Ayo Sugiryo

Guru di SMA Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto. Sedang belajar menulis dan Buku Perdana yang sudah diterbitkan: "From Home With Love" Tahun 2016, Buku ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#31_Kabar Dari Desa)

Negri ini masih belum pulih dari sakitnya. Terlihat belum ada perubahan signifikan dengan bergulirnya kepemimpinan negara dengan presiden yang baru. Mungkin butuh proses pemulihan yang cukup lama. Mungkin juga butuh semangat menggelora dari para punggawa di pusat sana untuk bangkit dan berjalan lagi.

Sementra aku terus berjalan di atas bumi yang aku rasakan semakin panas. Tak ada siraman air hujan yang mampu membasahi retakan-retakan yang diciptakan musim ini. Musim di mana aku masih berada di bawah standar garis kehidupan yang layak. Sementara si kecil Refo semakin menunjukan beberapa kebolehannya di usianya yang menginjak bulan ke 8. Untungnya dia tumbuh sehat dan normal walaupun dengan gizi seadanya. Dialah sang pengobar semangatku untuk terus menapak dan bangkit dari keterpurukan ekonomi negri kecilku ini.

Aktifitasku sebagai salesman kelilingan rupanya tercium oleh keluargaku. Mereka tahu bahwa saat ini aku bukan lagi karyawan photo studio bagian administrasi, atau pun sales berdasi. Ibuku merasa terpukul mendengar berita bahwa aku menjadi sales kelilingan dengan sepeda motor yang setiap hari harus merelakan sengatan matahari di jalanan kota. Tapi sebagai seorang ibu yang bijak, dia selalu mengembangkan senyumnya yang manis mengisyaratkan bahwa, ‘teruslah berjalan anakku jangan sampai berhenti.’ Ibu sungguh mengerti keadaanku.

Krisis negri ini tak hanya berdampak bagi krisis keluarga kecilku ini. Begitupun dialami serupa oleh keluarga Mba Sofi. Kakak keduaku itu sudah keluar dari pekerjaannya di Surabaya dan suaminya juga sudah tidak bekerja lagi sebagai pengelola pabrik produksi pernak-pernik kerang laut. Untuk sementara Mba Sofi tinggal bersama ibuku di desa. Suaminya, sedang mencari peruntungan dengan berbisnis kecil-kecilan di Medan.

Kondisi seperti ini memang memaksa kita harus semakin bersabar. Tetapi berita dari desa dua hari yang lalu membuatku semakin tak bisa tidur. Kami dikabarkan bahwa Mba Sofi sakit. Nafasnya sesak dan kakinya bengkak. Aku shock mendengar berita ini. Tak ada kabar apapun sebelumnya. Aku merasa berdosa karena aku baru mengetahuinya. Aku menyuruh segera membawa Mba Sofi untuk berobat ke kota dan sementara tinggal di rumahku agar aku bisa mengurusnya ke dokter.

Mereka mengikuti saranku dan keesokan harinya Mba Sofi dibawa ke rumahku agar lebih mudah untuk menjangkau rumah sakit. Aku sungguh tak habis pikir, kenapa kondisi kakaku begitu memprihatinkan. Selain nafasnya yang sesak, batuk yang terus menerus, juga badannya terlihat membengkak. Aku tak tahan melihat kondisinya seperti ini. Aku tak mau berfikir panjang hingga sore harinya kami mencoba untuk memeriksakan ke spesialis jantung sesuai dengan rujukan dokter puskesmas di desa.

Selalu saja ada yang berbuat baik dalam keadaan seperti ini. Tetangga perumahan dengan tanpa basa-basi langsung mengantarkan kakakku dengan mobilnya. Sampailah sore itu ke klinik dokter spesialis jantung itu.

“Maaf Pak, Ibu Sofi harus di rawat di Rumah Sakit. Jantungnya bengkak. Harus ada pemeriksaan lanjutan yang lebih intensif agar dapat ditangani segera. Tapi kenapa baru dibawa sekarang ya Pak?” Dokter seperti menyalahkan kami. Kami hanya diam tak punya jawaban yang tepat kecuali bahwa kakakku jauh tinggal di desa.

“Bagaimana kondisinya Dokter? Apakah sudah parah?” Tanyaku penasaran.

“Belum tahu persis, Pak. Kita lihat nanti setelah ada observasi lanjutan di rumah sakit. Mudah-mudahan bisa tertangani.” Dokter tak mau menjelaskan kondisi sebenarnya. Mungkin belum saatnya.

Kata-kata mudah-mudahan bisa tertangani menjadi pemikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakakku? Dalam kecemasanku, aku terus berdoa dan menghibur kakakku, teman mainku di masa kecil. Aku masih ingat semua masa-masa bersama dia. Masa di mana dia menangis tersedu-sedu karena gagal masuk SMP. Masa di musim cengkeh tiba, masa ketika aku membantu menuliskan surat-surat cinta kakakku, masa di mana bermain mainan tradisional di desa, masa di mana dia memuji lukisan-lukisanku. Sekarang aku tak tahu harus berbuat apa melihat kondisinya yang menyedihkan.

Malamnya Mba Sofi langsung dilarikan ke Rumah Sakit. Penanganan segera dilakukan tanpa ditunda sedetikpun. Namun apa yang terjadi pada kakakku sungguh tak bisa dimengerti olehku dan keluargaku.

“Maaf Pak, Ibu Sofi ada masalah dengan ginjalnya.” Aku seperti ditampar tangan algojo mendengar bisikan dokter menyampaikan kabar ini. Aku shock dan tercekat. Separah inikah? Kami tak bisa berkata apa-apa lagi kecuali mengikuti saran dokter. Kakakku harus Cuci Darah. Apa itu cuci darah? Aku pernah mendengar kabar sebelumnya dari tetanggaku dulu di desa. Pak Kadir, tetangga rumah bapak, meninggal dunia setelah hanya beberapa kali cuci darah. Istilah cuci darah terdengar seperti malaikat maut mau menjemput.

Aku terduduk lemah di lantai ruang rawat intensif kakakku. Aku tak berdaya membayangkan nasib kakakku kalau dia harus benar-benar cuci darah. Itu artinya, pemikiran terburuk semakin menghantui kepalaku. Kami berusaha menawar apakah masih ada solusi lain selain cuci darah?

“Maaf Pak, tak ada solusi lain selain HD,” Dokter menyebutnya HD (Hemodialisa). Istilah dalam dunia kedokteran. Apapun itu namnya cuci darah tetap bukan solusi menurut pemikiranku karena endingnya akan selalu harus menunggu keajaiban.

Aku pasrah. Keluargaku pasrah dan hanya bisa berdoa dan mengikuti apa pun yang terbaik yang diperintahkan pihak rumah sakit pada akhirnya. Berapappun biayanya kami siap demi menolong kakakku. Apapun akan kami lakukan demi menyelamatkan nyawa kakakku. Kami harus berusaha dan pasrahkan usaha kami pada Tuhan. Itu yang bisa kami lakukan.

Yang menjadi persoalan lain adalah saat ini suami Mba Sofi sedang berada di Medan. Bisnisnya yang juga belum seberapa terpaksa dia lakukan dan harus meninggalkan istri dan anak semata wayangnya yang masih di SD kelas 3. Kondisi sakit ini pun sang suami belum mengetahui, kami sungguh dibuat bingung bagaimana menyampaikan berita ini kepadanya. Sedangkan HD yang akan dilakukan juga harus seijin sang suami. Ya Allah, sungguh berat ujian kami saat ini.

Dengan sangat berat penuh penyesalan Bang Arifin, kakak iparku akhirnya pasrah dan memberikan ijin Mba Sofi untuk cuci darah. Kami semua berharap dan berpikir positif, bahwa cuci darah inilah yang akan menyelamatkan kakakku dari kondisi ini.

Sembilan hari di rumah sakit pasca cuci darah, Mba Sofi semakin memburuk. Nafas semakin sesak, dan beberapa pembuluh darah pecah hampir di seluruh tubuhnya. Kami tak tega melihat kondisi ini. Dokter sudah menyerahkan kakakku pada keluarga. Mereka masih berusaha merawat sampai sejauh kapanpun permintaan keluarga untuk merawat di rumah sakit. Di hari ke 9 ini, kemampuan berbicara Mba Sofi sudah tidak seperti biasanya. Kata-katanya sudah tidak bisa dikatakan sebagai kata-kata orang normal. Dia tampak seperti bukan orang yang sedang kesakitan. Dia tampak sehat bahkan banyak tersenyum dan bercerita. Dengan kondisi ini bukannya kami gembira, tapi justru kami semakin sedih. Rupanya kata-kata ini merupakan kata-kata yang terakhir dari Mba Sofi. Aku lemas. Keluarga memutuskan untuk membawa kakaku pulang. Tak ada yang bisa diharapkan lagi. Dan benar juga. Beberapa jam sesampai di rumah di desa, Mba Sofi menghembuskan nafas yang terakhir. Innalillahi wa inailaihi rojiuun. Mba Sofi berpulang ke rahmatullah menyusul mba Ratni. Aku pasrah. Bapakku kolaps. Ibuku terisak namun tetap terlihat tegar sambil terus berdoa. Aku ikut berdoa di samping ibu sementara keluarga yang lain banyak yang tidak kuat menahan tangisnya pecah hingga rumah bapak penuh dengan tangisan.

‘Selamat jalan kakakku. Maafkan adikmu ini yang belum bisa membanggakanmu. Insyaallah suatu saat nanti aku bisa menunjukan sesuatu yang engkau cita-citakan. Aku berjanji akan menjadi adik kebanggaanmu walaupun Mba Sofi tidak bisa menyaksikan secara langsung. Inshaallah.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga mba Sofi husnul khotimah. Penderitaan yang mendera Suryo semoga segera berakhir. Jujur ikut nelongso, semoga Suryo selalu tabah

12 Oct
Balas

Amiin. Mudah-mudahan ada kecerahan di kemudian Hari.

12 Oct

Innalillahi wainnailaihi roojiun, semoga mbak Sofi husnul khotimah. Insya allah Suryo pasti bisa mewujudkan cita-cita mbak Sofi. Suryo harus yakin. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah....pak guru.

11 Oct
Balas

Amiin. Mudah-mudahan Suryo tetap yakin dan ada secercah kebahagiaan nantinya.

12 Oct

Innalilahi wa innailaihi roji'un..Mba Sofi... semoga khusnul khatimah... betapa cobaan terus mendera Suryo... mudah-mudahan diberi ketabahan...

11 Oct
Balas

Amin. Inshallah Bu.

12 Oct



search

New Post