Hari kedua di rumah kakak, ada peristiwa yang mengesankan bagiku. Saat duduk-duduk di teras rumah kakak aku disapa oleh seorang lelaki paro baya. “Assalamualaikum, Bu As yaa...?” tegurnya. Aku langsung menjawab, “Iya saya Bu As”. Lalu lelaki itu menjawab, “Saya Eko, murid Bu As sewaktu di MTs dulu”. “Yang dulu murid paling nakal”, imbuhnya. “Oh Eko...Maaf ibu pangling”. Eko adalah muridku di MTs Daarul Falah Sukorame, Lamongan tahun 1993. Lalu kami terlibat dalam perbincangan. Dia memperkenalkan istri dan anaknya yang sejak tadi bersamanya.

Dia menceritakan pengalamannya selama ini sampai akhirnya menjadi angkatan darat dan berpangkat sersan mayor. Awalnya dia bertugas di Jakarta, sudah setahun dia pindah ke desa Sukorame ini. Memang nasib seseorang tidak bisa kita tebak. Meski dahulu, Si Eko anak yang paling bandel namun setelah dewasa menjadi orang yang baik dan bernasib baik.

Cukup lama kami berbincang-bincang. Sampai akhirnya aku berkata, “Terima kasih kamu masih ingat Bu As dan mau bertegur sapa”. Ngomong-ngomong, “Apa yang menyebabkan kamu masih ingat Bu As ?. Eko menjawab, “saya tidak akan pernah melupakan Ibu”. Bu As seorang guru yang tegas dan selalu menegakkan disiplin kepada muridnya. Saya dulu pernah dilempar kapur oleh ibu karena selalu ramai, saat Ibu menjelaskan materi fisika. Saya juga selalu ditunjuk untuk mengerjakan soal-soal di papan tulis. Bagi saya itu kenangan tersendiri.

Mendengar penuturan Eko yang polos itu, aku termangu, lalu aku meminta maaf atas perlakuanku selama mengajar dulu. “Eko tersenyum dan berkata, memang saya yang bandel Bu waktu itu”. Sebenarnya aku agak malu saat Eko menyampaikan pernah kulempar kapur. Dalam hati aku berkata,” begitu kejamnya aku dulu saat mengajar, sampai melempar kapur anak orang”. Kira-kira pukul 20.30 Eko dan istrinya pamit pulang, sebelumnya kami foto bersama sebagai kenangan.