Asro al Murthawy

Biodata Asro al Murthawy, lahir di Temanggung 6 November. Ketua Umum Dewan Kesenian Merangin Jambi. Puisi-puisinya terkumpul di beberapa antologi t...

Selengkapnya
Navigasi Web

P E N Y A I R

Gila,

Tiba-tiba saja aku ingin jadi penyair. Kalau ada orang yang bertanya apa yang menjadi latar belakang keinginanku, aku jawab tidak tahu. Aku jujur. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ingin jadi penyair. Yang jelas dalam pikiranku seorang penyair itu enak. Boleh apa saja. Bicara apa saja, pada siapa saja. Penyair boleh mengkritik siapapun tanpa peduli siapa yang dikritiknya. Pemerintah, pedagang, tetangganya, temannya, atau dirinya sendiri. Seorang penyair juga boleh berpenampilan semaunya. Bersandal jepit. Memanjangkan rambutnya. Pakai celana kusam. Atau seenaknya nongkrong di tepi jalan. Pendeknya jadi penyair itu enak. Titik.

Beruntung nilai Bahasa Indonesiaku di ijazah SMA cukup lumayan. Bukankah kerja seorang penyair selalu berurusan dengan kata-kata? Aku memang suka membaca, yang notabene adalah mengumpulkan kata-kata dalam keranjang ingatanku. Aku dengar wahyu pertama yang diterima seorang buta huruf yang dipilih jadi nabi adalah perintah membaca. Makanya aku terus saja membaca. Mengunyah dan menghimpun kata. Kata-kata itu kukoleksi. Aku yakin aka nada gunanya. Makanya membaca menjadi salah satu kebutuhan yang tak terelakkan. Aku membaca apa saja. Yang tersurat dan yang tersirat. Kalam dan ayat. Yang tertulis di buku-buku, pada kitab suci, koran bekas, selebaran gelap, arisan berantai, bungkus obat anti nyamuk, kemasan obat anti hamil, juga poster-poster. Aku juga membaca langit, gunung-gunung, laut, bintang, bulan matahari, gerimis, mendung dan hujan. Aku juga membaca hewan, tumbuhan, pasar, mushola, tetangga kiri kananku, dan wece. Pokoknya aku membaca.

“Membaca saja tidak cukup. Kamu mesti bergaul dengan sesama penyair. Kamu mesti mengetahui dulu apa hakekat penyair. Kalau tidak kamu akan tersesat. Bukankah Tuhan pernah mengutuk para penyair yang sesat?”

Okelah. Boleh juga nasehat itu. Walau sampai kini pun aku tak tahu siapa yang mengucapkannya. Akan kucoba melaksanakannya. Akan kucoba melaksanakannya. Mencari hakekat penyair, alangkah mulianya tugas itu terbeban di punggungku. Maka dengan bangga aku mulai melangkah ke dunia penyairan. Dunia kata-kata, dunia yang amat menarik untuk diarungi.

Mula-mula aku menemui Socrates di Athena. Kalender di dinding tempat tinggalnya, bukan rumah melainkan penjara, menunjuk angka 399 SM. Melihat aku datang, Socrates buru-buru menyambutku.

“Kau datang pada saat yang tepat. Kau akan melihatku menenggak secawan anggur kemenangan. Kau akan melihat sendiri bagaimana beratnya tugas seorang penyair. Kau bawa tustel kan? Nanti kau foto aku ya!” pintanya memelas. Aku mengangguk. Tampa disuruhpun aku akan mengabdikan apa yang akan terjadi nanti.

Tak berapa lama datanglah seorang penjaga membawa secawan racun dan menyerahkannya pada Socrates. Serta merta penyair filsuf itu menegaknya hingga tuntas. Tass.

“Catat, ya! Ini kupinjami ballpoint!” serunya tertahan. Tak lama mulutnya berbuih. Nyawa Socrates lewat.

Dengan membawa seribu pertanyaan Socrates. Kejadian tadi sedikit menggoyahkan tekadku jadi penyair. Tetapi kejadian-kejadian serupa yang terjadi sesudahnya, membuatku menjadi lebih terbiasa. Dipancungnya Al Hallaj menjadi biasa bagiku, toh para TKW kita juga banyak yang mengalaminya. Digantungnya Syeh Siti Jenar oleh sesama wali juga kukunyah begitu saja seperti makan kuaci. Kebenaran digantung adalah hal yang biasa saja. Lumrah, keterbiasaanku itu membuat ringan langkahku.

Perjalanan selanjutnya mempertemukan aku dengan Chairil Anwar. Sebebarnya, aku enggan bertemu dengannya. Takut dibilang mau “ndompleng’ ketenarannya. Takut jadi imitasinya, takut jadi epigonnya. Makmumnya.

Tetapi ketika kulewati kuburannya di karet. Chairil tiba-tiba saja sudah menghadangku. Acuh saja dia sambil menyedot rokoknya. Tak peduli dia, baik kepada membumbungnya harga rokok karena pajak cukainya naik 100% maupun kepada aku yang berjalan di depannya. Mula-mula aku tak mengenalinya. Aku lewat begitu saja tanpa keinginan untuk menegurnya. Kata-kata yang diucapkannyalah yang membuatku berhenti.

“Hidup mesti diisi. Sekali berarti sesudah itu mati.” Aku terkesima. Tapi sosok itu keburu lenyap. Ya. Chairil mati muda. Lantas aku ingat pada Amir Hamzah, Kriapur, dan Ragil Suwarno Pragolapati. Kalau ingin jadi penyair terkenal matilah selagi muda.

Pertemuan antara aku, para penyair dan maut itu menyesakkan dadaku. Mengapa nasib penyair harus selalu bergelimpang dengan maut? Punya hakkah penyair untuk kaya, dihormati, punya kewibawaan dan kekuasaan? Aku terus bertanya pada siapa saja. Jawaban yang kudapatipun beragam.

“Penyair adalah seorang pemalas.”

“Penyair adalah kayu pertama pada tumpukan pembakaran.”

“Kerja mengarang sajak tak memerlukan bakat. Bakat hanya berperan 1% sedangkan yang 99% adalah latihan dan kerja keras.”

“Kalo ingin cepat jadi penyair, bertanamlah di lading yang baru dan belum ada pohon durennya. Kemungkinan akan panen lebih besar sebab takkan ada durian yang menimpanya sewaktu-waktu.”

“Menyair adalah bertani. Cukup untuk diri sendiri. Kalau sisa, berikan pada tetangga dan yang membutuhkan. Kalau masih sisa, barulah kau jual sehingga orang yang dapat menikmatinya menjadi lebih banyak.”

Di samping bertanya aku juga memperhatikan bagaimana kawan-kawanku yang menganggap diri mereka penyair bekerja. Ada yang tiap hari duduk-duduk termenung di rumahnya, membaca dan mengkliping Koran. Sesekali keluar dengan tas kecil di tangannya berisi tulisan dan disket puisi-puisinya. Memuatkan tulisannya itu di koran lalu marah-marah kalau honornya tak segera kunjung dibayar. Ada yang sibuk di pabrik roti dan mencatat kesehariannya dengan susunan kata yang indah. Ada pula yang sibuk kasak kusuk membuat proposal, menjadi panitia, pemakalah dan lalu menerbitkan puisinya sendiri. Ada yang kejatuhan ‘pulung’ kepenyairan hanya karena keadaan.

Akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa kerja kepenyairan tak layak untuk diteruskan. Harus dihentikan sebelum sesuatu yang lebih buruk menimpaku. Kerja penyair hanyalah kerja biasa. Sama dengan kerjaan tukang las, penjual bakso, tukang leding, montir, kernet bus, atau seorang petugas sensus. Kalau toh ada penyair mati muda, itu lebih disebabkan oleh penyakitnya. Yang mati diracun, digantung, atau dipancung itu karena ulah politiknya, bukan karena kerja kepenyairannya. Aku kian muak dengan cita-citaku. Aku tak ingin jadi penyair. Alangkah mubazhirnya jika semua potensi besarku hanya kugunakan untuk mengurusi hal-hal yang tak jelas juntrungannya. Aku mesti segera banting setir. Cita-citaku menjadi seorang penyair adalah sebuah kesalahan total. Mesti segera disudahi. Sekarang juga.

Maka segera kukumpulkan seluruh kawan-kawanku. Suharto, Sudomo, Habibi, Hartono, Amien, Dulrahman Wahid, Dulrahman Sayuti, Megawati, Tutut, Kanana Gusmao, Pram, Mas Willy, Tardji, Navis, Amak, Putu, Petruk, dan Power Rangers. Kutebarkan undangan begitu banyak.

Di antara yang hadir tampak pula Ja’far Rasuh, Ja’far Sidik, Ari Setya Ardhi, Ari MHS Ce’gu, Ari Sihasale, Acep Zamzam Noor, Acep Syamsul Hari, Acep Syahril, Bing F Laro, Bing Slamet, Budi Veteranto, Budiman Sudjatmiko, Didin Sirojd, Didi Petet, Dimas Agus Pelaz, Dimas Wahab, Dimas Arika Mihardja, EM Yogiswara, EMEM Prahana, Maizar Karim, Ninik L Karim, Nono Anwar Makarim, Ahmad Nurullah, Ahmad Tohari, Ahmad Rodhi, Amri Yahya, Amri Swarta, Amri Palu, Joni Rizal, Joni Yanto, Joni Gudel, Firdaus, Sudirman, Suardiman Malay, Afnan Malay, Nanang Sunarya, Acep Sunarya, Ida Bagus Putra, Ida Bagus Oka, T. Junaidi, T. Wijaya, T. Ikram Jamil, Yusrizal KW, Yusmiral, dan Yupnical.

Sementara Bapak Simbok, Fitri. Wiwit Yuni Kurniawati, Sudaldi Hariyanto, Nanang dan seluruh kerabatku sibuk melayani para tamu. Wijang Wharek Al Mauty dan Dasri Al Mubary juga sibuk. Maklum mereka semarga denganku.

Dan tibalah waktunya aku tampil di mimbar. Menjelaskan kepada semua yang hadir bahwa aku akan mencabut keinginanku menjadi penyair. Kemuakanku sudah tak tertahankan lagi rasanya.

“Saudara-saudaraku yang hadir, kerja penyair telah membosankanku, kendati aku belum melakukannya. Tak ada tantangan. Tak ada yang diharapkan. Aku muak…”

Belum habis kata-kataku, gedung pertemuan itu menggemuruh oleh tepuk tangan. Ada pula yang sampai bersuit-suit. Aku heran. Bingung dan muak. Kemuakanku tiba-tiba melesat dari rongga perut menuju ubun-ubun.

“Diam!!” aku berteriak.

Semula keheningan memagut. Tetapi gemuruh tepuk tangan kembali menyerbu telingaku begitu aku turun dari mimbar.

“Selamat. Anda berhasil.”

“Puisi yang benar-benar sempurna.”

“Anda benar-benar penyair yang hebat.”

Suara-suara itu membuat tubuhku limbung. Dan bagaikan gasingan kurasakan semuanya berputar dengan mengeluarkan bunyi dengung. Sesudahnya gelap.

Paginya, semua media yang ada di negeriku, baik media elektronik, media cetak, internet, maupun media angin yang dibawa orang dari mulut ke mulut menyuarakan kata yang sama. Seragam.

“Hari ini telah lahir seorang penyair.”

Gila.

Sebait sajakpun belum pernah aku buat. Aku nggak rela Nggak rela…

Sanggar IMAJI 1433 H

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post