Bagus Sasmito Edi Wahono

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, Pegiat Literasi dan Ketua Dewan Kesenian Gresik...

Selengkapnya
Navigasi Web
DI STASIUN KOTA (2)

DI STASIUN KOTA (2)

Mulai pagi tadi, hingga empat hari ke depan aku berkesempatan mengikuti workshop di Kota Malang. Karena kegiatan hari ini hanya berlangsung siang hari, aku sempatkan malam ini menginap di rumah kakak di Sawojajar, besok pagi aku akan kembali ke tempat acara di Hotel Haris Malang. Aku sengaja menginap di sini sebab pikirku nanti aku akan bisa beralasan meminjam sepeda motornya untuk sekadar berkeliling-keliling kota sekalian bernostalgia di kota yang sudah lumayan lama kutinggalkan.

Kota Malang di malam hari yang dulu biasanya ramai kini terasa sangat sepi. Hanya ada beberapa toko dan kios yang masih buka. Itu pun sudah sepi pengunjung dan nyaris tak ada pembeli yang masuk. Pikirku wajar saja, sebab sejak tadi udara terasa benar-benar sangat dingin, selain tiupan angin yang kencang, juga sejak tadi awan diliputi mendung pekat serta kilatan cahaya berkali-kali dari langit.

Aku berjalan menyusuri jalan-jalan protokol di tengah kota. Meskipun gerimis belum turun membasahi bumi tapi angin dingin dan udara yang lembab begitu terasa menusuk-nusuk tulang.Sepeda motor yang kutumpangi terus melaju di atas aspal yang dingin. Jaket tebal yang kukenakan rasanya tak kuasa membendung dinginnya cuaca. Berkali-kali kubetulkan letak helm agar bisa sedikit menutupi tiupan angin yang berusaha menerobos celah-celah kerah jaket yang kukenakan. Hingga akhirnya aku tiba di perempatan jalan dekat alun-alun kota.

Masih sempat kulihat jam di tanganku, sudah hampir pukul sepuluh malam. Biasanya jam segini alun-alun kota masih sangat ramai. Pengunjung biasanya masih berjubel mengelilingi taman yang ada di situ. Sengaja menikmati suasana yang sejuk atau hanya sekadar duduk-duduk di taman yang terdapat banyak tempat duduk dari beton yang panjangbersama keluarga, teman atau pacar. Para pedagang asongan biasanya lalu lalang menawarkan barang dagangannya. Tak ketinggalan pula para pengamen yang segera mendekat dan melantunkan lagu-lagu khasnya begitu melihat pengunjung yang baru datang.

Kupandangi sepintas lampu-lampu penerang jalan di sekeliling alun-alun yang barusan kulintasi, lampu-lampu taman, masjid dan pertokoan yang ada di sana semuanya masih menyala, jumlahnya benar-benar tak mampu kuhitung.

Sepeda motor yang kupakai kembali melaju setelah beberapa saat berhenti di bawah lampu stopan yang terdapat di sudut kiri alun-alun depan toko “Oen”. Aku terus melaju, menyusuri jalan-jalan kota yang dingin dan sepi, sesaat aku melintas di depan pertokoan Matahari, Sarinah, gedung bioskop Mandala, terus menuju taman Tugu Balai Kota , depot sate depan Hotel Menara dan Helios serta stasiun kota yang kedai nasi gorengnya pernah kita singgahi. Hmm, ada kenangan indah di situ.

Whuuss … tiba-tiba angin dingin berhembus kencang, menerjang pucuk-pucuk pohon kenari yang berjajar rapi di sepanjang jalan menuju lapangan Rampal, hembusannya yang kuat menyebabkan beberapa helai daun dan ranting kering berhamburan jatuh hampir tepat di depanku. Sesaat kemudian gerimis perlahan jatuh ke bumi, terpaksalah aku harus memarkir sepeda motorku di kafe yang ada di pinggir jalan Kesatrian.

Pukul sepuluh malam aku bersandar di salah satu kursi yang berjajar rapi di kafe yang cukup sepi ini. Aku menghela napas sembari melihat keluar jendela yang menyuguhkan jalanan yang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang melintas dan sebagian memang sengaja masuk ke kafehanya sekadar untuk mencari tempat berteduh.

Aku sengaja memilih duduk di sudut belakang ruangan yang sepertinyaterlihat cukup terlindungi dari terpaan angin dari luar sebab di sisi depan sana terdapat tabir sketsel penghias ruang yang berupa bambu setengah badan yang ditata memanjang. Benar dugaanku, di tempat ini memang tidak terlalu dingin sehinggaaku bisa menikmati indahnya rintik hujan yang mampir di sela-sela jendela depan tanpa merasa kedingingan yang berlebihan. Lagu-lagu berirama slow masih diperdengarkan dengan volume yang sengaja tidak dibesarkan.

Sudah cukup lama tak kunikmati dingin dan hujan seperti saat ini di kota ini, rasanya rindu sekali. Sepertinyadingin dan hujan disini masih sama seperti yang dulu. Dulu di sini saat hujan seperti ini dinginnya sangat menusuk kulit hingga ke tulang, apalagi di awal-awal aku tinggal di sini. Jaket dan selimut bahkan kaos kaki selalu menemaniku saat tidur. Lambat laun rasa dingin tidak begitu terasa mungkin kulit, tubuh dan tulang sudah mengalami adaptasi.

Dulu di saat awal-awal tinggal di kota ini dan kebetulan sedang musim dingin dan hujan seperti saat ini, terlintas dalam pikiran untuk mengungkapkan semua yang kualamidi sini kepada semua orang di kotaku yang jauh di sana, betapa susahnya aku hidup dikota ini, tak hanya susah karena dinginnya cuaca tapi bagiku hidup di kos-kosan sungguh sangat tidak nyaman,membuat makanpun jadisering tak menentu. Aku sering menahan lapar karena makanan tak sempat ku beli. Saat-saat tertentu, mie instanlah yang menjadi menu andalan, hampir setiap hari kuhabiskan beberapa bungkus mie instan untuk mengganjal perutku. Hanya sesekali nasi goreng, nasi campur dan bakso kunikmati, itupun jika ada penjual keliling lewat di depan rumah kosku.

Saat itu bukan hanya batinku yang sakit tapi perutku juga. Beberapa kali kuminum obat untuk meredakan rasa sakit di perutku dan beberapa kali juga kutahan lapar agar tidak memakan mie instan. Bosan sekali rasanya hidup jauh dari keluarga, tak ada makanan yang biasanya selalu siap tersaji di meja makan, tak ada buah, dan minuman segar yang biasanya tersedia di kulkas, tak kurasakan kehangatanseperti di rumah sendiri, saat-saat seperti ini ingin sekali rasanya aku pulang ke rumah dan tak kembali lagi ke sini.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya capucino hangat dan kentang goreng crispy sudah tersaji. Tenggorokanku terasa lumayan hangat setelah aku meneguknya beberapa kali. Sejak dulu aku memang tidak seberapa suka kopi hitam. meskipun berkali-kali mampir di warung kopi tapi tak pernah sekalipun aku memesan kopi hitam. Lambungku tak pernah mau diajak kompromi dalam hal minum kopi.

Pikiranku menerawang jauh, kembali mengingat saat itu, saat aku bersamamu berdua duduk di taman depan stasiun kota. Waktu itu, tiba-tiba kau bilang benci pada kehidupan, meskipun tak pernah terpikir sedikitpun olehmu untuk membenci si pemberi kehidupan. Kau bilang benci pada dirimu sendiri, yang sampai saat ini belum bisa menemukan cara bagaimana harus mengakhiri semua riwayatmu tanpa harus meninggalkan catatan-catatan yang buruk tentang masa lalu. Kau mulai bosan dengan malam-malam yang selalu kau habiskan dengan bertemankan air mata yang bercucuran dan setiap pagi entah sejak kapan, kau perlahan menjalin hubungan yang begitu karib dengan mata yang bengkak dan rasa penat di hati.

Kau katakan kauingin sekali menghapus dan pergi meninggalkan semua catatan burukdan semua yang telah menjadi saksi bisu segala kisah kehidupanmu hingga membuat kau muak dan penuh rasa putus asa. Kau katakan tak ingin berlama-lama berada di alam yang penuh dengan kepura-puraan dan sandiwara. Kau muak dengan segala drama yang tercecer dimana-mana. Tapi kau tak bisa menolak ketika di lingkungan baru tempatmu berada, kau kembali bertemu dengan orang-orang yang tak jauh berbeda. Kau mendengar basa basi disana dan disini. Setiap lidah berlomba-lomba menyanjung lawan bicara, meskipun hati dan pikiran mereka sedang berada entah dimana.

Kau bilangbeberapa kali mendengar gosip beberapa perempuan dengan berapi-api membicarakan perempuan yang merupakan teman mereka sendiri. Sesekali mereka cekikikan, mata mereka melotot, ludah mereka berhamburan dan hidung mereka kembang-kempis saking semangatnya mereka membahas kehidupan orang lain. Keesokan harinya kau lihat mereka bisa berbagi tawa dengan hangatnya dengan mereka yang digosipkan. Kau bilang mendadak kau merasa mualdengan sandiwara-sandiwaranya..

Kau juga benci pada setiap orang yang selalu berkata “ya” meskipun kau yakin benar orang tersebut menutup mulutnya rapat-rapat untuk tidak menumpahkan segala penjelasannya demi menolak berkata “ya”. Kau bilang gerah menyaksikan semua orang berlomba-lomba menganggap diri paling benar, dan membuat orang lain terlihat rendah dan bersalah.

Kau bilang pusing menyaksikan orang-orang saat ini yang suka sekali pamer dan membangga-banggakanharta kekayaan milik mereka. Kau pusing memikirkan mengapa orang-orang begitu bersemangat berbicara dan menjadi penjilat dan penggosip, namun sungguh lihai pula menguasai jurus diam seribu bahasa ketika sudah tenggelam dalam dunia media sosial mereka.

Akupun mulai bingung, antara benci dengan kehidupankuyang penuh kepalsuan saat ini atau kehidupan yang menyedihkan terhadap orang-orang yang ada di sekelilingku. Rasa bingungku kemudian berujung rasa malu dengan diriku sendiri, karena sering pula aku menjadi bagian dalam kehidupan menyedihkan yang dibencinya itu.

Aku mencoba mengingat. Tak jarang aku mengiyakan setiap perkataan yang sebenarnya ingin ku bantah habis-habisan, sering pula aku harus sibuk tersenyum, tertawa dan mengatakan pujian palsu demi kebahagiaan semu lawan bicaraku. Ku ingat betapa ahlinya aku dalam bersandiwara. Ku layangkan pembicaraan dengan nada bersahabat dan pandangan hangat, dibalut suasana yang terasa begitu dekat antara aku dengan beberapa orang. Ku korbankan perasaanku. Lagi dan lagi ku harus berdusta pada diriku sendiri. Mencoba menyembunyikan kenyataan tentang betapa ku membencinya dan ingin melenyapkannya secepat mungkin dari hadapanku.

Aku juga tak bisa memungkiri bagaimana aku ingin mengejar pengakuan dari orang banyak dengan setiap saat mengunjungi halaman seluruh media sosialku, twitter, facebook, whatsUpp dan instagram. Meninggalkan komentar-komentardi grup whatsUpp dan di status facebook orang lain, mengunggah foto-foto makanan yang kunikmati dan tempat-tempat yang kukunjungi di akun facebookku, berpose sebaik mungkin dan berpakaian sebagus mungkin demi memamerkannya kepada teman-teman melalui galeri instagram. Ah, ternyata orang-orang yang kau benci dan membuatmu muak tak lain adalah aku sendiri.

Saat itu aku benar-benar gelisah dan bimbang, aku malu dengan diriku sendiri. Waktu itu aku enggan berkomentar banyak. Aku hanya bisa memandangimu saat kudapati ada rongga kosong di kedua matamu yang menyala redup dan bibirmu yang kau paksa mengatup rapat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih Ibu ..

22 Sep
Balas

Memori ya mas Bagus... Keren.. salam Literasi semangat berkarya.

23 Sep
Balas

Memori ya mas Bagus... Keren.. salam Literasi semangat berkarya.

23 Sep
Balas

Matursembahnuwun Pak Sukadi...

24 Sep

cerpen keren. masa lalu terkuak mengiris hati..

22 Sep
Balas

Terima kasih...salam Literasi ..

22 Sep

Kenangan yang indah pak Bagus

23 Sep
Balas

Terima kasih Bu Euis...

24 Sep



search

New Post