askolani

Askolani Nasution. Lulus IKIP Padang, 1993. Menulis cerpen di Majalah “Anita Cemerlang”, Majalah “Tiara”, dll. Sejak tahun 1987. Jua...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tentang Hujan

Tentang Hujan

Apa yang kita anggap indah puluhan tahun ada saatnya kita sesali. Entah karena dulu kita masih muda, atau karena sesuatu yang mengubah kita.

Rein kini duduk di depanku. Hanya sebidang meja kecil yang membatasi kami. Juga dua gelas cocktail, yang setiap kali ia seruput, mampu menimbulkan riuh dalam jantungku. Betapa tidak, ia masih secantik dulu dalam usianya yang nyaris kepala empat. Dua puluh tahun tak bertemu, membuat kenangan yang dipendam itu tercerabut kembali.

Aku mungkin terharu, seperti ia yang juga tampak kikuk. Ia berkali-kali mengusap rambutnya yang lembut. Ah, dulu aku suka sekali memainkan rambut itu setiap kami duduk berdua.

“Masih seperti dulu?” sapanya tersenyum.

“Apa!”

“Parfummu. Tak berubah.” Ah, dari sekian banyak yang mengubah kita, selalu ada yang tetap kita pelihara. Juga parfum itu.

“Masih ingat, ya?”

“Apa yang bisa kulupa, Def,” cetusnya. “Kita mungkin jauh lebih tua. Tapi ingatan masih saja muda.” Ia senyum di kulum. Angin sore menggetarkan jendela kaca.

“Banyak yang sudah terjadi.” Aku diam sebentar. Ia juga bergeming. “Sejak kau tak memberi kabar,” lanjutku.

Ia diam sekilas. Satu menit 24 detik. Lalu matanya berkaca. Tapi ia senyum. Dari sudut kafe kecil ini terdengar lagu November Rain, seperti gerimis yang tampak turun di luar jendela kafe. Ini bulan Oktober. Kata Rein dulu, bulan ketika Meranti berbunga dan hujan nyaris setiap hari. Itu disebutnya ketika kami berjalan melintasi hutan Meranti, dua puluh tahun yang lalu. Dan senyumnya yang mengembang hari itu, juga masih sama dengan senyum yang dipamerkannya hari itu.

“Kamu pernah mengajakku dulu mengejar hujan,” cetusku kemudian karena ia tetap diam. Sambil melirik ke hujan, Rein memamerkan senyum pahit. Tentu karena ia ingat, bagaimana hari itu kami berlari-lari menuruni bukit seraya mengejar hujan. Baju basah kuyup, dan Rein bagai anak angsa yang melonjak kegirangan menikmati hujan sore itu.

Ah, kenangan itu selalu melaju kalau tak disentakkan.

“Aku naif, Def,” cetus Rein kemudian, sambil menyeruput kembali gelas cocktail di depannya. “Untuk hal itu, aku sering tak bisa memaafkan diriku.”

Aku menekuri wajahnya. Tampak ia lebih gemuk sekarang. Semua dipoles rapi, jauh dari kesan apa adanya seperti dulu. Dan cincin belah rotan di jari manisnya. Entah dengan siapa ia akhirnya menikah. Karena ia lenyap begitu saja.

“Apa susahnya menulis surat dulu,” cetusku. Pertanyaan yang nyaris tiap hari aku simpan sejak ia pergi usai tamat SMA. Ah, sudah lama sekali ternyata. Tapi selalu ada kata yang tidak sempat kita ucapkan, hingga tiba masa seperti ini. Misalnya, kalau saja dulu ada kata pamit agak dua menit, aku tentu akan bilang bahwa apa pun akan aku lakukan untuk menahan langkahnya.

“Itu yang kusesali seumur hidup, Def,” cetus Rein akhirnya. Ya, allah, ia menangis. Aku buru-buru menyodorkannya tissue. “Kamu tahu, aku selalu tak bisa menulis surat. Bukan tak mau. Puluhan surat aku tulis, tapi tak pernah berani mengirimkannya.”

“Dan kau menikah,” sergahku.

Ia diam sebentar. Matanya mendelik. Ucapannya kemudian membuatku terharu.

“Kau yang duluan menikah, Def. Aku tahu. Apa adil kalau aku masih menunggumu,” cetusnya. Terhenyak aku.

“Aku menikah karena kau juga lenyap. Tak ada kabar. Apa juga adil kalau aku masih menunggu orang yang tak tahu di mana, tak pernah memberi kabar?”

“Kan sudah kubilang, aku tak sanggup mengirim surat. Apalagi setelah tahu kau married. Apa pantas.”

“Lho sekarang juga aku sudah married, kan kita tetap bertemu.”

“Ya, sudah,” ia bangkit. “Aku pergi kalau begitu.”

Kusambar lengannya segera dan menariknya duduk.

Rein menangis. Itu mengagetkanku. Baru sekali ini aku melihatnya menangis. Dulu ia tampak amat tegar, sampai tak ada yang bisa menebak perasaannya.

Aku panik juga melihatnya begitu rupa. Ceritanya kemudian membuatku amat kaget. Bagaimana malam itu ia nyaris ditiduri pemilik kost-nya, bagaimana ia harus pulang pagi itu juga, bagaimana ia amat trauma untuk kembali ke sini menemui aku karena kejadian itu, juga rasa bersalahnya karena tak memberi kabar.

“Naif semuanya, Def. Untuk hal itu, aku tak pernah bisa memaafkan diriku,” tambahnya.

* * *

Kami kembali bertemu. Di kafe yang sama. Rein datang dengan stelan yang amat elegan. Tentu saja, katanya dari kantor ia langsung ke sini. Tak pernah kubayangkan ia tampil seperti itu, karena ia dulu selalu pakai jeans dan kaos casual. Karena itu, aku senyum-senyum menyambutnya.

“Kenapa?” Rein menyergah.

Gak. Lucu saja.”

“Karena baju ini, ya?”

“Karena kamu datang belum mandi,” cetusku bercanda.

“Tentu saja. Aku mandi dulu kalau begitu,” ancamnya.

“Dulu juga kamu bau,” sergahku seraya menarik lengannya duduk.

“Mana pernah aku bau.”

“Eh, dulu pulang sekolah juga kita bertemu. Gak sadar, ya.”

“Sadar. Kan kamu suka.”

“Kata siapa.”

“Kan kamu peluk juga aku.”

“Iya sih,” aku mengaku. “Karena kamu cantik.”

Rein meletakkan tasnya di meja. Aku memesan blue ocean soda, Rein memesan iced taro latte. Di kafe terdengar lagu “Di balas dengan Dusta – Audy”. Rein tampak menikmati.

menyakitkan bila cintaku dibalas dengan dusta namun mencintamu tak kan kusesali karna aku yang memilihmu

…..

“Suka ya,” cetusku.

“Karena aku pernah salah,” jawabnya. “Dan kamu meninggalkanku.”

Aku terdiam. Mungkin tergugu tepatnya. Kuceritakan bagaimana setelah ia pergi, aku kelimpungan. Tiap hari hanya jalan sendiri menyusuri jalan-jalan yang kami lalui dulu, bagaimana aku nyaris menelantarkan kuliahku, dan tentu bagaimana akhirnya aku memilih seseorang tanpa berharap bisa bahagia.

Rein terdiam.

“Aku kira kau bahagia,” cetusnya.

Aku diam sebentar. Lalu balas menyapa hal yang sama. Jawabannya membuatku kembali terpana.

“Kata orang cinta hanya lahir sekali, Def,” cetusnya. “Kita mungkin bisa tertawa dengan siapa saja. Tapi cinta dengan seseorang tidak akan berakhir hanya karena telah ada orang lain.”

“Pintar kau sekarang,” cetusku bercanda.

“Hanya makin dewasa,” katanya. “Dulu aku baru 18 tahun, Def. Harusnya kau mengerti, usia begitu masih bisa salah.”

Aku kembali diam. Ceritanya kemudian amat mengagetkanku.

Pulang ke Medan, katanya, ia sempat kuliah. Tapi tak betah. Ia hidup uring-uringan, apalagi setelah dapat kabar kalau aku sudah menikah. Lalu ia bertemu Romy, preman di simpang jalan. Pulang kuliah, katanya, karena hujan ia berteduh di halte. Begitulah ia bertemu lelaki yang kemudian menjadi suaminya itu, yang karena itu ia membenci hujan, hingga hari ini.

“Bayangkan, Def,” katanya. “Romy yang tiap hari kerjanya mabuk, orang begitu yang jadi suamiku. Bahkan aku pindah ke agama dia. Aku kira kalau aku pindah agama, hidupnya bisa berubah.”

Aku terpana. Karena aku tahu bagaimana kukuhnya wanita ini dulu dengan keyakinannya. Bahkan karena beda keyakinan itu juga yang membuatnya belajar melupakan aku. Karena tak mungkin meneruskan hubungan yang berbeda keyakinan, katanya. Eh, malah nyatanya ia menikah dengan orang yang sama keyakinan denganku.

“Ketika mendengar dari Tia bahwa kau sudah menikah, tak banyak lagi yang kupikirkan untuk calon suamiku,” katanya. Aku lemas mendengar penuturannya.

Ia bilang juga bahwa ia tak ingin meneruskan pertemuan ini, meskipun ia sangat ingin melakukannya. Bukan karena ia tak sanggup mengkhianati Romy, tapi karena ia tak tega menarikku dari Siska, istriku.

“Kalau ia bisa menerimamu ketika hidupmu kelimpungan, ia tentu lebih bisa menerimamu kalau aku tak pernah ada.”

Begitulah senja itu kami pulang berbeda arah, di bawah hujan yang ia benci, tapi yang membuatku terkenang semuanya. Makin deras hujannya, makin deras kenangan tentang Rein. Hanya Rein yang tidak.

“Mungkin hujan ini akan membunuhku,” katanya tadi, sesaat sebelum kami berpisah.

* * *

Malam, belum pukul sembilan. Aku duduk di teras, seraya memandangi hujan. Siska menawariku teh jahe. Biar tak masuk angin katanya. Tentu karena bajuku sedikit basah. Aku bilang hanya sebentar.

“Kangen melihat hujan,” cetusku seadanya.

Siska tertawa. Hujan kok dikangeni, katanya. Tentu saja ia tak tahu bahwa hujan selalu membangkitkan kenanganku pada Rein. Dulu, kami juga berpegangan di bawah hujan, di tepi sungai berbatu itu.

“Hujan itu menenangkan,” katanya ketika itu. Ia lalu menggayutkan tangannya di lenganku. Aku lalu menuntunnya memetik anggrek hutan. Rein berkali-kali bersorak girang.

“Def.”

“Ya.”

“Misalnya, misalnya lho, Def, kita tak sejodoh nanti, hujan mungkin akan selamanya mengingatkanku pada momen begini.”

“Terus?”

“Ya, Kan banyak yang bisa terjadi, Def. Kita, misalnya, kan kita beda keyakinan….”

“Tentu saja,” potongku.

Rein agak kaget. Aku memang tak suka membahas itu. Rein tak mau berlama-lama kami tegang. Ia selalu punya cara untuk meluluhkanku. Dengan sigap ia memelukku seraya berujar, “Def, kamu akan memiliki hatiku selamanya, hingga aku mati.”

Itu di tengah hujan, menjelang malam. Sama derasnya dengan hujan malam ini.

Tiba-tiba Siska datang menyodorkan ponsel, menyentakkan lamunanku. Terdengar suara seseorang di seberang. Katanya dari Tania, teman Rein. Ia katanya dapat nomorku dari ponsel Rein.

“Terus?” Aku tak sabar.

“Mas, yang sabar ya. Rein kecelakaan,” katanya nyaris tak terdengar.

“Di mana sekarang?” Aku berusaha menenangkan diri. Siska menggamit lenganku.

“Di rumah duka, Mas.”

“Maksudnya?”

“Rein meninggal, Mas. Mas…”

Aku mematikan telepon. Siska memelukku. Aku termangu, kembali menatap hujan yang makin deras. Hujan ini telah menutup sebuah kisah, baru saja. Entah aku membencinya, atau malah membuat makin deras kenangan itu.

* * *

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow.. selamat datang di gurusiana

11 Jul
Balas



search

New Post