Ayo Sugiryo

Guru di SMA Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto. Sedang belajar menulis dan Buku Perdana yang sudah diterbitkan: "From Home With Love" Tahun 2016, Buku ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#33_Keputusan Paling Gila)

Pagi ini Matahari tak begitu terlihat jelas. Kabut begitu tebal mengelilingi bumi di mana aku tinggal. Tepatnya, di sekitar rumahku. Hawa dingin masih menyergap tubuh kurus ini. Aku mencoba menghangatkan diri dengan menggerak-gerakan tangan ke samping, ke belakang, dan ke atas. Lalu menarik nafas pangjang dan mengeluarkan pelan-pelan lewat hidung. Aku lakukan ritual ini sebelum melakukan aktifitas fisik yang lain. Ada harapan-harapan pagi ini Tuhan akan memberitahukan kepadaku apa yang harus aku lakukan di saat kondisi ini.

Hingga matahari terbit dan sepenggalah, aku belum mendapatkan cahayanya. Masih banyak awan yang menutupinya. Aku tak boleh berhenti mencari cahaya cerah itu. Cahaya yang mampu menerangi pikiranku dari segala kegelapan hidup.

Cahaya itu rupanya jatuhnya di sana. Di daerah pegunungan perbatasan antara tiga kabupaten yang jauh dari kota ini. Tepatnya di desa tempatku dilahirkan.

Hiruk-pikuk masyarakat yang mayoritas petani sudah tak semeriah dulu. Apalagi kalau musim kemarau tiba. Sebagian masyarakat berpikir bahwa hasil pertanian sudah tidak seimbang dengan biaya hidup jaman sekarang. Seiring berkembangnya kesadaran masyarakat yang sudah menggeliat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Maka ketidakseimbangan ini menyebabkan masyarakat mulai menyukai pekerjaan resiko tingkat tinggi. Tapi justru pekerjaan ini banyak diminati oleh masyarakat karena memang sangat menjanjikan. Masyarakat bisa mewujudkan banyak hal termasuk cita-cita mereka untuk dapat meningkatkan taraf hidup lebih baik. Salah satunya menyekolahkan anak-anaknya.

Bagaimana pekerjaan tersebut dikatakan beresiko tinggi? Pekerjaan ini dianggap beresiko karena harus dilakukan oleh para wanita, dan sebagian wanita itu adalah ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga ini harus rela mengorbankan dirinya demi keluarganya. Anak-anak bahkan bayi pun rela mereka tinggalkan. Suami-suami ditinggalkan untuk waktu yang lama, minimal dua tahun. Desa tercinta di mana mereka bercengkerama dan berkumpul dengan keluarga pun rela untuk ditinggalkan. Karena mereka harus pergi ke negeri seberang untuk menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita).

Lalu apa resikonya? Banyak yang sudah terjadi. Seringnya terjadi penganiayaan terhadap pekerja wanita Indonesia. Itu terlihat mengerikan dan sering terjadi di negara tertentu. Lalu, anak-anak yang ditinggalkan di desa bagaimana? Siapa yang mengurusnya? Siapa yang mendidiknya? Mungkin neneknya atau ayahnya. Jelas ini bukan sebuah solusi dan ini beresiko bagi perkembangan psikologi anak.

Lalu, bagaimana dengan para suami yang ditinggalkan? Bagaimana kalau para suami ini tidak mampu untuk setia? bukankah ini beresiko terjadi perpecahan atau perceraian? Dan rupanya resiko-resiko itu sudah mereka pikirkan. Bahkan sebagian beranggapan, hal itu tergantung pada niat dan tujuan. Sejauh niat mereka baik dan saling mempunyai komitmen yang baik pula, semua akan berjalan lancar dan dapat memenuhi harapan seperti yang dicita-citakan. Walaupun tidak sedikit yang mengalami kehancuran dari ketidakmampuan mengatasi segala tantangan yang terjadi. Ada diantara mereka, suami di kampung mencari kehangatan sendiri, begitu pula sang istri yang di seberang juga melakukan hal yang sama. Keluarga mengetahui, dan perceraian terjadi sebelum si istri pulang kampung. Atau kejadian ini bisa salah satu pihak saja yang melakukan.

Kejadian lain, sang ayah tak mampu mendidik anaknya sendiri, hingga segala kebutuhan materi dipenuhi. Anak manja, dan tidak mau sekolah. Itu hanya sepenggal cerita yang terjadi dari resiko tinggi yang sering terjadi.

Tetapi sebenarnya wanita-wanita ini sungguh mulia. Mereka mau mengorbankan perasaannya demi menggapai cita-cita keluarga yang tidak bisa dipenuhi para suaminya. Sebenarnya bukan karena mereka tidak menghormati suaminya, tetapi itu adalah pilihan terakhir dari tuntutan kehidupan yang tak bisa dipenuhi hanya tinggal di desa. Penghasilan petani yang segitu-gitu saja tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan mereka di jaman ini. Jaman telah berubah. Banyak tuntutan kebutuhan sekunder yang harus dipenuhi seperti rumah bagus, kendaraan, dan tentunya biaya pendidikan.

Di pagi ini juga, aku mendapat bisikan dari sang istri. Dia sedikit bercerita mengenai orang-orang di desaku yang sukses menjadi TKW. Mereka bisa membangun rumah bagus. Mereka bisa membeli tanah. Mereka bisa punya kendaraan bagus. Mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya. Aku pun menanggapi cerita istriku dengan positif. Yah, kami ikut senang mendengar keberhasilan mereka. Padahal rata-rata dari mereka hanya berpendidikan SD. Mereka bisa menghasilkan jutaan rupiah setiap bulannya.

Lalu untuk apa aku bersekolah hingga SMA kalau aku tidak bisa berpenghasilan? Aku harusnya malu pada para TKW ini. Tapi masalahnya setinggi apapun lulusan para lelaki, kalau memang tak ada job untuknya ya sama saja tidak berguna. Sama seperti aku saat ini. Aku merasa tidak berguna.

“Tetapi kenapa kebanyakan pekerjaan untuk perempuan ya?” tanyaku seperti bertanya pada diri sendiri sambil aku menegadah melihat langit yang mulai cerah.

“Ya mungkin sesuai kebutuhan mereka, Yah. Mereka butuhnya untuk merawat bayi atau lansia, atau pekerjaan rumah, ya tentu yang dibutuhkan perempuan bukan laki-laki. Mungkin kalau dibuthkan untuk merawat kebun, atau kandang sapi, baru akan dibutuhkan laki-laki,” jawab istriku yang tiba-tiba sudah berada di sampingku, dan ikut memandang langit.

“Tapi kenapa harus kandang sapi?” tanyaku menoleh ke arah istri.

“Enggak, itu sih sekedar contoh saja. Mana ada sih di Taiwan atau Singapur ada orang melihara sapi di rumah? Ada-ada saja.” Istriku melemparkan senyuman.

Kami berdua tertawa seolah lupa akan permasalahan keluarga yang sedang melanda.

Pagi berikutnya, aku dikejutkan oleh candaan sang istri.

“Yah, sini!” Istriku meraih tanganku. Saat itu aku sedang berdiri di ambang pintu hendak ke halaman rumah. Waktu itu rumahku masih ada halamannya.

“Ada apa Hon?” Aku penasaran.

“Yah, bagaimana kalau aku ke luar negeri saja? Aku kan lulusan SMA, pernah kuliah, dan bisa bahasa Inggris. Pasti akan lebih dibutuhkan di sana?”

Aku masih diam tak menggubris. Ini mesti candaan konyol di pagi hari.

“Yah, aku ngajak ngomong kok diam saja?” Istriku mulai kesal melihat aku hanya diam sambil melamun.

“Eh, iya. Tadi ibu bilang apa?” Aku seperti baru sadar kalau aku diajak bicara istriku tentang kerja di luar negeri. Aku hanya berpikir kalau istriku sedang bercanda.

“Aduh, ayah. Aku serius. Tolong ayah dengerin.” Dia mulai memaksaku.

“Iya, iya. Tadi aku denger kok. Ibu, tadi bilang kalau ibu mau ke luar negri jadi TKW, bener kan?”

“Iya, yah bener.” Istriku bersemangat.

“Bener apanya?” Aku balik tanya.

“Bener tadi ibu ngomong begitu.” Istriku terlihat menunggu responku selanjutnya.

“Udah, ah. Pagi-pagi kok sudah nggak jelas pembicaraannya. Sekarang yang harus dipikirkan itu bagaimana dengan masalah kita ini? Ayah harus cari kerja apa masih belum tahu.Yang jelas, untuk saat ini ayah belum bisa ndaftar lagi ke Luar negri. Ayah harus sehatkan dulu nanti kalau sudah pulih ayah akan coba mendaftar lagi.”

“Udahlah yah. Ayah jangan ngotot mau ke luar negri lagi. Pengobatan paru-paru itu kan tidak sebentar. Lagian belum tentu juga ada lowongan lagi.”

“Terus harus bagaimana untuk menutup hutang-hutang kita itu?”

Aku dan istri hening sejenak. Otak sudah mulai panas lagi. Aku dan istri sama-sama sedang dalam pemikiran masing-masing.

“Yah, tadi kan ibu sudah bilang. Bagaimana kalau ibu yang pergi ke luar negri?”

“Ibu tadi serius ngomongin itu? Enggak Hon. Tak mungkin.”

“Yah, dengerin aku dulu. Ayah jangan emosi.”

Aku mencoba berusaha tenang.

“Yah, keadaan ini hanya ada satu cara yang bisa menolongnya. Aku harus ke luar negeri. Ayah harus berpikiran positif. Kalau tetangga kita di desa bisa, kenapa kita ngga bisa?”

“Lalu, bagaimana dengan Refo kita? Siapa yang mau ngurus? Terus aku bagaimana?” Aku seperti kehilangan arah.

“Kita bisa bicarakan dengan keluarga di desa. Pasti ada solusi. Kita tak perlu gengsi dalam keadaan seperti ini. Niat ibu baik, yah. Bukan ibu tidak menghargai ayah sebagai suami. Tapi ibu hanya ingin membantu. Siapa tahu niat baik ini di dengar Allah SWT bahwa memang inilah jalan terbaik. Percayalah Ayah. Ayah harus yakin ini akan menjadikan solusi buat kita.”

Aku diam merenung. Aku pandangi wajah istriku. Aku tak tahan. Aku membayangkan kalau ini benar-benar terjadi. Sungguh sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya.

Siangnya, kami bergegas ke Desa untuk menemui Bapak, Ibu dan Kakak iparku. Kami berkumpul untuk membahas niat istriku. Aku ingin melihat respon mereka seperti apa.

Kakaku adalah orang bijak yang dipercaya oleh warganya sebagai pimpinan dusun di desanya. Sebagai orang desa yang sudah berpengalaman membantu dalam proses pengurusan warganya ke luar negeri mendengar hal seperti itu adalah hal biasa bagi kakak iparku. Tapi kali ini dia begitu bingung giliran dimintai pendapat adiknya sendiri. Tapi sebelum semua diputuskan, sebagai seorang kakak yang bijak, diapun menyakinkan hal ini dan berusaha meyakinkan.

“Kalau memang niatmu sudah bulat, Masmu ini tinggal mendukung saja. Semua keputusan ada di kalian. Masmu tidak akan melarang tapi juga tidak menganjurkan. Karena segala apapun yang terjadi tentunya kalian yang akan menanggung. Pertanyaannya, apakah sudah dipikirkan matang-matang? Apakah ini hanya sekedar emosi sesaat? Kalian harus memikirkan akibat-akibatnya. Kalian bisa lihat sendiri banyak juga yang berhasil, tapi banyak juga yang jadi berantakan keluarganya.

“Insyaallah, Mas. Aku sudah niat betul. Aku hanya ada satu niat. Ingin membantu suami, Mas tidak lebih. Kalau hutang-hutang kami sudah beres, ya sudah. Aku pulang pun tak apa. Aku nggak ingin macam-macam Mas. Tinggal Mas Suryo saja. Kelihatannya masih berat.” Istriku merespon dengan penuh keyakinan. Sedangkan aku, masih ragu.

“Aku masih mempertimbangkan banyak hal Mas.” jawabku masih belum bisa memutuskan.

“Ya, udah. Kalian pulang saja dulu. Pikirkan lagi dan putuskan baik-baik berdua. Jangan memutuskan dalam keadaan emosi. Putuskanlah dalam keadaan tenang dan kesadaran yang baik. Insyaallah akan menemukan jawaban terbaik.” Kakaku menjawab dengan bijak. Dari tatapannya terlihat ada kesediah melihat nasib kami.

Begitulah respon kakak iparku. Sementara Bapak dan Ibuku, hanya berpikir yang terbaik buat anak, menantu dan cucunya. Apapun yang dianggap kami baik, lakukanlah. Selama itu memang bisa dilakukan.

Genderang tinggal dipukul dan palu tinggal di ketuk. Namun kami tidak semudah itu memukul genderang dan mengetuk palu. Banyak hal yang harus dipertimbangkan termasuk bagaimana dengan anakku yang baru berumur 14 bulan. Dia masih membutuhkan ASI ibunya. Siapa yang akan mengurusnya? Bagaimana dengan pekerjaanku? Sementara yang masih bisa aku lakukan adalah berjualan kelilingan yang penghasilannya tak menentu. Bagaimana pula dengan biaya proses pemberangkatan yang tentunya tidak sedikit. Bagaimana dengan perasaan kami berdua? Itu yang paling sulit untuk dijawab.

Kami masih terus berdiskusi dengan keluarga. Rupanya mereka semua sangat ingin membantu untuk memecahkan masalah kami. Biaya proses pemberangkatan akan dibantu oleh tetangga yang juga masih saudara. Ibuku bersedia membantu mengasuh si kecil Refo yang baru 14 bulan. Mereka semua mendukung niat baik istriku. Setelah semua permasalahan ter-cover, palu pun diketuk bahwa istriku akan mencoba mengikuti proses pemberangkatan ke Taiwan untuk menjadi TKW. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa. Karena proses ini pun tidaklah mudah. Tidak semua orang yang mendaftar bisa diberangkatkan. Sama seperti aku dulu. Karena faktor kesehatan, aku gagal ke Luar Negeri. Atau juga faktor lain. Aku tidak akan memaksa seandainya istriku pun gagal dalam syarat tertentu. Karena memang mungkin ini bukan menjadi jalan terbaiknya. Kita lihat saja nanti.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semakin penasaran menunggu kisah selanjutnya.

16 Oct
Balas

Tunggu ya Bu. Masih banyak lekuk liku kisah Suryo.

16 Oct

Keputusan apapun yang diambil, sebaiknya karena hasil musyawarah bersama. Sehingga jika pun ada permasalahan yang muncul akan bisa diselesaikan secara bersama-sama pula, Salam sehat dan sukses selalu. Kebahagiaan akan datang dalam hidup mas Suryo dan dhe Dian asal saling percaya dan setia. Barakallah...pak guru.

15 Oct
Balas

Amin mudah-mudahan Ibu. Insyaallah ada setitik kebahagiaan nantinya.

15 Oct

Wow gak sabar nunggu lanjutannya pak. Dilema yah pak, smoga ada jalan keluar terbaik. Barakallah

15 Oct
Balas

Cobaan yang terus mendera. Mudah-mudahan Suryo kuat menghadapi

15 Oct



search

New Post