Atmasari nurhayati

Atmasari nurhayati adalah seorang pustakawan sebuah sekolah dasar di kecamatan pinggir timur kabupaten Tulungagung. Tepatnya di SDN Sumberagung 02 kecamatan Rej...

Selengkapnya
Navigasi Web

Pucuk Merah

Oh Tuhan, hamba sedang penat sekarang! keluhku

Kumatikan laptop yang sejak beberapa jam tadi ku nyalakan. Sebuah rutinitas mengecek naskah anak-anak membuatku sedikit mabuk laptop. Kopi yang sejak tadi menemaniku tinggal cethenya saja. Beruntung aku tak pandai melukis, hingga cethe itu terlepas dari sasaranku. Biasa, untuk emak-emak sepertiku ini cethe lebih cocok menjadi sasaran srub kaki. Lumayan untuk mengangkat sel kulit mati. Terlihat lebih cerah dari sebelumnya.

Ku lihat jam di handphoneku. Waktu menunjukkan pukul 10.05 WIB. dua jam lagi anakku pulang sekolah. ahaa, tiba-tiba terlintas bayangan untuk memanjakan diri. iya, aku harus keluar rumah, mencari kesejukan mata diluar sana. Apalagi tipikalku yang lebih doyan makan dikala stres menggelayut membuatku berimajinasi leyeh-leyeh sambil ngemil di udara terbuka.

Ku pacu motorku, aku harus bisa memanfaatkan waktu dua jam ini untuk merefresh diriku. Sebelum akhirnya kembali pada rutinitasku sebagai ibu dan wanita karier. Sejurus kemudian aku memasuki kawasan kota. Celingak-celinguk mencari target cemilan yang akan menemaniku bersantai. Tak lupa, pena dan kertas selalu terbawa dalam tasku. Penadah luapan ide yang terkadang menyambet tanpa di duga.

Tiba di bundaran TT, kubelokkan ke arah kiri. Disana banyak sekali penjual kaki lima dengan berbagai suguhan yang dijual. Mulai dari makanan tradisional hingga kekinian pun ada. Kubaca salah satu outlet yang menawarkan lontong tahu dan sompil. Ah aku tidak ingin makan berat.

Motor pun terus melaju hingga sampai di perempatan. Karena jalanan ramai aku tak siap berbelok. Akhirnya kuambil langkah lurus. Eits, ada suatu outlet yang menarik penglihatanku. Akupun balik kiri karena terlanjur terlewat.

Ah beruntung, pukul segini sudah buka. Kuhentikan motorku.

Mbak cantik penjaga outlet menyapaku dengan senyum manisnya. Ahaa, semakin menyelerakan rasaku untuk segera mencecapnya. Minuman duren, maksutku.

Maaf mbak, belum ready. Senyumnya tetap mengembang

Belum Ready? tanyaku balik.

Beruntung aku paham akan arti ready. Ah rasanya memang begitu keren jika menyebut istilah itu dengan bahasa asing.Tiba-tiba terasa getir kurasakan. Bukan hanya penggunaan istilah asing yang begitu mendarah daging di kehidupan sehari-hari namun juga getir karena hasrat menikmati duren menjadi tertunda.

Kupacu motorku dengan penuh kehampaan. Melaju pelan seiring pencarian destinasi tempat atau olahan kuliner. Celingak celinguk mencari tempat, jikalau ada yang cocok dengan bayangan. Diotakku terus berkecamuk, harus kubawa kemana diriku ini. Kuturuti jalanan Kota Tulungagung tanpa tujuan pasti. Kulewati jalur searah di Pasar Wage hingga tiba dipertigaan jalan besar.

Ahaa, inikan arah ke Hutan Kota! pekikku dalam hati

Iyes! Terbayang segala kesejukan hutan kota yang terletak di daerah Desa Ketanon itu. Kerikil yang tertata rapi, memanjakan kaki telanjang dengan sensasi sentuhan batu yang tertata rapi. Pohon nan rimbun dan berbagai tanaman hias yang berpadu warna. Terbayang rumput nan hijau menyegarkan. Terbayang duduk dikursi taman sambil menyantap kuliner tahu walik nan krispy dengan saus tomatnya. Krepes asin gurih manis asem campur menjadi satu.

Klop sudah. Kengileran itu mendorong hatiku menjatuhkan pilihan pada tempat itu.

Kuseberangi jalanan yang tak begitu ramai siang itu. Menurutkan jalan disisi selatan sungai. Kulihat ramai kehidupan penduduk disana. Rumah kecil berdempet. Berhias berbagai warung yang menanti pembelinya. Disisi kiriku, dipinggir sungai tampak pohon Cherry Karsen merimbun, memicu berbagai tempat cangkruk yang begitu asyik.

Lhoh? aku terkesiap!

Bayangan tadi lagi-lagi tak seperti kenyataan. Tak kulihat kuliner tahu walik nan crispy itu. Mungkin waktunya yang tak tepat. Kala itu, sore . Persiapan acara outboundyang dilaksanakan keesokan harinya, kami bersantai sambil menikmati tahu walik tersebut. Angin semilir menambah syahdu rona senja di ufuk barat. Layaknya rona tahu walik yang semburat jingga warna saos. Krepes, krepes, kenyal. Begitu nikmat kurasakan ditengah rasa yang tak begitu lapar.

Aku hanya mampu terduduk di bangku warung yang sedang tak beroperasi tersebut.

Kupandangi Huko dari jauh, namun bayangku tak mampu menikmati keindahannya. Kekecewaan terhadap tahu walik tersebut, memacu mataku berkeliaran mencari target ngemil. Tak kutemukan. Hanya ada warung mie ayam di sebelah selatan pintu masuk Huko.

Ah..tidak, terlalu berat. Aku hanya ingin ngemil!

Kumasuki wilayah Huko nan hijau. Menapakkan kaki bersepatu di antara bangunan lantai berkotak-kotak. Rasanya tak tega aku menginjak rumput hijau berseri itu, walau tak kutemukan tulisan larangan menginjak rumput. Sesampai di hamparan batu kerikil nan tertata apik. Naluri mendorong untuk melepas sepatu bertelanjang kaki. Kutapak satu persatu kakiku dan membiarkannya bersentuhan dengan bebatuan itu.

Ausakit! teriak lirihku. Sedikit kemayu memang, sebab bertelanjang kaki adalah hal yang biasa kulakukan di rumah. Namun tak bisa kupungkiri, menapak kaki di kerikil terlebih dibagian yang runcing memang terasa sakit. Aku pun reflek menghentikan langkahku. kembali kupakai lagi apa yang tadi sengaja kulepas, sepatuku. kembali kususuri jalanan yang tertata apik itu.

Sampailah di pohon pucuk merah dipojok jalan. Dasar, reflek melihat sesuatu yang menarik, tangan ini langsung menyentuh. Tak terjadi apapun saat itu. Aku hanya tak sengaja memandangi pucuk-pucuk merah itu. Tiba-tiba terlintas berbagai kalimat. Mbrudul tanpa mampu dicegah. Laksana tulisan digital yang mengalir menurut settingnya dan laksana deru laron yang keluar dari sarangnya. Menciptakan suara mbrengengeng yang menggugahku.

Hei, apakah kau tahu kenapa aku menarik bagimu.pertanyaan itu muncul menggodaku

Apa? tanyaku balik.

Kau tak paham juga? Tanya daun merah itu semakin menggodaku. Jemari telunjuk dan ibu jariku masih saja mencapitnya.

Lihat aku! katanya datar tanpa ekspresi

Sejenak akupun tanpa ekspresi. Namun perkataan itu rupanya mendorongku untuk melihat dan memperhatikannya. Seketika itu tertegun aku. Capitan itu menjadi renggang. Tak tega aku melukainya barang sedikitpun. Namun jemariku tetap bergayut padanya.

“Iya aku paham sekarang! kataku

Apa yang kau pahami? pekiknya

Dasar, ucapan si daun merah ini semakin membuatku gereget! pekikku dalam hati

Kau menampakkan rona indah merahmu karena kau berdamai dengan panas mentari. Kau tak terlindungi oleh naungan pohon lain. Kau serap energi panas mentari menjadi suguhan yang sangat menarik. Kauiya kau begitu hebat! ucapku padanya

Kau salah, bukan aku yang hebat. Melainkan Tuhanku yang hebat. Aku hanya memenuhi titahnya. Hidup di dunia ini. Berbuat manfaat dan sudah seharusnya aku menyerap energy yang diciptakanNya untuk semua makhluknya. celotehnya

“Panas mentari ini ibarat segala permasalahan yang menimpamu. Kau takkan mampu memunculkan potensimu yang sebenarnya jika kau hanya berdiri tertegun, adem dibawah naungan pembesarmu. Kau harus terus berdamai dengan permasalahan dan tak perlu layu karenanya. Lanjutnya.

Ah, Sok tahu kamu! tak bisa akupungkiri mukaku bagai kembang kacang yang merekah. Ups salah. Mbesengut mendengar perkataannya.

Namun ada benarnya juga. Permasalahan bukan untuk dikeluhkan, melainkan untuk dihadapi. Seperti halnya kenaikan kelas pasti didahului dengan ujian. Lolos tidaknya tergantung kemauan belajar dan usahaku. Juga tergantung kemampuanku dalam menyikapi kegagalan.

Ya tahulah, nggak mungkin kamu kelayapan kesini kalau ndak lagi suwung! hah benar-benar membuat gereget si daun merah itu. ingin kuremas dia namun ah, mengapa aku harus gereget pada sesuatu yang mengingatkanku.

“Baik, aku dah cukup paham. Makasih ya. Kataku sambil melepaskan capitanku padanya. Tak kuat rasanya lama bercengkerama dengannya.

Uh dasar si pucuk merah. Tak ada tedeng aling aling. Aku juga bisa seperti dia. Memangnya hanya kamu saja yang mampu. Akuu juga. Gerutuku sambil berjalan menyusuri paving Huko. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah keindahan. Kakiku terhenti.

Hei, akupun sama seperti si pucuk merah. Aku sedang bertasbih kepada Allah. Lihat, aku mulai menampakkan bungaku. Sebentar lagi aku pun akan rontok. Namun aku bersyukur, karena setelahnya akan tumbuh bebijian yang akan menjadi regenerasiku.

Kudengar sumber suara tersebut. Kebetulan saat itu aku sedang menghadap utara sehingga sumber suara itu berasal dari sebelah kananku. Namun hanya terlihat rerimbunan Pohon Akasia. Kudekati untuk memastikannya. Akasia itu nampak berbeda dari akasia yang pernah kuketahui. Daunnya hijau tua dan melebar. Kurang lebih seukuran telapak tanganku. Saat kuraba, terasa lebih tebal.

Kamu kah yang bersuara itu? tanyaku

Iya, aku. Jawabnya

Terus maksut kamu? tanyaku menggodanya

“Apalagi kalau bukan sebuah refleksi bagimu. Tak perlu mempertanyakan berapa lama umurmu. Jalani saja dan teruslah berbuat manfaat. Kau layaknya bunga yang mekar lalu rontok dan akan meninggalkan regenerasi bagimu. Sudahkah kau menyerap nutrisi yang tercecer di bumi Allah ini dengan sebaiknya? Sudahkah kau mengolahnya untuk mempersiapkan benihmu yang berkualitas?

“Ah, sok tahu kamu! sergahku

Pulanglah, aku tahu kau seorang yang memiliki kemauan untuk belajar. Renungkanlah kata-kataku. Semoga Tuhan meridhoi kemauan belajarmu.

Aku pun beranjak dari Huko. Tak kuat lagi mendengar celotehan si Pucuk Merah dan Akasia si daun lebar. Terduduk di tempat semula, sebuah warung yang belum buka. Di bawah pohon Cherry Karsen tepian Kali Song. Apa yang terjadi barusan. Hemm, Inikah Cara Allah memberikan wawasan kepada Makhluknya. Dipertemukan dengan makhluk-makhlukNya yang luar biasa.

Kupandangi Kali Song yang nampak tenang. Sejurus kemudian mataku tertuju pada sebuah bangunan besar di seberang sana. Sebuah pondok pesantren. Arsitekturnya yang menghijau teramat meneduhkan jiwa. Kembali mataku berkeliling ke sisi utara Huko, sebuah pemakaman umum. Hatiku merinding, getir. Tak terasa pelupuk mataku penuh genangan air mata.

#belajarpekanulissaksirnyadewe#HuKo Ketanon Tulungagung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

tulisan yg membuat pembacanya jadi semakin kepo untuk setiap detailnya

23 May
Balas



search

New Post