Atmasari nurhayati

Atmasari nurhayati adalah seorang pustakawan sebuah sekolah dasar di kecamatan pinggir timur kabupaten Tulungagung. Tepatnya di SDN Sumberagung 02 kecamatan Rej...

Selengkapnya
Navigasi Web
SI CENIL KENYIL KENYIL
sumber gambar : cookpad.com

SI CENIL KENYIL KENYIL

Cenil. Siapa yang tak mengenal kudapan yang memiliki sensasi kenyal ini (kalau menurut bahasa saya, Kenyil-Kenyil)? Pasti orang Tulungagung dan sekitarnya mengenal penganan tradisional yang satu ini. Bentuknya yang unik dengan dominasi warna merah dan putih nampaknya menjadi sajian yang menarik untuk dilirik. Ditambah paduan gurihnya parutan kelapa dan manisnya karamel gula merah yang tersaji dalam pincukan daun pisang begitu menggoda selera untuk menyantapnya.

Kuliner ini sudah ada sejak dahulu kala. Sejak saya menyadari adanya kehidupan di bumi ini bahkan mungkin sebelumnya tanpa tahu awal mula kehadirannya. Cenil adalah kuliner merakyat yang tak lekang oleh waktu. Dari penjual keliling hingga outlet pinggir jalan menyajikan kuliner ini. Bahan utamanya dari tepung tapioka membuat tekstur Cenil ini memberikan sensasi rasa kenyil-kenyil di lidah. Memberikan kenangan tersendiri kala menyantapnya.

Cenil dapat diperoleh setiap saat kecuali siang hari mungkin. Saat pagi kita bisa mendapatkannya pada penjual yang ada di pasar tradisional. Biasanya penjual duduk diatas dingklik (tempat duduk sederhana dari papan kayu) dengan dagangan yang di tata diatas tampah. Bisa juga diperoleh pada pedagang cenil keliling yang menata barang dagangannya di dalam Obrok (sebuah wadah besar dari anyaman bambu yang berfungsi sebagai penampung barang saat diangkut). Berbeda dengan penjual di pasar pagi, pedagang keliling ini menjajakan cenil dengan cara berkeliling menggunakan sepeda ontel sambil meneriakkan dagangannya.

Walaupun berbeda, kedua jenis pedagang cenil tersebut mengemas cenil dengan cara di genem alias dibungkus daun pisang jika pembeli memakannya di rumah, namun penjual akan mengemasnya dalam pincukan daun pisang jika pembeli ingin memakan langsung. Yang menjadi unik adalah sendok yang digunakan untuk mengambil cenil adalah biting yang terbuat dari tulang daun kelapa. Dalam bahasa jawa disebut sodo. Jadi jangan heran jika kalian tidak menemukan sendok dan mau tidak mau harus tusuk menusuk si cenil yang manis gurih itu agar sampai di mulut kita, hehe.

Nah, ada sedikit yang berbeda nih dari cenil yang dapat kita jumpai di sore hari hingga malam hari. Bukan pada isi cenilnya namun lapak tempat mendisplay si cenil tersebut. Bukan lagi pada tampah atau obrok, melainkan pada show case atau etalase kaca yang tentunya lebih terlihat bersih dan meyakinkan. Di kaca tersebut tertulis cenil dan lopis

Ups, jangan salah fokus ya. si cenil ini memang punya kawan. Mereka adalah lopis, ireng-ireng, gethuk, kicak dan lain sebagainya. Rasanya tak akan lengkap jika salah satu diantara mereka ada yang absen dari display. Masing-masing memiliki bahan dan rasa yang berbeda, namun semua memiliki ciri khas yang sama yakni dimakan dengan parutan kelapa. Wuih, bagi penyuka gurih, tentu penganan ini akan cocok menjadi destinasi kuliner penggugah selera. Masyarakat umum sering menyebut cenil dan kawan-kawan sebagai jajan pasar.

Outlet tersebut mangkal di pinggir jalan yang strategis untuk berjualan. Misalnya di perempatan jalan, dekat pusat perbelanjaan atau dekat warung makan. Berbeda dengan penjual di pasar pagi, mayoritas penjual cenil di malam hari di dominasi oleh orang yang lebih muda. Namun untuk pernyataan saya yang satu ini diperlukan kajian yang lebih mendalam lagi untuk menghasilkan kesimpulan yang akurat. Anggaplah itu sekedar asumsi saya yang berasal dari pengalaman sendiri yang tentunya tidak sama dengan pengalaman orang lain.

Ukay, lebih baik saya lanjutkan menulis tentang pengalaman sendiri ya.

Waktu itu saya sedang sabar menunggu sepinya jalan raya dan nyaman untuk menyeberang ke toko seberang jalan. Maklumlah, letak rumah yang berdekatan dengan sekolah menjadikan lalu lintas padat oleh hilir mudik orang tua yang mengantar anaknya ke sekolah. Sekolahnya masih jenjang MTs (setara SMP), untuk itulah pihak sekolah belum mengizinkan untuk berkendara sendiri. Di tengah bising deru motor itu, reflek kumenoleh ke sumber suara yang saya kenal.

“Cenil opo ora, Sar!” (Cenil apa tidak, Sar!) begitu teriak Mbah bakul cenil keliling yang biasa lewat di lingkunganku.

Seingatku Mbah Satirah namanya. Maaf kalau salah, karena aku biasa menyebutnya bakul cenil gitu saja. Beliau adalah penjual cenil yang melegenda. Dua puluh tahun ia lakoni pekerjaan itu. Sejak saya mengenalnya di masa kecilku hingga sekarang ini saya telah berumah tangga penampilannya masih tetap, tidak banyak perubahan. Tubuh masih tetap kecil gasek dan ethes cara bicaranya. (kecil lincah dan luwes).

“Inggih Mbah.” Kujawab pertanyaannya

Sejurus kemudian mbah mengerem sepeda ontelnya. Entah apakah sepeda itu masih sama atau sudah berbeda namun menurutku masih sama, yakni sepeda ontel wedok (khusus perempuan dengan ciri khas lengkungan yang menghubungkan sadel dan setirnya) dengan obrok penuh dangan cenil. Berbeda dengan penjual cenil yang saya sebutkan di atas, mbah ini khusus menjual cenil saja. Saya masih ingat kala kecil saya lebih menyukai cenil yang memiliki warna merah. Entah dalam penglihatan si kecil, warna itu begitu menyelerakan.

Cenil mbah ini tidak hanya menyajikan ongolan tepung tapioka rebus melainkan ditambah pendamping yang berasal dari parutan ketela yang diberi warna merah, dicetak diatas daun pisang menyerupai mie kruwel-kruwel tak beraturan dan dikukus hingga matang. Nah di bagian inilah yang lebih kusuka dari cenil. Biasanya saya meminta lebih atau bahkan hanya meminta bagian ini. Orang tua saya mengenalkannya dengan nama omah tawon (sarang lebah). Namun perlahan saya mengenalnya sebagai Pertolo.

“Pirang bungkus, Nduk?” (berapa bungkus Nduk) tanya Mbah

Sayapun mulai menghitung jumlah angota keluarga.

“Ehm, tigo mbah!” (Ehm, tiga Mbah) jawab saya sambil mengisyaratkan jemari yang berarti tiga bungkus.

Dengan sigap Mbah langsung meracik cenilnya. Diambilnya lembaran daun pisang yang berada didalam obrok.

“Iki di pincuk opo di genem?” (ini di pincuk atau di bungkus) tanya Mbah

“Sing setunggal pincuk mawon, sing kalih digenem!” (yang satu dipincuk, yang dua dibungkus) Jawab saya.

Di pincuknya daun pisang seketika itu, diambilnya beberapa butir cenil dan tak lupa mengambil Pertolo (omah Tawon) kesukaanku. Bentuk cenilnya pun tak mengalami perubahan, yakni tetap dengan bentuk bulatan dan setia pada warna merah dan putih. Tak seperti cenil yang kutemukan di penjual lain yang berbentuk mengkerucut di kedua ujungnya. Mirip bentuk daki kala digosok, hehe! Variasi warnanya lebih beragam. Waktu itu stok parutan kelapa Mbah terlihat menipis, hingga saya lihat Mbah memarut kelapa secukupnya.

“Gulone titik opo akeh, Nduk?” (Gulanya sedikit atau biasa) tanya Mbah.

“Biasae ae mbah!” Jawabku yang menunjukkan pemberian gula sesuai standar dari penjualnya.

“Sing loro yo podo?” (yang dua juga sama) tanya Mbah lagi. Perasaan dulu Mbah ga secerewet ini deh. Pokok ada yang beli cenil langsung saja di nak nik terus bungkus deh.

“Enggih Mbah!” jawabku mengiyakan.

“Sak iki akeh wong nyirik gulo. Podo wedi mangan legi akeh-akeh. Wedi lek kenek gulo.” Kata Mbah. (sekarang banyak yang menghindari gula. Banyak yang takut mengkonsumsi dalam jumlah banyak. Takut terkena penyakit gula).

“Ow, itu toh alasan Mbah sejak tadi bertanya terus!” gumam saya dalam hati.

Sejenak saya teringat saat mengantar Bunda cek up ke rumah sakit. Banyak jajaran pasien yang menurut saya usianya belum terlalu berumur. Keluhan mereka didominasi oleh penyakit gula (diabetes melitus), asam urat, kolesterol. Saya juga teringat akan artikel rekan GPLT, yang berjudul Oleh-Oleh Dari Mantan Orang Besar karya Uncle Kukuh yang berkisah tentang si manis gula yang sering menyelinap diam-diam dalam rasa ketidakmanisan. Ya wajar sajalah, berarti Mbah sudah mengikuti arus hidup masyarakat sekarang.

Kulihat ia membuka jembung (wadah dari aluminium, bentuknya mirip cangkir namun lebih besar) yang berisi larutan karamel gula merah nan lumer. Tidak encer tidak pula kental. Sesekali terlihat tawon kecil ikut mengerubungi larutan gula tersebut. Hemm, aroma legit khas gula merah seketika tercium. Ditutupnya setelah sekiranya cukup. Cenil pincukpun telah berganti di tangan saya. Kemudian Mbah menjuali cenil yang kedua dan ketiga sedang saya menungguinya sambil menyantap cenil kenyil-kenyil tersebut.

“Mbah, kapan-kapan saya dolan nek mae sampeyan yo. Saya kok penasaran cara gawe cenil to!” pinta saya

“Oleh nduk, mbok tak warai to. Bahane puenak ae lho.”

“Pathi telo mbok jelu karo banyu panas yo. Terus mbok uleni sampek iso dibentuk. Terus potongen cilik cilik. Cemplungne nek banyu umup sampek kemampul tur bening. Nek tengahe sek ono sing putih kuwi tanda rung mateng. Bar ngunu di entas ditus sewengi ben atus tenan.” (tepung tapioka diuleni dengan air panas hingga kalis. Bentuk kecil-kecil lalu masukkan di air mendidih hingga terangkat ke permukaan air dan berwarna bening. Jika tengahnya masih ada warna putih, tandanya belum matang stelah itu angkat dan tiriskan semalam agar benar-benar tiris).

“Berarti sampeyan ndamele bengi no mbah. Dadi isuk wes siap di dol.” (jadi, Mbah membuatnya di malam hari, jadi paginya sudah siap untuk dijual).

“Yo sak sempate Mbae, nduk. Lek ora kesel yo tak gawe awan. Ning lek kesel. Saya leren dhisik terus engko bengine baru gawe.” (Ya sesuai longgarnya waktu Mbahe, Nduk. Kalau tidak capek, ya Mbah membuatnya siang hari. Namun kalau capek, Mbah istirahat dulu terus membuat pada malam harinya).

“Mbah Njenengan niki kok sek semangat jualan cenil setiap hari. Nopo ga capek?” tanyaku ambil memperhatikan pipinya yang terlihat kempong.

“Lha pie lho Nduk, Mbah isone yo mung ngene iki. Arep kerjo liyo yo ora nduwe bakat. Nek diarani kesel yo panggah kesel, ning lek nuruti kesel yo ora nyekel.” (Lha gima lagi, Mbah hanya bisa seperti ini. Ingin kerja yang lain ya tidak memiliki bakat. Yang namanya capek ya tetap capek. Namun kalau dituruti capek ya bakal tidak pegang (uang)).

“Wah, kulo kok rade isin ya. kakean sambat. Salut aku pada Mbah.” Kataku setengah terbata.

Mbah itu sederhana namun mampu fokus pada jalan rezeki yang ia kuasai. Kulihat Mbah sudah selesai dibungkus yang ketiga.

“Pinten mbah?” (Berapa Mbah)

Nem ewu nduk!” jawab mbah. Kukeluarkan uang 2000 an tiga lembar dan cenilpun siap kusantap. Kali ini telah berbeda dengan masa kecilku yang lebih menyukai cenil berwarna. Kali ini cenil yang berwarna putih lebih kusuka. Bukan karena rasanya, namun pengetahuanku yang bertambah mengenai bahan tambahan makanan. selera saya terhadap pertolo pun menjadi berimbang dengan selera saya terhadap cenil.

Satu pelajaran hidup kembali kuenyam bersama nikmatnya kenyaman si cenil kenyil-kenyil. Hidup itu sederhana, berpasrah dengan tetap fokus dengan potensi yang dimiliki. Terus bergerak tak lekang usia dan menerima dengan ikhlas bonusnya, yakni keberkahan rezeki dari sang pencipta.

Ariyojeding, 31 Mei 2019

#belajarpekanulissaksirnyadewe#mengingat memori si cenil kenyil-kenyil

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Saya suka saya suka, hehehe. Enak tenan Bund. Sukses selalu dan barakallahu fiik

31 May
Balas

Hehe, ceritanya ini lagi kangen bund. Bulan puasa ini tak kudapati mbah penjual cenil berkeliling. Akhirnya ditulis wae sambil belajar nuangin ide. Salam kenal dari saya nggih bund...!

31 May
Balas



search

New Post