Asro al Murthawy

Biodata Asro al Murthawy, lahir di Temanggung 6 November. Ketua Umum Dewan Kesenian Merangin Jambi. Puisi-puisinya terkumpul di beberapa antologi t...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bujang Peniduk

Bujang Peniduk

Bujang Peniduk

Dahulu, di Dusun Air Batu hiduplah seorang ibu bernama Mak Kayah. Mak Kayah tinggal bersama anaknya. Seorang anak laki-laki yang beranjak dewasa.

Anak itu berbadan gemuk dan tambun. Ada satu kebiasaan yang dimilikinya, yaitu tidur. Ia bisa tidur saat pagi, siang maupun malam. Ia bisa tidur di rumah, di surau atau di pondok saat pergi ke ladang. Pokoknya ia bisa tidur kapan saja dan dimana saja.

Oleh orangtuanya, ia diberi nama Samsul. Tetapi orang sedusun memanggilnya sebagai Bujang Peniduk. Dalam bahasa Dusun Air Batu bujang peniduk artinya pemuda yang suka tidur.

*******

Suatu hari Bujang Peniduk diajak ibunya ke ladang. Ladang itu terletak di seberang sungai. Tiba di ladang Mak Kayah langsung sibuk menuai padi. Alhamdulillah, padinya menjadi musim ini. Panennya melimpah. Padi hasil panen itu biasanya akan dikumpulkan dan disimpan dalam lumbung. Orang dusun Air Batu menyebutnya sebagai bilik padi.

Di ladang itu belum ada bilik padi. Mak Kayah sangat berharap anaknya itu dapat membuatkannya sebuah bilik padi. Bujang Peniduklah satu-satunya orang yang diharapkan dapat membantunya. Ayah Bujang Peniduk telah lama meninggal.

Tapi, lihatlah! Anak itu kini tengah mendengkur di sudut pondok. Bukannya membantu ibunya menuai padi, Bujang Peniduk malah asyik tertidur. Mungkin angin sepoi-sepoi yang bertiup membuatnya mengantuk.

***

Hari telah siang. Sebentar lagi waktu zuhur tiba. Padi yang dituai Mak Kayah telah menumpuk. Iapun tampak capek dan lelah. Tetapi Bujang Peniduk masih tertidur di pondok.

“Bangun, Jang! Hari telah siang. Mak mau balik sekarang!” berkali-kali Mak Kayah mengguncang-guncangkan tubuh anaknya.

Namun Bujang Peniduk tak juga mau bangun. Ia hanya menggeser tubuhnya, lalu

.”

Bergegas Mak Kayah berjalan kembali ke dusun. Ditinggalkannya Bujang Peniduk dan padi hasil panenan di ladang itu.

Hari hampir magrib ketika Bujang Peniduk terbangun. Masih terngiang kata-kata sang ibu yang sempat didengarnya.

“Oh, benarkah aku menjadi anak yang tidak berguna? Kasihan Makku. Aku sangat sayang padanya. Aku tak boleh membuatnya bersedih.”

Bergegas Bujang Peniduk bangun. Dengan sigap ia berjalan ke ujung ladangnya. Di tempat itu banyak tumbuh rumpun bambu betung. Bujang Peniduk mencabut batang-batang bambu itu, satu demi satu. Kemudian ia membawa batang-batang bambu itu ke dekat pondok.

Dengan tekun Bujang Peniduk terus bekerja. Batang-batang bambu itupun dipotongnya. Potongan-potongan yang besar dijadikannya sebagai tiang. Tiang-tiang itu dihubungkan dengan potongan bambu lain yang diikat dengan tali.

Sedangkan potongan-potongan yang lebih kecil diinjak-injaknya hingga menjadi pipih. Dengan tali, diikatnya pipihan bambu pada tiang yang telah dipancangnya. Jadilah dinding bilik padi itu.

Sebelum magrib bilik padi itu telah selesai dibangun. Tumpukan padi hasil panenan ibunya dimasukkan ke dalam. Bujang Peniduk mengerjakan semuanya itu dengan semangat. Ya, ia ingin menyenangkan hati ibunya.

Selesai dengan pekerjaannya Bujang Peninduk kembali ke pondok. Iapun meneruskan tidurnya.

**********

Keesokan harinya Mak Kayah datang di ladang. Ia terkejut melihat di dekat pondok sudah terbangun sebuah bilik padi. Tumpukan padi hasil panen kemarin, telah pula berpindah di dalam bilik padi itu. Sementara Bujang Peniduk masih terbaring di dalam pondok.

“Oii, Jang bangun! Ini kubawakan makanan untukmu,” serunya.

Bujang Peniduk terbangun. Ia bergegas mencuci muka. Lalu dengan lahap menyantap hidangan yang dibawa ibunya.

Sementara Mak Kayah masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Siapa yang membuat lumbung itu?, Sambil melihat anaknya makan ia bertanya,

“ Jang oi Jang! Siapa yang membangun bilik padi itu ?”

“Anak Ibu inilah! Petang kemarin lah selesai.” Tanpa menghentikan makannya Bujang Peniduk menjawab.

Sang ibu seperti tak percaya. Namun kenyataannya memang demikian. Tidak ada orang lain di ladang, selain anaknya.

“Kau sendiri yo Jang?”

Bujang Peniduk hanya mengangguk saja. Mulutnya penuh nasi. Masakan ibunya benar-benar lezat.

***********

Suatu ketika, orang Dusun Air Batu bergotong royong mendirikan surau. Sebagian laki-laki bertugas mencari kayu di hutan. Kayu itu akan digunakan untuk tiang dan bahan ramuan bangunan. Sebagian yang lain membersihkan semak dan mendatarkan tanah.

Seperti biasanya Bujang Peniduk ikut hadir tapi kerjanya lebih banyak tidur. Hingga hari hampir siang Bujang Peniduk tak bergeming dari tidurnya. Sementara teman-teman yang lain telah bercucuran keringat karena bekerja.

Melihat hal itu, marahlah penduduk dusun pada Bujang Peniduk. Mereka telah capek bekerja. Tenaga mereka telah habis. Keringatpun bercucuran. Maka beramai-ramailah mereka mendatangi Bujang Peniduk.

“Oi, pemalas nian Kau, Jang!”

“Kalau mau tidur, di rumah saja!”

“Pulang sajalah kau, tak ada gunanya di sini.”

Berbagai makian dan sumpah serapah terlempar kepada Bujang Peniduk.

Tak jauh dari tempat itu Mak Kayah mendengar sumpah serapah orang sedusun. Hatinya sedih. Ia tak rela anak tunggalnya diperlakukan demikian. Mak Kayah sangat menyayangi anaknya.

“Bangunlah Jang. Pergilah ke Hutan. Ambil kayu yang telah ditebang orang-orang itu. Bawa ke sini!” kata Mak Kayah sambil mengguncang-guncang tubuh Bujang Peniduk.

Bujang Peniduk pun bangun. Ia sangat patuh dengan ibunya. Tanpa berkata-kata lagi ia terus berjalan ke hutan. Perintah ibunya harus segera dilaksanakan.

*******

Hari masih siang. Matahari bersinar dengan terik. Siang itu panas bukan main. Orang-orang dusun menghentikan gotong royongnya. Mereka sedang beristirahat untuk makan siang. Tapi apa yang terjadi?

Dari arah hutan, Bujang Peniduk datang. Ia memanggul beberapa batang kayu kulim. Batang-batang kayu kulim itu berbentuk balok tiang. Tanpa terasa berat kayu balok kulim itu dipikulnya. Lalu balok-balok kayu itu diletakkannya di tempat yang telah disiapkan.

********

Penduduk dusun terkejut. Mereka heran, Sungguh mereka tidak pernah menyangka. Seorang anak yang selama ini mereka anggap pemalas, ternyata bisa mengangkat balok-balok kayu yang berat itu sendirian saja. Anak yang sukanya tidur itu ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa.

Segera mereka beramai-ramai membantu menegakkan tiang surau. Kekuatan yang dimiliki Bujang Peniduk telah membantu percepatan membangun surau.

Tuhan memang Maha Kuasa. Orang yang tampaknya tidak berguna, ternyata berjasa besar bagi sesamanya. Kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari luarnya saja.

Teman-teman, bukti-bukti kekuatan Bujang Peniduk itu masih dapat kita lihat. Hingga kini surau itu masih kokoh berdiri. Letaknya di Dusun Baru Air Batu, Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin. Sekarang berganti nama menjadi Masjid Tua Baitul Ikhsan.

*****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post