AYUM HAYATI. S.Pd

Guru SMP Negeri 7 Banjar mengajar mata pelajaran IPA. moto hidup belajar tiada henti, berbagi dapat pahala...

Selengkapnya
Navigasi Web

Semanis Olahan Ubi (bagian ke 7)

Menggunakan topi caping kaos oblong lengan panjang celana jeans lusuh sandal jepit dan bakul, setelan yang biasa dipakai Tika jika pergi ke ladang mengambil ubi. Isi bakul bekal makanan dan kain selendang panjang untuk menggendong, pisau dan parang untuk menggali tanah ketika panen ubi. Hari itu cukup cerah hingga Tika tidak kesulitan pergi ke ladang. Terbiasa sendirian ke ladang setelah Mak Tiah semakin renta. Dipilihnya tanaman ubi yang sudah siap panen. Disibaknya daun ubi hingga kelihatan ada ubi yang sudah besar digalinya menggunakan parang dan kadang hanya mengunakan tangan pun ubi sudah bisa di dapat. Batang ubi yang habis di panen tidak serta merta dibuang tetapi di tanam kembali agar memiliki lagi ubi selanjutnya. Hampir setengan bakul ubi yang di panen ketika tetiba ada yang menyapa lembut dari belakang.

“Bandel ya, sudah main ke ladang aja.”

Sontak menoleh ke belakang dan dilihatnya Putra berdiri santai memegang kamera, terenyum manis sambil mengarahkan kamera padanya. Melambaikan tangan sembari berujar “Halo pacar.”

“Hey, Kak Putra? Udah di sini? Tahu dari mana ladangnya Tika disini? Sama siapa?”

“Satu-satu dong nanyanya, kak Putra bingung jawabnya.”

“Ih, Tika kaget dong Kak Putra ada di sini.”

“Maaf , tadi kak Putra ke rumah, kata Mak, kamu di sini, ya udah aku susulin ke sini.”

“Tapi ko ngga pake sandal, nih pakai punya ku, nanti kakinya sakil lho.”

“Udah biasa kali, jangan difikirin, tuh ubi nya hampir sebakul, mau sebakul penuh apa? Kuat bawanya?”

“Kuat dong kak, kan sudah biasa malahan kemarin mah dua kali balik ke ladang ngambil ubi, sayang kalo ga di panen nanti ngga enak ubinya ngga manis lagi.”

“Lihat kamu aja , udah manis.”

“Ih , gombal.”

“Ngga gombal sayang, Tik , itu saung siapa, boleh berteduh disana?”

“Boleh ,saung punya Mak, mari kak kita ke sana!”

Berteduh di saung kebun, memandang ladang yang dipenuhi tanaman ubi, disebelahnya ada kebun jagung milik tetangga. Ingatan Tika kembali ke masa lalu ketika masih ada ke dua orang tua dan kakeknya. Mereka selalu bersama ke kebun itu, Tika kecil di gendong kakek hingga sampai ke ladang, menunggu di saung sambil membuat perapian dan membakar ubi di situ. Tak terasa air mata Tika menetes di pipinya yang tak luput dari perhatian Putra.

“Hey, Tika sayang , kamu nangis? Kenapa?”

“Maaf kak.” Tika mengusap air matanya pakai lengan bajunya. “Tika ingat masa lalu ketika orang tua dan kakek masih ada, kita selalu ke ladang, aku digendong kakek , menunggu di saung, mempuat perapian setelah apinya cukup, kita bakar ubi.” senyum Tika masih menyisakan getirnya kehidupan.

“Kalau begitu, gimana kalo kita ulang sejarahmu, membuat perapian membakar ubi, Oke sayang.”

“Koreknya? Kalo kayu bakar mah ada banyak tinggal ngumpulin.”

“Gampang, survival ala anak rimba, pakai batu.”

Mencari kayu bakar ditemani pacar membuat Tika sedikit melupakan masa lalunya. Putra memang hebat bisa membuat Tika gembira dalam waktu singkat. Diambilnya kayu bakar digosokkannya batu dengan batu hingga menghasilkan api, disulutkan pada daun kering,jadilah perapian, ubi pun dibakar dengan penuh kehangatan cinta.Makan ubi berdua terasa amat manis, bercanda, bertatapan, tersenyum, dan tidak lupa mengabadikan dengan cekrekan foto.

“Tik , tahu nggak nama ilmiah ubi jalar?”

“Tahu dong kak , Colocasia esculenta.”

“Hih salah beib itu mah talas.”

“Terus apa dong? Tika bener-bener lupa Kak.”

“Nama ilmiah ubi jalar itu Ipomea batatas, ingat ya muridku! Kak Putra aja yang bukan anak IPA tahu.”

“Ya deh percaya.” ujar Tika sambil memonyongkan bibirnya.

“Ih, jelek tahu, tapi karena Kak Putra udah bucin banget maka keadaaan apapun kamu tetep cantik.”

“Ih dasar.”

Menjelang siang mereka pulang dari ladang, sebakul penuh ubi di bawa ke rumah.

“Banyak Tik, ubinya?” Mak Tiah yang sedari tadi menunggu mereka pulang dari ladang sudah menunggu di halaman rumah.

“Iya Mak, dibantu Kak Putra.”

“Terima kasih Nak Putra sudah bantu Tika.”

“Iya, Mak, Putra seneng kok bantu Tika, besok-besok boleh bantu lagi kan Mak?”

“Boleh Nak, tapi kan tidak selamanya kering tanahnya, kalau hujan mah becek, licin.”

“Ga apa-apa Mak, ntar saya belikan sepatu boot biar Tika ke ladangnya ngga belepotan lumpur.”

“Ngga usah Kak, udah biasa nyeker kalau hujan.”

“O, gitu ya, pantesan .”

“Pantesan apa? Hayo mau ngledek?”

“Nggak, ga pa-pa.”

“Ih kak Putra gitu deh.”

(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen yang keren unsur edikasinya masuk.Lanjut bu salam literasi dan sukses selalu

19 Jan
Balas

Siap ....salam literasi

19 Jan
Balas

Siap ....salam literasi

19 Jan
Balas

Keren bu.Salam dari Jember

21 Jan
Balas



search

New Post