#MenulisHariKe-8

#TantanganGurusiana

Lelaki itu terpaku menatap selembar kertas di hadapannya. Deretan kata yang berbaris rapi yang baru saja selesai ia baca seolah mengantarkannya pada satu bagian hidup berikutnya. Ia menghela napas panjang, matanya memanas. Aku bisa melihat dengan jelas saat ia berusaha menahan air mata yg menggantung di sudut matanya.

“Mas, tidak apa-apa. Nanti Allah pasti persiapkan yang lebih baik dari ini.”

Aku berusaha menguatkan lelaki itu. Lelaki yang dua minggu lalu mengucapkan janji suci di depan ayahku dan semua yang hadir hari itu. Lelaki yang kini kupanggil suami.

“Apa kamu masih mau menerimaku dengan keadaan yang sekarang? Yang kehilangan pekerjaan dan bahkan tidak punya apa-apa?”

Ini pertanyaan, atau lebih tepat disebut ratapan, yang pertama keluar dari mulutnya setelah beberapa menit mematung mebaca surat pemutusan hubungan kerja dari perusahaan yang tiga tahun terakhir ia jalani. Ia terlihat begitu rapuh. Bagaimana tidak? Kami baru saja menikah, dan ujian itu datang begitu cepat.

"Bagaimana mungkin kau mempertanyakan itu?Aku istrimu, Mas. Bagaimanapun dirimu, bagaimanapun keadaanmu. Aku akan selalu menerimamu”.

Aku meraih tangannya dan meletakkan begitu saja kertas yang masih dipegangnya. Kutatap dalam matanya. Bulir itu masih menggantung di ujungnya. Aku ingin meyakinkannya bahwa aku akan selalu ada di sampingnya. Aku tidak ingin ia merasa buruk, merasa tidak pantas. Aku di sini untuk menemaninya. Aku serahkan diriku bahkan hidupku untuknya. Bagaimana bisa ia mempertanyakan penerimaanku? Seolah ia meragukanku. Aku paham dia sedang mengkhawatirkan kebahagiaanku. Tapi apa ia tidak tau? Dengan ia hanya berada di dekatku, aku sudah bahagia. Bahkan ia tidak perlu melakukan apapun. Cukup ia ada, dan aku bisa melihatnya.

Lombok Timur, 16 Juni 2021