ketika musik mengalun dalam ruangan, aku mengikutinya lamat-lamat sambil memejamkan mata. Musik berhenti. Aku membuka mata. Perempuan itu tak ada. Ibuku tak ada, adik perempuanku tak ada. Yang kulihat hanya orang-orang berkeliling menontonku.

* * *

Sudah lama aku tidak bercukur. Wajahku penuh dengan bulu: kasar dan gatal. Kadang-kadang ada rasa senang membuat diri kumuh. Semakin tidak tergantung kepada pola dunia, kita merasa semakin hebat. Rein mengatakan, itu tandanya aku tak sewaras yang aku duga. Tapi menurutku, kita perlu menunjukkan keberanian untuk menolak dunia ini, sesuatu harus diubah. Jika sudah begitu, ia langsung menarik nafas.

Juga pagi ini, ketika kami berpapasan di kampus.

“Kemana saja, Tigor?” tegurnya. “Berapa hari kau tak pulang-pulang, hah! Besok ada mid. Sudah tahu, belum?”

“Aku capek, Rein.” Ia kutarik ke lokal S-03L yang kosong. Aku duduk di kursi depannya. Lutut kami bersentuhan.

Rein memandangku dalam-dalam. Persis cara ibuku melihat setiap aku terlambat masuk rumah. Ah, Ibu lagi! Ini benar-benar menjemukan.

“Ada apa?” sentakku.

Ia tersenyum sabar.

“Sudah makan, Tigor?”

Ah! “Kau terlalu perhatian.”

“Salah?”

“Aku tak mau merepotkan siapa pun. Kau tahu itu kan?”

“Aku tak merasa repot.”

“Nanti kau capek. Tak mau melihatmu bosan.” Memang, betapa tak berharganya dibosani orang lain.

“Kita senang dibutuhkan orang lain?”

“Pentingkah itu bagi perempuan?”

“Sama pentingnya arti perempuan bagi laki-laki.”

Lalu aku mendadak ingat Joe. Kukira tak perlu kucari-cari sebabnya. Ingat saja sudah cukup.

“Rein.”

“Ya.”

“Aku menyesali hubunganmu dengan Joe.”

“Karena kami sudah putus?”

“Padahal ia teman yang baik.”

“Masih banyak orang yang baik di dunia ini.”

“Kukira ia cocok untukmu.”

“Aku lebih tahu dari kau.”

“Jadi kau tidak menyukai dia?”

“Tidak harus selamanya. Suka itu soal selera.”

“Itu menakutkan, Rein.”

“Dunia ini tidak serumit yang kau duga.”

“Aneh saja. Boleh dong merasa.”

“Wajar saja kukira. Hanya menegaskan selera. Mengapa ngotot kalau tak sesuai?”

“Bagaimana sesuai kalau tak ngotot. Ibuku juga ngotot mencintai Ayah, dan ia bisa.”

“Ismi juga ngotot mencintaimu, tapi tak bisa.”

“Ia bisa, cuma tak sampai.”

“Apa bedanya.”

“Ya, bedalah.”

“Buat apa beda kalau tak sampai.”

Aku diam dan terhenyak. Dan ia menarik lenganku. Ketika ia memandangiku, aku tiba-tiba ingin menangis.

“Kau pucat sekali, Tigor.”

“Apa tiap waktu harus berseri-seri? Kau perlu melihatku lagi ketika bangun tidur.”

“Oya? Kalau boleh, mengapa tidak?” tantangnya bercanda.

“Mengapa tidak boleh, kalau mau?”

“Kalau mau, kapan?”

“Kapan saja mau.”

“Aku harus jadi istrimu dong!”

“Kalau mau, mengapa tidak?”

“Ya, mengapa tidak, kalau mau.”

“Senang banget, kalau mau.”

Ia tertawa.

“Ini ajakan atau cobaan.”

“Kalau mau, mengapa dipersoalkan.”

Rein kini menatapku. Aku agak malu-malu. Tetapi tetap juga aku senyum menggoda, dan Rein menonjokku.

“Kau tidak takut aku menuduhmu tak setia pada Ismi?”

“Tuhan tak akan mengembalikan dia lagi. Tak akan pernah, bukan?”

“Tapi paling tidak, aku kan cukup tahu bagaimana kau dengan Ismi. Kau tahu? Sebagaimana laki-laki, kami juga butuh cinta yang alami, bukan tambal sulam.”

“Aku cuma menyarankan.”

Dan ia mengangguk beberapa kali.

“Itu akan sangat berarti bagiku, Tigor.”

Aku menatapnya dalam-dalam. Itu mengagetkanku.

“Kau sangat bijaksana,” cetusku.

Rein mengerling. Matanya berbinar-binar mirip ikan koki. Ah, kenapa harus ikan koki sih? Pikiranku selalu saja melantur-lantur.

* * *

Hujan masih menetes. Langit gelap. Ada bintik air melekat di jendela kaca. Jaket kutarik. Suara resluiting beradu dengan gerisik air. Terasa ada yang melonjak-lonjak dalam dadaku, sesuatu yang membuat jiwa terdampar di sunyi.

Jam 12 malam. Sudah 17 menit lebih. Kereta api baru saja melintas di ujung jalan, menimbulkan suara gaduh. Ditambah angin yang mendesir lewat jendela, malam menjadi tambah misteri.

Gelas kureguk. Air dingin saja. Tak ada sesuatu yang membangkitkan romantisme. Hanya puntung rokok yang melimpah dari asbak.

Dingin dan kosong. Aku memandang ke luar jendela. Jalan-jalan tak berpenghuni. Ah ya, ada yang menyeberang jalan. Lelaki tua dan bersepatu bot. Rambutnya pasti kuyup oleh hujan.

Radio sudah lama kumatikan. Weker juga. Semakin hening, semakin dalam masuki malam. Dan pada satu titik di tengah malam, kita bakal tahu berbagai rahasia.

Aku lalu menghempaskan nafas beberapa kali. Kaget. Mengapa nafas mendesak-desak belakangan ini. Bahkan kukira aku mulai benci bunyi nafasku sendiri. Pikiran mulai porak-poranda.

Tapi aku menghempaskannya juga sekali lagi. Ini yang terakhir. Harus dihentikan kebiasaan buruk ini.

Weker kulirik lagi. Ah, bukankah baru saja kumatikan? Logika semakin tidak teratur. Realitas menjadi abu-abu. Ada gradasi kisah dengan batas-batas yang tidak jelas. Busyet, mengapa selalu berlagak pintar. Itulah kalau terlalu banyak membaca. Frued, Mendel, Bill Gates; terlalu banyak yang pernah mengubah kita!

Hei, aku tiba-tiba ingin meloncat-loncat pada masa kecilku. Tapi dari mana kumulai? Waktu aku meloncat dari jembatan ke sungai dan menemukan kuping penuh air? Atau ketika pertama kali aku bermesraan dengan Maimunah di sungai berbatu itu?

Maimunah! Aha, aku tiba-tiba ingat gadis remaja itu. Matanya seperti bintang sehabis hujan, berkelip indah. Ketika aku menciumnya, matanya tampak jadi telaga. Dalam, tak beriak, siap diceburi. Bibirnya dingin. Wajahnya pun dingin. Belakangan aku mengerti, hanya cinta yang bisa mengubah perempuan. Aku melihat bagaimana seorang pembunuh dalam film Living Daylight, Kara Milovy, berubah jadi perempuan romantis. Juga kulihat bagaimana Glenn Close, gadis romantis dalam Fatal Atraction, berubah jadi pembunuh atraktif. Ah, film. Film sudah keterlaluan merusakku. Aku gampang saja larut dengan tokoh yang kutonton.

Suntuk. Terlalu banyak kita berpikir. Pikiran hanya membuat kita makin tidak bahagia saja.

Sepi malam ini. Sungguh-sungguh sepi. Mungkin Maimunah juga sesepi begini ketika kutinggalkan dulu. Ya, aku meninggalkan perempuan manis itu. Aku meruntuhkannya. Aku membiarkannya tersaruk-saruk. Aku tergoda Josephine yang lembut, gadis lugu yang lantas menendangku dengan cara jitu.

Lihatlah, memang tak ada yang bersih di dunia ini. Kekagetan kita adalah umpan balik dari kekagetan yang kita berikan pada orang lain. Masalahnya, umpan dan balik kadang-kadang membuat kita hanyut dalam proses itu sendiri, lantas menemukan diri babak belur. Nasib memang keterlaluan.

Sepi, sepi! Ini yang harus kutuntaskan. Bukan apa-apa. Aku lalu memutar radio lagi. Keras-keras. Aku bergoyang-goyang. Aku menari-nari. Kulihat Ismi juga menari-nari di atas meja belajarku.

* * *

Liquella kupesan. Aku menenggaknya sekaligus. Hidungku terasa gatal. Isi perut mendesak keluar. Lalu kuminta segelas lagi. Segelas lagi, dan segelas lagi.

Mataku panas. Keringat meluap. Bajuku basah. Celana dalamku basah. Rambut menguyup seperti habis keramas.

Musik tetap menyentak-nyentak. Aku menyanyi sesukaku. Apa saja yang melintas dalam kepala. Tentu saja lagu daerahku. Yang kuingat selalu kampungku di tepi bukit itu, pada tempat mana segala damai pernah tertoreh.

Dan aku menangis sekeras-kerasnya. Menangis lugu. Mungkin orang-orang menontonku sebagaimana biasa. Aku tak perduli.

Dadaku memang terasa lapang, Tubuh terasa nayang[3]. Tapi aku ingin lebih plong lagi. Karena itu aku menyanyi sekali lagi. Lalu kulihat Rein memandangiku. Matanya dalam, seperti telaga di bawah rumpun bambu, tempatku berendam di masa kanak-kanak. Entah untuk apa ia nyasar ke sini. Tak mau kupikirkan, terlalu banyak yang harus kupikirkan. Untuk malam ini, demi waktu yang terus bergulir, aku tak mau bertanya. Pertanyaan-pertanyaan hanya membuat kita tambah tak bahagia.

Maka terus saja aku bergoyang dan bernyanyi. Sampai tenggorokanku kering, sampai aku perlu gin lagi untuk melicinkannya. Tapi Rein segera bangkit menarikku. Aku menyerah saja. Kadang-kadang enak menemukan diri pasrah. Tak ada inisiatif untuk berontak. Tapi di jalan protokol, di bawah lampu jalan yang buram, di bawah gerimis, aku mendekap perempuan itu. Aku menciuminya sepuasku. Aku meluapkan semua rasa yang tersumbat.

Rein lembek dan kuyu. Ia menatapku dengan sorot mata yang belum pernah kukenali. Duduk di trotoar, menekuk lutut. Matanya basah, mengalir sampai ke tepi bibir. Rambutnya kusut, kupingnya merah, wajahnya berlepotan lipstik dan keringatku, mungkin juga bau asap rokok.

Aku merasa diri pembunuh. Aku merasa telah membunuh ibu dan adik perempuanku. Aku menangis sesengukan, bertekuk di sampingnya. Di sisi Rein yang kuyu dan tampak capek, aku tertidur.

* * *

Terjaga. Mata kuusap beberapa kali. Di luar terang. Tak ada sisa malam dan hujan. Matahari menerobos jendela kaca yang berdebu, membentuk silau yang aneh.

Radio kuhidupkan. Ah, sudah terlambat untuk acara kesukaanku, “Selamat Pagi Yogyakarta.” Pukul berapa sekarang? Sepuluh? Sebelas?

Tubuhku pegal-pegal.

Di cermin, aku menatap wajah lama-lama. Lelaki pucat bermata layu dengan bibir retak-retak. Ada rasa asing dengan tubuhku.

Terlalu capek hari-hari terakhir ini. Tidak ada yang kutemukan kecuali mempertontonkan borok pada banyak orang. Aku malu menemukan diri tidak berguna.

Rein? Oh, di mana gadis itu sekarang? Mungkin mengompres bibirnya yang kuluntak semalam. Atau siapa tahu, ia diam-diam menyiapkan rencana untuk melunasi keterhinaannya.

Celana kusambar, baju kusambar, juga sandal jepit. Aku berlari keluar tanpa cuci muka. Rein kucari-cari. Di kampus, di rumahnya, di perpustakaan. Tak ada.

Aku ingat gerayanganku, ingat tangis kecewanya, ingat ketika aku malah tidur. Hei, siapa yang mengangkatku dari trotoar itu? Siapa yang membukakan kamar kost? Rein? Polisi? Warga kota? Puah! Begitu rapuhnya aku diselamatkan banyak orang.

Rein kucari lagi. Beberapa tempat kost kuketoki. Nihil. Capek. Mencari saja rupanya tak cukup. Aku putus asa.

Di kantin Jurusan Filsafat aku jeda. Minum es jeruk. Keringat meluap di kepala, di ketiak, juga di selangkangan. Serasa habis direbus. Anehnya, semangat mencari Rein mengebu-gebu lagi.

Aku berdiri. Berjalan. Pandangku lurus ke depan. Entah lewat mana saja. Aku kaget begitu terbentur pintu kostku di Jetis Harjo.

Pintu kubuka: aku menyerah! Langsung ke kamar mandi, kran kuputar, air meloncati bak berdesak-desakan. Aku masuk ke dalam bak tanpa membuka baju. Dan tertidur di bak yang penuh terasa air.

* * *

Pagi aku bangun. Kompor kuhidupkan. Radio kuhidupkan. Juga arloji yang sempat mati. Mandi, bercukur, keramas, dan menyemprotkan deodoran. Juga menyiram bunga di halaman. Ah, aku agak malu-malu. Lama tak melihat diri tampil rapi.

Terharu pada diri sendiri. Begitu mendadak kejadian-kejadian yang menimpaku, scen yang rapat. Tapi memang, senang rasanya menemukan diri sibuk. Di cermin aku bergaya akademisi, tak terlalu buruk. Mencoba dasi yang berbulan-bulan tak digunakan, berkemeja lengan panjang, arloji, dan pena terselip di saku. Aha, aku membayangkan almarhum ayah menatapku penuh rasa bangga, anaknya—Tigor Nasution—menjadi sarjana pertama di kampung.

Ketika aku berbalik, aku kaget. Rein sudah duduk di kursi. Tanpa senyum. Tanpa perubahan ekspresi. Ah, kita masih saja dibuat keget justru pada saat kita mulai menerima semuanya sebagai hal biasa.

Duduk di depannya. Butir air masih menetes dari rambut dan ujung kupingku. Ada rasa geli.

“Tak biasanya bangun sepagi ini,” tegurnya. Ini melegakanku. “Rapi lagi. Mau seminar, ya.”

Malu. Dasi kubuka.

Rein tersenyum. Aku tak berani macam-macam. Takut membuatnya tersinggung. Tapi malah tak enak, ada rasa kaku. Ini sungguh menyiksa. Aku sampai menarik nafas beberapa kali. Padahal aku sudah berniat meninggalkan kebiasaan ini.

“Aku mencarimu ke mana-mana,” cetusku akhirnya. Kupikir tak ada gunanya lagi saling berhati-hati dalam saat-saat begini.

“Ada apa?” gumamnya datar. Ia tidak antusias sebagaimana biasa. Ini tentu saja tambah menyedihkanku.

“Aku ingin melihatmu.” Ia kutatap sekilas, lalu pada matahari pagi di luar jendela.

“Penting?”

Ludah kutelan.

“Apa aku tak boleh melihatmu?” Ah, ia juga pernah mengucapkan itu.

“Kita toh masih bisa bertemu di kampus.”

“Tak bisa kutunggu,” kataku terus terang.

Dan ia manatapku. Mungkin kaget. Biar saja.

“Apa susahnya menunggu, Tigor! Kau sudah waktunya belajar menahan diri.”

Aku tergugu. Itu sindiran yang jitu.

“Aku minta maaf soal semalam, Rein.” Begitu tak biasanya aku menahan diri. Lihatlah, wajahnya sampai memucat.

“Aku tidak menyalahkanmu, Tigor.”

“Justru itu,” sambutku. “Itu membuatku tambah bersalah. Harusnya kau…”

“Aku memakluminya,” potongnya Rein. “Kau tidak punya siapa-siapa di sini yang bisa menyabarkanmu.”

Oh, aku merasa diri begitu terasing, tersisih dari gundukan kasih. Sebuah luka telah membuatku jadi laki-laki yang rapuh. Aku tahu ini memalukan sekali. Tapi bagaimana lagi? Rein telah melihat sendiri bagaimana aku tersaruk-saruk.

Kuingat lagi nasehat perempuan ini ketika aku ngotot memiliki Ismi yang sakit-sakitan dulu. Katanya, tak boleh ada perempuan lain lagi yang meninggalkanku.

Ismi juga memperingatkan di bawah bulan Yogya. Yang kupikirkan bagaimana kau setelah kutinggalkan nanti, katanya seperti mewakili nasib. Kau tentu akan sedih. Kau tak pernah melihatku lagi.

Memang aku sok. Terlalu kubanggakan ketegaranku. Padahal siapa yang bisa menduga tentang hati. Lihatlah, aku tercabik-cabik melebihi yang kuduga. Tapi kukira, meskipun begitu, tak baik memamerkan borok pada banyak orang.

“Jangan terlalu memikirkanku,” cetusku kemudian.

“Ismi saudaraku. Perpisahan bagi kami hanya soal waktu saja.”

“Apa bedanya dengan aku?”

“Kau baru saja kehilangan Josephine.”

“Ah,” aku mengibaskan tangan. “Tak perlu lagi membawa-bawa perempuan busuk itu!”

“Hanya perduli saja.”

“Sudah, Rein. Aku tak ingin kau berlarut-larut mengurusi aku.”

Ia tampak kaget.

“Aku tahu. Kita tentu tak kan selamanya bersama seperti ini. Tapi aku ingin sekali melihatmu seperti Tigor yang kukenal bertahun-tahun, tegar. Biar aku lega menerima perpisahan kita nanti. Ismi mewarisi aku tanggung jawab untuk merawatmu.”

Merawat? Sudah separah itukah aku?

“Terlalu jauh memikirkanku.”

“Tidak sejauh yang kau duga kalau kau menyadarinya. Anggap saja perhatian yang tulus dari seorang sahabat.”

“Kau terlalu memanjakanku.”

“Karena tak ada yang sempat memanjakanmu di sini.”

“Kemanjaan hanya tambah merusakku.” Kuingat lagi saat aku meluntaknya semalam.

“Tak mungkin aku merusakmu, Tigor. Hanya ingin melihatmu gembira. Salahkah itu?”

“Jangan perlihatkan impian indah padaku.”

“Tidak berlebihan kukira.”

“Tapi itu bisa membuatku lupa diri. Seperti semalam.” Aku menahan tawa.

Wajahnya merah muda.

* * *

Aku keluar dari kamar. Baru saja aku mandi. Rambutku masih kuyup. Entah mengapa, hari-hari terakhir ini aku sering keramas. Bahkan sebelum tidur pun, aku mengguyur kepala lagi dengan air. Tapi ini tentu tak kan terus menerus.

Hei, Rein membuka pintu pagar. Kerikil berderak-derak oleh sepatunya. Oh, ia mengepang rambut rupanya. Sudah lama tak kulihat.

“Kukira kau sudah lupa,” sambutku.

“Apa?”

“Hanya gadis Indian yang mengepang rambut di pagi sedingin ini.”

Rein tertawa. Ia tentu sudah tahu maksudku. Dulu, waktu masih tahun-tahun pertama, ia sering kuledek begitu setiap muncul di kampus dengan rambut dikepang.

“Sudah makan, Tigor?”

“Makan saja yang kau pikirkan.”

“Karena kau paling lancar bicara kalau lagi lapar.”

Ah, itu memang pernah kuceritakan pada Rein. Maka setiap kali mulutku melantur-lantur, ia akan mengajakku makan. Tentu saja aku senang.

“Sudah lama kau tak ke sini. Ada apa?” sapaku pelan.

“Lama bagaimana. Seminggu baru.”

“Seperti sudah bertahun-tahun.”

“Itu hanya perasaanmu saja,” kilahnya. Ia kemudian merapikan meja dan aku memandanginya.

“Justru semuanya dimulai dari perasaan, Rein.”

Ia berbalik memandangku. Aku pura-pura mamandang bunga jambu di sudut halaman.

“Perasaan-perasaan yang membuat kita rusak.”

“Salah kita punya perasaan?”

“Salah kalau tak bisa mengendalikan.”

“Maafkan malam itu, Rein. Tidak semua bisa kita kendalikan.” Lalu kuiingat lagi peristiwa trotoar itu.

“Sudahlah, Tigor. Aku memakluminya. Karena itu aku datang ke sini.”

“Tapi itu melukaimu, bukan?” Aku menjamah bahunya. Ia menatapku. Tangan kutarik. Kukira aku terlalu dekat.

“Pikirkan hidupmu, Tigor. Tak mungkin begini terus-menerus,” katanya.

“Apakah aku sudah rusak betul?” Cemas juga aku diperingatkan seperti itu.

“Banyak yang berubah dalam dirimu.”

Tentu saja, karena banyak juga yang terjadi.

“Kau tahu Gradiva, Rein? Itu tokoh psikologis dalam sebuah novel abad delapan belas. Ia membawa kesembuhan jiwa tokoh laki-lakinya.”

Rein memandangku. Aku balas menatapnya dalam-dalam. Kaca matanya kutarik, kuletakkan di meja.

“Jadilah Gradivaku,” cetusku pelan.

Ia diam. Tak bergeming.

Sepi mencekam. Hanya denting jam yang bergetar.

“Itu menyedihkan, Tigor.”

“Mengapa?”

“Biasakah aku seperti Gradiva-mu?”

“Entahlah. Tidak semua hal bisa kita ungkapkan. Tidak semua kata dapat mewakili. Jika saja semua bisa diubah, jika saja semua seperti yang kita mau, aku mau hanya aku saja dalam hidupmu.”

Matanya membasah, seperti gelas dicelupkan ke air. Memang, untuk mengatakan sesuatu ada yang tidak bisa dikatakan.

* * *

Jalan-jalan sudah mulai sepi. Hanya satu dua yang lewat melintasi jalan. Kebanyakan berjaket dan rokok. Lampu-lampu bergayutan di atas trotoar, kusam dan tua. Busyet, sebuah sedan nyaris menyerempet bokongku. Aku mengumpat berkali-kali.

Box telepon umum kubuka. Gagang kuangkat, koin dan nomor. Ada anak korek api di jepitan gigiku, asap rokok, dan batuk.

“Perlu dengan siapa?” Sapa Rein di gagang telepon.

Aku mengulum senyum sebentar, menahan malam yang tiba-tiba bergetar.

Gradiva…”

“Tigor!” Rein tertawa di gagang telepon. “Ada apa? Ini sudah hampir tengah malam.”

“Belum tidur?”

“Malas.”

“Malas bagaimana? Anak gadis tidak baik bermalas-malas pada jam begini.” Ah, aku malu pada suaraku sendiri.

“Tigor.”

“Ya.”

“Rasanya aku sungguh-sungguh jadi adik perempuanmu.”

“Itu menyenangkan sekali, Rein. Kau perlu pembalut, sayang?”

Opungmu.”

Aku tertawa lepas. Laki-laki di halte melihat ke arahku.

“Gradiva…”

“Aku Rein. Reina Parhes. Bukan Gradiva klasik itu.”

“Apa salahnya sih?”

“Banyak.”

“Rein.”

“Apa.”

“Aku ingin melihatmu.”

“Kau sudah melihatku di kampus.”

“Aku ingin bertemu kau. Malam ini. Boleh? Dimana aku menunggumu?”

No! Sudah tengah malam!”

“Apa salahnya seorang gadis bertemu kakak laki-lakinya tengah malam?”

Kudengar ia menarik nafas.

“Tigor, kita toh masih bertemu besok. Pagi-pagi malah. Apa susahnya satu malam!”

“Tapi aku ingin melihatmu. Kau mau aku jungkir balik semalaman ini?”

“Cobalah menahan diri. Biasakan itu!”

“Aku membutuhkanmu, Rein. Aku mencintaimu setiap waktu. Berpuluh-puluh malam aku menyimpan kangen,” kataku berani. Biar saja dia panik. Tak bisa kutunda lagi. Hidup harus dimulai dengan keberanian. Jika tidak, tak ada yang bisa kita ubah.

“Jangan macam-macam, Tigor!”

“Karena ini tengah malam?”

“Karena Ismi adikku. Tak mungkin kami mendengar kata yang sama dari orang yang sama.”

“Itukah yang menyedihkanmu, Rein?”

“Jangan mendesakku, Tigor! Kau mau aku tidak tidur semalaman ini?”

Aku sedih. Kukatakan bahwa diperlukan suatu keberanian untuk membuat hidup kita dapat lebih berharga.

Lalu kudengar isak tangis tertahan. Itu mengingatkanku lagi pada tangis di trotoar itu. Gagang kuletakkan. Asap rokok kutarik dalam-dalam. Rasanya seluruh kota masuk dalam paru-paruku. Berjejal.

* * *

Rein kutemukan di bangku taman jurusan Seni Rupa. Ia pakai sweater abu-abu. Rambutnya dikepang lagi. Diikat pita kuning.

Pagi masih berkabut. Embun menempel di daun akasia. Sebuah daun jatuh menimpaku. Ada bekas air yang tertinggal di lengan baju.

Aku duduk di sisi perempuan itu. Ia melirikku sekilas, lalu kembali menekuri buku di tangannya.

Buku itu kutarik pelan, seperti menarik pisau dari tangan anak kecil. Aha, Mira W. rupanya: Ketika Cinta Pertama Kali Bersemi. Aku menggelengkan kepala beberapa kali.

“Koleksi Ismi,” Rein menjelaskan, tanpa melihatku.

“Aku membacanya sampai lima kali,” cetusku. Ia diam saja. Lalu kututurkan baris-baris buku itu yang masih tetap kuingat sampai sekarang, “Cinta tak pernah salah, Leo, tapi nafsu adalah dosa. Kalau kita harus berpisah, biarkanlah kita berpisah dengan membawa cinta semurni ketika pertama kali bersemi.”

Rein menopang dagu. Ia begitu tenang dan siap tampaknya. Lalu kutambahkan lagi, “Waktu itu aku baru kelas tiga SMP. Rasanya akulah tokoh Leo yang sebenarnya. Aku Leo yang bandel dan mengajari tokoh Melia melompat dari jendela asrama. Aku laki-laki tampan yang menariknya ke WC wanita di bandara. Aku juga laki-laki yang yang paling sedih ketika menemukan luka-luka dipantat gadisku itu. Kau tahu, Rein? Novel itu mengesankanku bertahun-tahun. Dan saat aku bertemu Maimunah, kukira Tuhan tengah memberi Melia yang sesungguhnya dalam hidupku. Ia menjelmakan tokoh cerita itu untukku. Tapi aku meninggalkannya kemudian. Aku bertemu Josephine, anak baru dikelasku. Aku melupakan Melia-ku. Yang kurasakan setiap waktu hanyalah kegembiraan bila bertemu Josephine. Dan kau tahu bagaimana selanjutnya ia menendangku.”

“Itu mengejutkan, Tigor.”

Rein kutatap.

“Karena aku dikuasai novel bertahun-tahun? Kau tahu, kan? Novel dan film telah merusakku.”

“Lebih dari itu, Tigor. Kupikir kau telah menyembunyikan Maimunah selama ini.”

Aku tersenyum datar. Malu dan kikuk.

“Aku bukan tukang cerita yang baik, bukan? Tapi memang, aku tidak bersih sebagaimana yang kau duga. Aku meninggalkannya karena memilih Josephine.”

“Kau sering mengingatnya, Tigor?”

“Maimunah?” sapaku. Ia mengangguk. “Kukira anaknya sudah dua kalau bukan empat. Aku bukan orang yang suka menghitung anak orang.”

Ia menyenggolku dengan sikunya.

“Maimunah tentu masih mengingatmu, ya!”

“Aku pun sering mengingatmu. Tapi bukan lantas urusannya selesai. Sebab, mengingat-ingat saja tidak cukup.”

“Kau sudah makan, Tigor? Nanti kau teriak-teriak di sini.”

“Khusus untuk hari ini aku tidak mau bercanda.”

“Oya?”

“Aku ingin semua kembali normal, Rein. Kuliahku, cita-cita, pekerjaan tetap, sebuah keluarga dengan rumah yang sederhana. Sebuah rumah di tepi bukit. Aku pernah mengatakan ini, kan? Aku mau kau berkenan di rumah yang sederhana itu.”

Oh, matanya mengosong. Begitu sulitnya menyenangkan diri tanpa melibatkan orang lain.

“Aku tahu itu sangat berat bagimu,” lanjutku hati-hati. “Tapi kau juga tahu, aku tak pernah main-main dengan perasaan.”

Rein membeku. Wajahnya berlumur duka. Aku tak berani macam-macam.

* * *

Aku menelepon Rein lagi. Persis jam semalam ketika aku meneleponnya. Entahlah, rasanya ada yang melimpah dalam dada dan minta dituangkan.

Cinta. Kalau semua perasaan yang berjejal ini dapat disebut cinta, maka kukira aku sudah jatuh cinta pada perempuan yang biasa mengepang rambut itu. Dan itu kukatakan pada Rein. Tapi, ia?

“Aku pasti senang, kalau itu kudengar sebelum kau bertemu Ismi,” katanya.

“Kau menghukumku?”

“Bukan. Aku cuma, ah, jangan membuatku bersaing dengan adikku sendiri.”

Sempat juga aku tergugu mendengarnya.

“Rein, kalau saja bisa kututupi, aku tak mau mengecewakanmu.”

Ia tertawa.

“Tidak, Tigor. Kau tidak mencintaiku. Kau terbiasa larut dengan perasaanmu. Jangan dicampur-aduk.”

“Itu melukaiku. Sangat, Rein.” Karena ia diam saja, lalu kulanjutkan, “Aku mungkin mengecewakanmu. Tapi, katakan, bagaimana mengakhiri semuanya tanpa melibatkanmu.”

“Kau tak salah.”

“Buktinya aku tak bisa merebutmu.”

“Kau sudah merebutku. Setiap waktu kau memilikiku.”

“Itu sangat berarti, Rein. Aku senang mendengarnya.”

Denting waktu melintas.

“Tigor, aku ingin kau bisa bahagia. Aku respek dengan cita-citamu, juga rumah sederhana di tepi bukit itu. Aku mau kaumiliki. Tapi pantaskah aku merebutmu dari Ismi? Jangan menawariku pilihan yang sulit.” Nadanya melemah.

“Kalau saja aku punya pilihan lain.”

“Jangan mendesakku, Tigor.”

Rein meletakkan gagang telepon. Aku tersedak. Sepanjang malam aku berbalut duka.

* * *

Aku melukis lagi. Dunia yang sudah bertahun-tahun tak kusentuh. Kanvas, kuas, cat, minyak, dan berbagai sketsa.

Hariku sibuk. Tak kuduga. Banyak objek yang minta diabadikan. Warna-warna gelap makin mendominasi. Kuning dan putih hampir tak kugunakan. Padahal, waktu kanak-kanak dulu, dua warna itu paling kusukai.

Aku mulai berpikir-pikir. Mungkin tak ada warna favorit bagi manusia. Sebab, setiap waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan perasaan kita. Warna hanya gagah-gagahan kita saja.

Ada yang penting lagi. Aku mulai benci air. Kadang-kadang berhari-hari aku tak mandi. Paling cuci muka dan gosok gigi, lalu makan dengan tangan berlepotan cat.

Ini pengakuan yang memalukan sebenarnya. Tapi, bukankah keterbukaan—betapapun buruknya—jauh lebih berharga dari kemanisan semu? Dari awal aku benci segala kamuflase.

Aku juga mulai ragu dengan diri sendiri. Jangan-jangan aku tidak sewaras yang kuduga. Pikiran-pikiran, pola hidup, dan perkembangan perasaan semakin tidak menentu. Tapi dalam hidup seperti ini malah aku menemukan kegembiraan.

Tentang Rein, sudah empat minggu aku tak melihatnya. Itu bukan waktu yang singkat untuk orang yang biasa bersama. Di samping kampus sedang libur semester, aku juga pulang kampung. Iya, aku bertemu ibu dan adik perempuanku: dua sosok yang sekian jauh merebut-rebutku. Ini menggembirakan sekali.

Banyak perubahan besar kutemui. Kampungku makin agresif saja tampaknya. Televisi menyedot perhatian penduduk. Anak-anak hapal lagu-lagu Jakarta. Para gadis memangkas rambut. Juga gaya baru dalam berpacaran. Pasangan tidak lagi malu-malu mengekspresikan nalurinya.

Aku sendiri jarang keluar rumah. Lukisan dan kopi sudah cukup banyak merebut waktuku. Dan tentu saja ibu dan adik perempuanku. Soal Josephine? Maimunah? Nyaris tak kupikirkan. Bukan apa-apa. Aku cuma tidak suka menatap-natap apa yang sudah tumbang. Sebab, menarik atau tidak, menerima kenyataan jauh lebih penting.

Oya, Rein pernah mengirim telegram, sekali. Isinya hanya beberapa kata: Tigor, sudah makan? Gradiva. Lalu aku mengirimnya tiga kata: Senang bisa mengingatmu! Barangkali gaya kalimat pendek memang sedang musimnya. Anita juga tidak meledak-ledak lagi seperti dulu. Ia bicara singkat saja, tapi sering. Aku tidak tahu, apakah ini juga bagian dari dominasi televisi.

Oh, Anita memang sudah besar. Ia bahkan setinggi aku. Kuanggap ini surprais lagi. Sebab tiga tahun ini aku selalu membayangkan bertemu gadis kecil yang menggemaskan dan suka bicara. Ini akibatnya kalau kita terlalu sering menduga-duga.

Jadi memang, banyak yang tak sepenuhnya bisa diprediksi. Ini menyadarkanku betapa kecilnya kita di hadapan alam. Lucunya, itu terbawa-bawa dalam lukisanku. Kaget, panik, sepi, rasa kalah, rasa ingin memberontak: adalah objek-objek yang mendominasi kanvas.

Aku mulai mengerti banyak hal. Ternyata hati begitu besar pengaruhnya terhadap watak dan pola hidup kita. Ini yang paling mencemaskanku. Ada kepribadian yang berubah, semakin tak berbentuk. Karena itu, aku sering ingat tuduhan Rein dulu, bahwa aku menarik dalam cara berbahaya.

Ah, mungkin aku memang terlalu banyak berpikir dan menimbang-nimbang. Mengapa tidak kuterima saja semua keadaan ini sebagai bagian yang wajar dalam hidup dan seharusnya dinikmati? Tidak ada yang lebih bertanggung jawab pada hidup kita selain kita sendiri. Busyet, mengapa selalu aku merasa pintar!

Capek, melukis seorang diri dalam kamar yang terkunci. Kuas kusapukan dengan kepala limbung dan mata layu. Tubuhku penuh keringat dan cat. Juga abu rokok.

Paginya ibu memanggil namaku beberapa kali. Pintu kamarku digedor. Aku terbangun. Mata kuusap-usap. Matahari menerobos jendela. Kukira itu sudah pukul dua belas lebih. Soalnya aku melihat banyangan pohon mangga di tembok rumah sebelah. Itu ukuran waktuku bertahun-tahun.

Oh, tubuhku pegal-pegal. Sepertinya aku bangun tanpa tulang. Lukisanku? Tak tahu objek apa yang kulukis. Mungkin bulan, air jeruk, kuburan, nyawa, Rein, gosok gigi. Yang tampak hanya garis-garis buram dan ruet, sketsa primitif.

* * *

Seperti bangkit dari pertapaan, Yogya panas dan berdebu. Lengket di rerumputan. Malioboro kususuri, sampai ke Tugu. Tanganku penuh tas dan lukisan. Rokok terselip di mulut, asap menyembur berkali-kali. Dan aku ngantuk. Ini kurang ajar. Padahal aku sudah berencana langsung ke rumah Rein.

Rein. Reina Phares. Bagaimana keadaannya sekarang? Tambah gemuk? Memoles diri di kaca? Ia biasa hidup teratur. Bahkan untuk tertawa pun ia teratur. Aku tak tahu bagaimana orang dapat begitu intens dalam sebuah budaya. Eh, jangan-jangan Rein jauh lebih berbahaya dari aku.

Inilah yang kuhindari: masih terlalu banyak berpikir dan bertanya. Mengapa tak kuterima saja apa adanya sebagai sesuatu yang memang mesti terjadi, sama seperti waktu yang memang harus berputar. Bukan waktu kalau tidak bergulir.

Aku memang suka rokok sampai bibirku pecah-pecah, suka tidur di bioskop karena memang perlu tidur, suka kaget karena memang kaget, suka teriak-teriak karena memang melepas beban, suka merasa sepi karena memang kesepian. Katakanlah, suka sesuatu yang khas kita sendiri. Wajar kukira. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, apalagi ditakuti. Artinya, aku tidak seberbahaya apa yang diduga Rein sebelumnya. Ya, kan?

Dan aku kembali berjalan. Aku memamerkan kegembiraan pada tiap orang yang berpapasan di jalan. Kutegur satu persatu, ramah dan akrab. Aku membangun keramahtamahan yang lama hilang di kota. Di rel kereta api, di belokan BNI, di Pasar Bringharjo, di Kantin Bu Suminten, di trotoar, di tiap langkah dan tarikan nafasku. Orang-orang mengerutkan dahi, sedikit menyahut ramah. Aku puas. Aku merasa berguna hari ini. Pintu kost kubuka dengan rasa menang. Begitu bangga menemukan diri berguna, membangun sebuah budaya yang nyaris punah.

Lampu kuhidupkan. Aku tertidur bersama tas dan lukisanku, dengan peluh membasah dan mimpi bertemu Malaikat Penjaga Syurga. Aha, betapa indah terdampar di syurga.

* * *

Mata kuusap-usap. Hei, kamarku bersih, seperti perempuan habis keramas! Seprei putih. Gorden putih. Dan aku tersenyum. Ini pasti kerjaan Rein semalam. Ia memang paling suka warna putih. Jadi semalaman ia tidur di sini? Ah, bagaimana ia masuk! Aku sendiri yang membuka pintu dan menemukan kamar berdebu.

Saku celana kurogoh. Tak ada kunci. Bah, padahal selalu kubawa kemana-mana. Jadi di mana! Di tas pasti! Atau terbawa Malaikat Penjaga Syurga itu!

Aku tersenyum lagi.

Bantal kubalik. Kadang sering juga kuselipkan di bawah bantal. Eh, sarung bantal juga ditukar. Rein ternyata masih juga memberi kejutan pada saat panik begini.

Hei, ada yang aneh! Kamar kuperiksa hati-hati. Banyak yang berubah memang. Lampu, dinding, meja, jendela, bahkan poster Mao Tse Tung di dinding kamar juga hilang. Jangan-jangan celana dalamku juga di tukar. Ya, Tuhan, semua didominasi warna putih. Padahal begitu bencinya aku pada warna itu akhir-akhir ini. Aku yakin, telah berlangsung peristiwa besar di rumah ini. Semacam revolusi, mungkin juga kudeta.

Tasku mana? Lukisanku? Ludes ternyata! Tak ada yang sisa.

Celana kubuka, baju kubuka. Juga celana dalam. Ini perampokan. Hei, ada tiket bis tertinggal di saku celana, tampak kusut. Tentu saja kusut. Dan aku mengejanya: PT ALS, Tigor ke Yogyakarta. Lapor 11.30. Berangkat 12.00. Lunas. 15 Januari 1987.

Jam tangan kulirik. Pukul 8.27, tanggal 23 Januari. Bah, ada selisih berapa hari! Padahal di jalan cuma tiga hari. Jangan-jangan arloji ini juga tak benar, melompat-lompat seperti takdir. Coba, bagaimana kita bisa hidup wajar kalau segala yang tampak tidak benar!

Dunia ini memang sudah rusak. Terlalu lama kita menjalaninya dengan cara yang tidak benar.

Busyet! Ini yang merusakku. Membuatku tak maju-maju. Karena terlalu banyak berpikir dan menyalahkan orang. Padahal bukan masanya lagi menimbang-nimbang. Dunia diciptakan dengan sempurna. Perhatian seharusnya difokuskan pada prioritas. Aku lalu ingat beberapa teori Maslow, Einstein, Marx, dan tokoh-tokoh yang tidak sepenuhnya kukenali. Karena semua tak harus dikenali. Mengapa harus dikenali, kalau kita juga tak pernah dikenali. Dan aku tertawa. Lepas. Aku bersorak kegirangan.

Pintu terbuka. Aku terkejut. Kapan pintuku dipasangi gorden putih? Perempuan muda yang membuka pintu juga tak kukenali. Rein rupanya banyak memberikan alamatku rumahku. Padahal aku saja jarang di rumah.

Lihatlah, seragam putih lagi. Tenang saja mengumbar senyum dan merapikan mejaku.

Tangannya kutarik. Ia tersenyum sabar dan menarik lengannya. Aku malu. Apalagi kalau ia sempat tahu aku mahasiswa semester tujuh.

“Tanggal berapa sekarang?” Aku menegarkan diri dan mencoba ramah. Ah, berapa lama aku tak bicara. Aku sampai malu mendengar suaraku.

Ia cuma senyum dikulum.

“Anda tak perlu tanggal, Tuan Tigor,” jawabnya sabar.

Dan ia kutarik. Wajahnya kuselidik.

“Dari mana Anda tahu namaku? Anda membongkar arsipku, ya! Saya bisa menelepon polisi dan mengusir Anda dari rumah ini!” Aku kesal. Enak saja dia melangkahi privasiku.

“Anda belum waktunya memerlukan telepon dan polisi, Tuan Tigor.”

“Panggil aku Tigor saja. Jangan pakai tuan segala. Ini bukan abad pertengahan.”

“Baiklah, Pak Tigor.”

“Tigor. Tidak pake pak!”

Ia kembali senyum. Aku harus memberi nilai plus untuk caranya tersenyum. Berapa lama ia berlatih untuk senyum sebaik itu!

“Aku perlu tanggal,” tegasku sekali lagi. “Anda tahu, hidup kita diatur tanggal. Tanpa penanggalan, bagaimana kita merencanakan hidup.”

“Tentu saja kita perlu tanggal. Nanti, kalau Anda sudah sembuh.”

“Sembuh?” Ia suka bercanda rupanya. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Tak ada yang melongok dari jendela sebagaimana biasa. Aku suka. Artinya aku bisa tertawa sepuasku tanpa merasa risih ditontoni. Lalu sekali lagi aku tertawa. Tapi ketika ia menyodorkan secarik kertas, aku lemas.

Tanggal 23 Januari 1987. Pasang kembali celana Tuan!

Ia meninggalkanku bengong. Tubuhku terasa babak-belur, terpojok dan penyok. 23 Januari. Berapa hari aku tertidur dan tidak makan!

Luar biasa! Jangan-jangan aku terbawa Malaikat Penjaga Syurga itu! Dan dompet, kunci, tas, lukisanku; semua tertinggal di syurga.

Apakah orang-orang tahu? Ibuku di kampung? Jangan-jangan saban hari fotoku dimuat di koran. Jangan-jangan Rein menyusulku sampai ke syurga! Atau ia tertinggal di sana?

Aku melompat dari dipan. Aku ingin mencarinya. Aku perlu telepon, taksi, mungkin juga peta. Ya, peta, mengapa tidak.! Tiap langkah memerlukan petunjuk.

Pintu kubuka. Aku nyaris menabrak Rein yang tegak di pintu. Kaget lagi. Matanya kosong. Seperti sudah bertahun-tahun tak bersua. Mata yang menyimpan berbagai sangsi, mungkin juga harapan dan obsesi.

Tapi di mana aku?

Aku menerobos keluar. Berlari. Pintu gerbang terkunci. Orang-orang sama sepertiku, terkurung.

Aha! Aku terpingkal-pingkal. Ini pasti di syurga. Aku ternyata belum pulang, lalu Rein menyusul. Sederhana, bukan? Mengapa selalu dibuat rumit! Itu warna-warna putih, bukankah itu warna syurga yang di dalamnya tak ada noda. Tak perlu interpretasi lagi. Apresiasi hanya memperburuk hakikat. Itu makna lugas, makna kamus. Karena itu bidadari juga suka salju. Karena salju berwarna putih. Sinterklas saja yang suka warna merah, ya karena ia tidak di syurga. Putih membuat nuansa menjadi indah. Pantas lukisanku tampak buram. Karena tak menggunakan warna putih. Sederhana rupanya.

Tapi perempuan tadi? Busyet, itu kan Ismi. Ismi lebih dulu berangkat ke syurga. Mengapa begitu idiotnya aku!

Celana? Tidak penting! Di syurga tak ada nafsu dan keserakahan. Syurga adalah kepolosan tak berpretensi. Bukan tempatnya mempertontonkan kemewahan duniawi. Kita juga lahir tanpa celana. Sederhana, jangan berbelit-belit. Aku suka tempat ini. Tempat yang cocok bagi tumbuhnya ketulusan dan kepolosan primitif, jauh sebelum modernisme merusak kita.

Lihat: pagar putih, rumput putih, tanah putih, air putih. Juga papan merek putih. Aku membacanya keras-keras. Setiap waktu, dengan atau tanpa tatapan kosong Rein: Rumah Sakit Jiwa.

[1] Ungkapan bahasa Mandailing untuk menyebut nenek.

[2] Bahasa Mandailing untuk maksud: menangguk ikan di rawa/tertangguk ikan lele/jika hati tengah berduka/duduk termangu menopang dagu.

[3] Dalam bahasa Mandailing artinya ringan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post