Ayo Sugiryo

Guru di SMA Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto. Sedang belajar menulis dan Buku Perdana yang sudah diterbitkan: "From Home With Love" Tahun 2016, Buku ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#14 Maafkan Aku Tak Bisa Jadi Guru)

Langit desaku di penghujung kemarau di tahun 1993 itu begitu bening. Nyaris tak ada awan bergerombol yang biasanya menutupi hamparan jemuran padi di pinggir jalan. Para petani begitu leluasa menjemur padi mereka tanpa perasaan was-was. Tak ada mendung. Tak ada tanda-tanda mau turun hujan. Anginpun seperti tak ada yang melintas untuk menghalau awan putih untuk membentuk gumpalan hitam. Beningnya langit itu pun aku rasakan hingga membentuk cahaya yang memantul bening ke dalam hatiku yang barusan mendapat dukungan bertubi-tubi atas keinginanku untuk melanjutkan studiku di sebuah lembaga pendidikan non formal di kotaku. Walaupun aku masih melihat ada sesuatu yang tampak dipaksakan namun itu adalah sebuah dukungan yang dilandasi keikhlasan dan harapan.

Masa SMA berakhir dengan segenap peluh dan perjuangan. Orang tuaku yang dulu tidak begitu mengerti tentang arti pentingnya sebuah pendidikan formal, saat itu telah berubah. Semenjak berpulangnya kakak keduaku, Bapak begitu memperhatikan segala keperluan terutama biaya pendidikan. Aku sendiri semakin optimis dan semangat untuk ikut serta membantu bapakku yang mencoba untuk membuat sedikit bisnis tambahan. Bapak mencoba mengolah sendiri singkong yang dipanen dari kebun hingga menjadi tepung kanji. Dan dalam setiap prosesnya aku pun ikut terlibat di sana sebelum berangkat sekolah. Menggiling singkong, hingga menjemurnya sampai siap jual ke pasar. Aktifitas itu aku lakukan setiap hari hingga kulit tubuhku tampak semakin gelap. Namun aku senang bisa sedikit meringankan beban orang tua. Sayangnya, mba Ratni tak bisa menyaksikan momen penting di mana aku bisa merayakan hari kelulusan di SMA. Dia pasti tersenyum melihatku bisa menggondol selembar ijazah SMA. Sejarah baru telah tercipta di keluargaku bahwa aku bisa menamatkan SMA. Tentu saja semua ini juga karena atas andilnya yang begitu besar terhadap pendidikanku semasa hidupnya.

Selepas SMA, aku putuskan untuk berhijrah ke kota lagi. Jakarta bukan pilihanku saat ini. Kota Purwokerto, pusat kota kabupaten Banyumas yang cukup popular dengan kota kripik menjadi targetku untuk memenuhi keinginanku setelah mengantongi ijazah SMA. Selain tidak terlalu jauh dari kampung halamanku, kota ini juga tidak terlalu besar dan bukan tujuan urbanisasi seperti Jakarta yang penuh dengan segala keruwetannya. Purwokerto termasuk kota yang masih tergolong asri, bersih, nyaman, dan aman untuk ditinggali. Aku hanya membutuhkan sekitar 2 jam dari desaku untuk mencapai kota kecil yang terkenal dengan wisata alam pegunungan Baturaden itu.

Kali ini aku berjalan lebih tegap dan mantap dibandingkan dulu. Karena kehadiranku di kota kecil ini akan menuntut ilmu. Dan sebentar lagi aku akan berjuang dan belajar untuk menjadi seorang yang terampil di bidang komputer, bahasa Inggris, Office Management, dan lain-lain seperti yang aku dengar promosinya di radio kebanggaan orang Banyumas, RRI Purwokerto sebelum berangkat ke kota.

“Insyaallah, nanti aku lulus bisa kerja di kantor, Ma,” kataku meyakinkan.

“Yang betul, Sur? Kamu bisa kerja di kantor? Jadi apa?”tanya ibuku penasaran. Begitulah orang desa, sangat memimpikan anaknya bisa bekerja di kantor, bukan menjadi buruh pabrik seperti yang pernah aku alami dulu. Kantor seperti apapun mereka tidak begitu mengerti. Bekerja di kantor menjadi parameter keberhasilan seseorang. Pemikiran yang sangat sederhana dari orang desa.

“Betul, Ma. Mungkin bisa jadi menejer atau direktur,” kataku mulai lebay (dulu belum ada istilah ini) untuk meyakinkan mereka. Tapi apa reaksi mereka? Semua diam tak mengerti. Menejer? Direktur? Mungkin mereka belum pernah mendengar kata itu sebelumnya.

“Itu lho Ma, Pa, semacam pimpinan di kantor, boslah! Iya, kan Sur?” Kata kakak pertamaku menjelaskan semampunya.

“Ya, seperti itulah mba. Mudah-mudahan,” kataku mengiyakan. Sebenarnya aku tidak tega melihat ekspresi wajah-wajah mereka yang kebingungan. Aku merasa telah menjadi orang yang rakus. Sudah diberi kesempatan sekolah sampai SMA masih juga menuntut tambahan kursus. Aku sungguh keterlaluan! Dari mana mereka bisa mendapatkan uang sebesar Rp. 800.000,-untuk biaya kursus setahun di Purwokerto? Walaupun mereka tahu aku tidak memaksa tapi setidaknya usulanku itu menjadi pemikiran besar buat mereka. Ah, aku sungguh tak tahu diuntung.

“Bukannya dulu kamu pernah bilang ingin jadi guru?” Ibu mengingatkan cerita waktu SD ku.

“Haha. Itu kan cita-citaku dulu waktu kelas VI SD Ma. Tapi ya, ingin juga sih jadi guru. Tapi kan aku harus sekolah lagi. Aku harus kuliah di IKIP Semarang. Mana mungkin aku bisa kuliah di Semarang. Tapi ya siapa tahu suatu saat nanti Tuhan mengijinkan aku untuk bisa kuliah jadi guru. Siapa tahu, ya Ma. Pokoknya yang terbaik buat akulah. Jadi apapun yang penting aku ingin Mama sama Bapa bangga sama aku.” Aku begitu optimis saat itu.

“Apapun kalau menurut kamu itu bagus, nanti kita bisa carikan solusinya, Sur. Kamu tenang saja, sekarang kamu persiapkan segala sesuatunya.” Mas Wartomo, kakak iparku begitu yakin bisa mengusahakannya.

Aku melihat seisi rumah itu berubah menjadi kebun bunga warna-warni seketika itu. Aku seolah menari dan berayun di atas bunga-bunga itu. Sementara bapak dan ibuku hanya saling berpandangan tak mengerti maksud mas Wartomo tadi.

Suatu malam, tanpa sengaja, aku mendengar perbincangan yang kedengaran cukup serius antara bapak dan kakak iparku. Diam-diam rupanya kakakku ini sangat memperjuangkan dan mendukungku untuk menempuh pendidikan setara D1 ini. Aku menjadi sangat terharu ketika lamat-lamat perbincangan mereka dari balik lobang dinding bambu tak sengaja aku dengar.

“Kasihan Si Suryo, Pa. Siapa tahu ini akan menjadikan jalannya untuk jadi berhasil. Apa bapak tega dia harus kerja di sawah seperti anak-anak lain yang cuma lulusan SD. Kasihan kalau Si Suryo jadi buruh tani atau tukang ojeg di desa.” Kakakku terdengar merayu dengan tulus.

“Bapak sih terserah kalian saja. Tapi bagimana caranya? Kamu tahu sendiri kan bapak gak punya uang sebanyak itu,” kata bapak kebingungan.

Keesokan harinya bapak memanggilku untuk membicarakan tentang niatku itu. Dengan penuh ketegangan aku siap untuk mendengar apa keputusan bapak siang itu. Aku sudah pasrah dan seandainya keputusan itu tidak akan membawaku untuk kursus, aku tetap akan hijrah ke kota untuk mengadu nasib.

“Suryo, insyaallah kamu bisa berangkat ke Purwokerto. Kapan kamu mau mendaftar? Alhamdulillah, bapak sudah mendapatkan dananya,” kata bapak mantap dan penuh harap. Aku seperti tidak percaya mendengar berita itu.

“Dari mana bapak dapat uang sebesar itu?” tanyaku mendesak. Setahuku kemarin bapak bilang tidak punya uang sebanyak itu. “Ada yang meminjami bapak?” tanyaku penasaran.

“Uang ini bukan pinjaman. Ini uang bapak. Sudah kamu ndak usah mikir asal uang ini dari mana.Yang penting kamu bisa kursus dan dapat kerjaan baik kalau sudah selesai nanti.” Bapak meyakinkan dan mendoakanku. Mataku mulai berkaca-kaca menahan air mata yang hendak tumpah. Aku pun tak bisa berbicara apa-apa kecuali berterimakasih dan memeluknya.

Dan beberapa saat setelah itu aku pun mencoba untuk mendapatkan informasi mengenai dana itu dari kakakku. Menurut kakakku bapak telah menggadaikan sebagian ladang keringnya di ujung desa kepada salah seorang pakdheku, kakak bapakku. Aku begitu kecewa mendengar itu. Tetapi kakakku terus membujukku agar aku bisa menerimanya dan itu sebagai wujud tanggung jawab orang tua. Aku menjadi semakin tak mengerti Bapak sudah banyak berubah. Mungkin bapak telah menyadari seiring bergesernya jaman dan tentunya dia telah banyak dapat wejangan sana sini tentang pentingnya pendidikan anak.

“Masmu ini tahu kamu persis, Suryo. Kamu punya banyak bakat dan suka belajar. Tidak mungkin bisa kerja di sawah atau di kebun dengan kondisi lahan pertanian tak seberapa ini. Badan kamu juga tidak cukup kuat untuk memikul kayu bakar atau hasil panen. Kamu harus kerja di kantor seperti yang kamu inginkan.” Kakakku terus meyakinkanku.

Begitulah mereka. Mereka selalu ingin membuat adiknya berhasil. Mereka sudah melakukan banyak hal untuk mempersiapkan masa depanku. Aku hanya bersyukur dan beruntung. Orang tuaku dan keluargaku sudah mulai terbuka pemikirannya bahwa mewarisi pendidikan lebih penting daripada mewarisi sebongkah lahan yang belum tentu bisa membawa seorang anak maju. Mba Ratni, Mba Sofi, apakah kau mendengar semua ini? Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk lebih maju lagi untuk menggapai mimpi yang sudah mulai aku ciptakan. Tidak seperti dulu. Dulu ketika aku tak tahu tentang cita-cita.

Menjadi apapun aku nantinya, aku harus bisa menjadi kebanggaan orang tuaku. Itu sudah menjadi tekadku. Maafkan aku Pak Kamud, mungkin aku tidak bisa menjadi guru seperti bapak, namun setidaknya aku bisa menjadi panutan buat teman-temanku yang tidak punya kesempatan untuk lanjut sekolah, dan juga buat adik-adikku di desa untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Janganlah kalian cepat puas dengan hal-hal yang sudah biasa. Jadikanlah diri kalian menjadi anak-anak luar biasa yang bisa membangun desa kalian dengan ilmu yang baik. Jadilah kalian para sarjana yang mampu membuat desa yang membanggakan buat kalian tinggali.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagaimana kisah Suryo di Purwokerto? Saya tunggu kelanjutannya

24 Sep
Balas

Siap Ibu. Tunggu kisah selanjutnya.

24 Sep

Tekat Suryo sungguh luar biasa. Semangat untuk menuntut ilmu yang selalu menggebu dan menjadi panutan bagi teman-temannya. Teruslah tetap semangat Suryo. Apakah di akhir cerita Suryo benar-benar tidak menjadi guru ? Kita tunggu kisah selanjutnya. Lanjuuutttt. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah...pak guru.

23 Sep
Balas

Iya Bu mudah-mudahan masih bisa berlanjut. Nasib Suryo masih di tangan Sang Dalang. Terimakasih Ibu yang tak pernah absen baca kisah Suryo. Semoga semakin baik kesehatan Ibu. Amiin.

23 Sep
Balas

Aamiin ya robbal alaamiin.

23 Sep

Cerita sederhana tapi ditulis dengan luar biasa.....mantaps Pak....

24 Sep
Balas

Terimakasih Ibu atas kesetiaannya membaca kisah in.

24 Sep



search

New Post