Ayo Sugiryo

Guru di SMA Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto. Sedang belajar menulis dan Buku Perdana yang sudah diterbitkan: "From Home With Love" Tahun 2016, Buku ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#32_Keputusan Gila 2)

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#32_Keputusan Gila 2)

Seminggu setelah kepergian Mba Sofi, Hari-hariku masih terasa belum ada gairah untuk bekerja. Perginya kedua kakakku benar-benar membuatku banyak merenung. Mereka meninggalkan kami sama-sama di usia tigapuluhan dan sama-sama meninggalkan satu anak. Kami begitu terpukul melihat anak-anak mereka yang tidak sempat mendapatkan kasih sayang dan pendidikan ibunya hingga dewasa. Mereka berdua adalah inspirasi pendidikanku. Tanpa kedua kakakku mungkin aku tidak bisa mencapai pendidikan yang bisa aku peroleh sekarang. Merekalah wonder women-ku. Tetapi betapa kekuasaan Tuhan sungguh luar biasa. Tak ada yang mampu mengendalikan kalau Allah sudah berkehendak. Di sinilah kami harus instrospeksi diri bahwa hidup itu tidak akan selamanya. Semua akan ada masanya. Waktunya sudah ditentukan oleh sang pencipta.

Kesedihan yang berkepanjangan tidak akan menyelesaikan masalah kehidupan yang semakin menantang di kemudian hari. The show must go on. Kami harus mampu bangkit. Aku pun harus bangkit dan membuka mata bahwa di luar sana masih banyak yang harus aku selesaikan.

Aku harus melanjutkan perjalanan hidupku dengan keluarga kecilku. Tumpukan produk snack Rajawalifood harus segera dijajakan ke toko-toko kecil. Aku harus mampu manuver untuk mencapai target harianku, membeli susu anakku. Namun usahaku tampak belum membuahkan hasil yang diharapkan. Pemilik toko atau warung kecil banyak yang menolak untuk membeli barang daganganku. Satu-persatu melambaikan tangan tanda menolak. Barang-barang yang aku pegang beberapa sudah mendekati kedaluarsa. Aku harus segera mengembalikan barang daganganku ke Mas Saliman. Aku banyak mengalami kerugian dibandingkan laba yang seharusnya bisa aku sisihkan untuk menukarkan dengan keperluan sehari-hari.

Rupanya permasalahan belum mau hengkang dari kehidupanku. Tak hanya masalah pendapatan harianku yang menurun, tapi pertemuan dengan Mas Saliman kali ini benar-benar tak kuharapkan dan menambah tantangan lagi buatku.

“Mas Sur, saya mau bicara sebentar.” Mas Saliman tampak hati-hati berbicara denganku.

“Gimana Mas Salim? Kelihatannya serius banget. Ada apa nih?” Perasaanku sudah tak enak. Pasti ada sesuatu tentang bisnisku.

“Ehm, gini Mas. Saya bener-bener minta maaf Mas Sur. Sebenarnya saya masih mau bantu mas Suryo. Tapi sekarang istriku butuh motor untu bolak-balik antar anak. Saya bingung, Mas. Saya tahu Mas Suryo masih butuh, tapi, sekali lagi saya mohon maaf tidak bisa bantu.” Dia seperti tak berani menatap mataku.

Aku terdiam sesaat. Aku berusaha menyembunyikan perasaan bingungku di hadapan Mas Salim. Aku takut dia merasa bersalah.

“Iya Mas. Gapapa. Lagian saya juga sudah memakainya cukup lama. Nanti saya mau coba nyari motor lain. Tapi yang penting saya masih diberi kesempatan untuk jualan mas.” Aku sedikit memelas. Ada semacam penyesalan di wajahnya untuk menyampaikan ini. Aku yakin dia tahu persis kondisiku. Tapi apa daya dia sudah tidak bisa menolong lagi. Aku sebagai peminjam pun mesti sadar. Dia sudah banyak membantuku. Aku akui dia sudah luar biasa baiknya.

“Silahkan saja Mas. Saya masih bisa stok barang di rumah. Silahkan jual sebanyak-banyaknya.”

Mas Saliman sudah tampak lebih sumringah. Aku menghela nafas panjang sementara pikiranku menerawang ke arah genteng rumah Mas Saliman yang belum ada eternitnya. Aku berharap deretan genteng itu mampu memberikan gambaran di mana aku bisa menemukan solusi. Ah, ternyata tak ada apa-apa di sana.

Tubuhku lunglai saat aku harus menyampaikan ini pada istriku. Lagi, istriku tetap memberikan senyuman termanisnya dikala aku sedang down.

“Sabar Yah, ngga usah sedih. Pasti ada solusi.” Dia mendekat ke arahku dan memelukku dari belakang sambil mengelus-elus dadaku. Aku merasa tenang dan dapat berpikir lebih cemerlang. Ternyata pelukan istri di kala suami sedang down mampu membuat otak bekerja lebih baik.

Tidak sampai sepuluh menit, tiba-tiba aku terpikir tentang salah satu saudara sepupuku yang sedang merantau jadi TKI di Taiwan. Aku mencoba peruntungan menanyakan sepeda motor saudara yang selama ini memang tidak terpakai. Alhamdulillaah dapat ide. Aku berpikir bahwa selama di Taiwan sepedamotor tidak ada yang menggunakan. Aku akan coba menanyakan perihal ini. Semoga saja sepupuku ini mengijinkan. Setidaknya akan ada sedikit sewa pinjam buat sepupuku tidaklah masalah.

Keesokan harinya aku menyambangai rumah sepupuku di desa. Sungguh aku bersyukur lagi, urusan pinjam-meminjam sepeda motor lancar dan deal pun tercipta. Aku sudah tak sabar ingin mulai kembali berkeliling.

Waktu berjalan terus dengan irama yang menentu. Tetapi bagiku kadang waktu berjalan tidak sesuai irama yang diharapkan. Kadang aku merasa waktu berjalan terlalu lamban, tetapi kadang terlalu cepat. Selain waktu, ada juga arah. Arah mata angin kadang tidak bisa aku tebak ke mana dia menunjuk dan kemana dia mampu membimbing langkahku untuk mencapai tujuan tertentu.

Aku adalah sesosok manusia yang saat ini membutuhkan kestabilan waktu dan arah. Aku ingin hidup dan menghidupi keluargaku dengan sesuatu yang pasti. Tapi kali ini aku belum mampu. Banyak hal yang harus aku selesaikan. Dan sebagian besar masalah ada pada sumber penghasilan. Sedangkan saat ini penghasilanku dari hasil kelilingan sudah lumayan besar. Maksudnya besar pasak daripada tiyang. Aku mulai memberanikan diri untuk meng-cover kebutuhan dengan cara berhutang. Ya, aku berhutang dan aku sudah salah jalan. Awalnya, dengan berhutang permasalahan terselesaikan. Tapi beberapa saat kemudian maslah baru muncul lebih berat lagi. Berhutang dalam kondisi penghasilan tidak menentu akan semakin memberatkan dan mencekik leher. Aku membutuhkan masukan lebih besar lagi untuk bisa menutup hutang yang lalu. Hutang ditutup dengan hutang. Begitu terus menerus dan kehidupan keluargaku menjadi tidak tenang dan was-was.

Hari-hariku dipenuhi kecemasan. Tamu tak diundang datang ke rumah membuat hatiku berdebar.

“Yah, ada tamu.” Istriku mengisyaratkan padaku untuk menemui tamu yang baru saja menghentikan sepeda motor di depan rumah. “Pak Pos, Yah.” Istriku begitu yakin setelah mengetahui sepeda motor warna oranye diparkirkan di depan rumah.

“Iya, Hon. Benar. Kalau pos, pasti tagihan BTN,” kataku menduga.

Aku bergegas menemui tukang pos dan aku segera meraih surat dengan kop resmi yang sudah sangat aku kenel. Dan tebakanku tidak meleset. Surat resmi dari BTN yang akhir-akhir ini selalu hinggap ke rumahku. Itu adalah wujud perhatian Bank kepada nasabahnya yang lama tidak bayar angsuran rumah. Sungguh luar biasa perhatian BTN padaku.

Segera aku buka surat tersebut dan aku menangkap ada bahasa yang tidak mengenakkan pada surat tersebut. Bahkan kali ini isi suratnya lebih membuatku merinding. Apa BTN tidak tahu kondisi rakyat kecil seperti aku yang masih kesusahan cari pekerjaan dan bersusah payah berjualan kelilingan. Yah, mereka mana tahu dan mana mau tahu kesulitan rakyat. Mungkin mereka juga hanya sekedar menjalankan prosedur. Yah, prosedur untuk menekan rakyat yang tak disiplin membayar cicilan rumah. Rumah di mana saat ini ada seorang bayi yang perlu berlindung dan masih kekurangan asupan gizi.

Ada nada ancaman bahwa dalam waktu dua minggu aku harus melunasi tunggakan BTN yang sudah empat bulan belum terbayarkan. Dan bahasa ancaman yang cukup membuatku berkeringat adalah bahwa rumah akan masuk ke daftar lelang. Kata-kata daftar lelang sungguh mengusikku dan membuat tak nyenyak tidurku. Bagaimana kalau pihak bank benar-benar akan melelang rumah ini? Tidak! Aku tak mau melepas rumah ini. Rumah ini adalah satu-satunya aset yang aku punya dan dialah saksi sejarah keluargaku. Aku harus bisa mempertahankan.

Aku tak berani menunjukan kata-kata ‘daftar lelang’ itu pada sang istri.

Aku hanya bilang; “Biasa hon, tagihan BTN.”

“Terus gimana yah? Kita sudah berapa bulan menunggak?” Tanya istriku penasaran.

“Empat. Empat bulan,” jawabku lirih.

Berawal dari tagihan BTN, merambah ke BPR untuk menutup tagihan rumah. Dari BPR merambah ke beberapa orang yang dianggap bisa menolong dan memberikan solusi sesaat. Tetapi semakin banyak bantuan dalam bentuk pinjaman semakin menjerat leherku. Aku tercekat dengan menumpuknya tagihan sana sini. Hingga permasalahan ini dibawa ke meja makan untuk mendapatkan solusi bersama.

“Sekarang bukan saatnya kita meratapi kesulitan ini, Hon. Aku harus berani ambil resiko dan Ibu harus mendukungku.” Aku memulai pembicaraan.

“Iya Yah, aku tahu. Memangnya Ayah mau kerja di mana?” Istriku penasaran.

“Ayah dapat info bagus dari Depnaker. Ada lowongan pekerjaan. Gajinya lumayan. Tapi ibu harus support ayah.”

“Sejak kapan sih ibu ga support ayah.” Istriku meraih tanganku. Meyakinkan bahwa dia tak pernah mengecilkan hati suami. “Lowongan keja di mana Yah?” Tanyanya mengharap jawaban cepat.

“Malaysia Hon.” Ak menatap matanya.

“Malaysia? Luar negri?” Hanya sampai di situ pertanyaan istriku. Lalu dia terdiam.

Aku hanya mengangguk. Sungguh aku mengharap dukungan dari tatap matanya. Dia seperti ragu. Namun mataku mengisyaratkan kesungguhan itu. Setelah itu kita tak banyak bicara.

“Mas Suryo serius? Mas Suryo serius mau meninggalkan aku dan Refo?” Dia menanyakan keseriusanku.

“Apalagi yang bisa aku perbuat di sini? Bagaimana aku bisa menutup hutang-hutang kita? Semua perusahaan dan pertokoan sudah tak bisa menolongku lagi. Jualan sudah semakin susah. Mungkin itu jalan keluarnya. Ke luar negri. Percayalah Hon. Kita harus bangkit. Tapi tentunya dengan pengorbanan.” Aku meyakinkan.

Istriku diam lagi. Dia merenung. Aku berlalu sejenak menengok Refo yang sedang tertidur pulas di kamar. Mataku berkaca membayangkan aku harus berpisah dengannya di saat dia sedang lucu-lucunya. Di saat dia banyak berpolah.

Pembicaraan berlanjut hingga larut. Seperti banyak kabut menyelimuti seluruh ruang di rumah. Seakan pandangan kami dibatasi oleh kabut tadi. Pembicaraanpun berlanjut hingga keesokan harinya. Pada akhirnya keputusan gila pun dibuat. Aku positif akan memproses untuk bisa bekerja di Malaysia.

Dukungan telah diberikan oleh kakak iparku. Dia tahu persis mengenai proses untuk bisa bekerja di luar negri karena selama beberapa waktu dia banyak membantu warga desanya yang hendak menjadi TKI di beberapa negara di luar negri seperti Taiwan, Arab, Hongkong, Singapura, dan Malaysia.

Dukungan seluruh keluarga sudah aku dapatkan. Istriku dengan berat hatipun sudah memberikan lampu hijau. Semua demi masa depan keluarga. Tak ada lagi yang bisa mencegah. Aku berpikir tidak ada salahnya mencari rejeki hingga ke negeri seberang.

Proses bekerja di luar negeri dimulai dari mengurus segala perlengkapan administrasi. Kakakku yang sudah mahir dalam hal ini membantuku mempercepat pengurusan surat-suratnya. Beberapa tahap harus aku lalui seperti cek medikal dan wawancara dengan PT yang akan membawaku. Aku harus ke Jakarta untuk wawancara setelah cek medikal selesai.

Aku kembali ke Jakarta untuk urusan wawancara. Wawancara berjalan lancar. Pekerjaan yang ditawarkan adalah sebuah pekerjaan ringan di sebuah pabrik meubelair. Sudah terbayangkan olehku sebuah pekerjaan yang sama sekali tidak cocok dengan keahlianku. Namun kali ini aku tidak akan bicara keahlian maupun pengalaman kerja. Aku hanya butuh pekerjaan dan uang untuk menutup hutang.

Pengumuman hasil wawancara tiba seminggu kemudian. Dan hasilnya, aku dinyatakan gagal. Aku gagal pergi bekerja ke Malaysia. Menurut informasi dari pihak PT, kegagalanku bukan karena hasil wawancaranya akan tetapi justru hasil cek medikalku yang menunjukan bahwa aku ada masalah dengan paru-paruku. Sebelumnya memang aku pernah berobat selama 6 bulan untuk paru-paruku yang terdeteksi kena flek. Dan ternyata Flekku masih belum bersih sampai aku cek medikal ini. Aku sungguh shock. Ternyata niat baikku belum bisa terkabul. Tuhan masih menginginkan aku untuk tetap bersama-sama dengan keluarga kecilku.

Entah solusi apa yang akan bisa membangkitkan perekonomian keluargaku. Aku tertunduk dan memohon kemurahan Tuhan. Tuhan sang Maha Pengatur segalanya. Tuhan sang Maha Pemberi segalanya. Aku yakin masih ada jalan. Tapi Tuhan belum beritahukan saat ini. Mungkin besok setelah matahari terbit.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Selalu dan selalu ikut berdoa semoga akan segera hadir kemudahan untuk keluarga kecil Suryo. Lsnjuut

13 Oct
Balas

Alhamdulillaah Selalu didoakan. Terimakasih Ibu. Insyaallah masih lanjut.

13 Oct

Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah sedang merajut sulaman terindah bagi takdir mas Suryo sekeluarga. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah...pak guru.

13 Oct
Balas

Doa yang sangat indah Bunda. Semoga terkabul Amin.

13 Oct

Aamiin ya robbal alaamiin.

13 Oct

Semoga rahmat Allah mengiringi langkah pak guru, barakallah

13 Oct
Balas

Amiin. Terimakasih doanya Bunda.

13 Oct

Meyakini bahwa semuanya adalah atas kehendak-Nya....Semoga Suryo tetap sabar menghadapi semua itu...

13 Oct
Balas

Amiin. Mudah-mudahan ada jalan keluar dari semua masalah.

13 Oct



search

New Post