Basri Wahid

Banyak yang mengatakan bahwa guru yang bernama BASRI WAHID ini salah mengambil jurusan. Pasalnya, karena ia lebih banyak berkecimpung di bidang seni mus...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ketika Aku Memilihmu

Ketika Aku Memilihmu

#Tantanganmenulisgurusiana

#Hari ke-226

Ketika Aku Memilihmu

Hari ini terasa melelahkan. Pekerjaan kantor yang bertumpuk membuat tubuh dan pikiran terasa benar-benar lelah. Kelelahan itu terasa kian bertambah ketika teringat suasana di rumah. Beberapa hari ini Mira, istriku terlihat tak begitu ramah. Selalu uring-uringan. Ia tak menyapaku dengan mesra seperti biasanya. Walaupun begitu ia tetap menjalankan tugas rutinnya menyiapkan makanan dan membuatkan kopi untukku sesuai jadwalnya, tapi setelah itu menyendiri. Kami saling diam dan tak bicara. Kalau sudah begitu, aku yakin ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

Aku membereskan laptop dan tas kerjaku. Sebelum melangkah pulang kucoba membuka gawai yang sejak tadi tidak sempat kupegang. Sebuah pesan masuk dari Mira, istriku yang bertuliskan,”Malam ini kita ke tempat biasa.” Hanya itu kalimat yang dikirimkannya. Aku sudah mengerti betul dengan watak Mira. Ia tak mau bicara jika hatinya sedang diliputi masalah. Ia hanya menuliskan pesan singkat.

Sudah menjadi kebiasaan jika ada masalah kami akan pergi berdua saja mendatangi suatu tempat untuk menyelesaikannya. Tempat itu cukup bersejarah bagi kami berdua. Sebuah tempat yang menyimpan kenangan indah. Di tempat itu pulalah kami mampu menyelesaikan setiap permasalahan rumah tangga sejak menikah hingga kini. Walaupun terkadang setelah tiba di sana kami hanya membisu diam seribu bahasa, lalu saling pandang, dan tertawa lepas. Masalah pun selesai tanpa bicara apa-apa dan langsung pulang.

Waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Aku sudah duduk di atas sepeda motor bututku. Sengaja aku tak menggunakan mobil karena sesuai kebiasaan, jika ada masalah dan mendatangi tempat bersejarah itu kami menggunakan sepeda motor.

Dengan tanpa bicara sepatah pun, aku langsung menghidupkan sepeda motor tuaku sambil menunggu Mira berkemas untuk berangkat. Sepeda motor ini menyimpan kenangan hingga aku tak sanggup menjualnya. Dengan sepeda motor tua inilah aku membonceng Mira untuk pertama kalinya.

Semuanya berjalan dalam sebuah komitmen dan seperti ada dalam skenario. Mira sudah tahu kebiasaan itu jika ada masalah dalam keluarga kami. Ia pun langsung naik, dan duduk di jok belakang dengan menghadap ke samping. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kubawa Mira istriku menembus malam menuju suatu tempat, sebuah pantai yang jaraknya tak jauh dari kediaman kami.

Sambil mengendari motor aku berpikir tentang masalah yang menjadikan Mira tak mau berbicara beberapa hari ini. Aku mencoba menebak dalam hati, pastilah ada hubungannya dengan ibuku yang sejak satu bulan ini tinggal bersama kami. Aku sebagai anak lelaki tertua bertanggung jawab untuk memelihara ibu ketika usia senja. Sejak ayah meninggal, dan semua anaknya sudah menikah, tak ada siapa-siapa lagi di rumah orang tua kami yang lumayan besar itu. Aku tak rela melihat ibu tinggal sendirian dalam rentanya.

Kawasan wisata pantai ini cukup luas. Di sepanjang pantai berjejer pondok-pondok kecil tempat yang biasa dijadikan tempat orang bersantai sambil memandangi laut di siang hari, menatap kapal dan perahu nelayan yang lalau lalang. Jika malam hari, kemerlip cahaya lampu di kejauhan menjadi pemandangan yang mengasyikkan. Angin pantai di malam hari menyambut kedatangan kami, mengibarkan kerudung istriku, Mira yang sejak tadi tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Kami menuju ke sebuah kawasan hutan cemara yang letaknya di ujung pantai bagian sebelah utara. Di sana berjejer warung-warung yang menyediakan makanan dan minuman. Ada sebuah warung yang paling ujung, di situlah aku menghentikan sepeda motorku. Aku turun dari motor menuju sebuah pondok yang sudah disediakan. Setelah memesan minuman, kami duduk berdua menghadap ke pantai memandangi kerlip cahaya lampu di kejauhan. Di temani cahaya remang-remang, kami saling diam dengan pikiran masing-masing.

Masih kuingat, di tempat inilah, dua puluh tahun lalu aku belajar mengukir kata-kata indah untuk memulai mengatakan sesuatu dengan terbata-bata. Mira tersenyum dalam debarnya menanti kata-kata dahsyat itu. Malam itu menjadi awal cerita hingga aku meminang Mira menjadi istri hingga detik ini, dan dikaruniai dua anak yang sudah remaja.

Aku menatap Mira dalam diamnya. Seperti ada beban yang menyumpal dadanya. Aku menunggu dia bercerita biar segala yang membuncah terluapkan, dan segala permasalahan terselesaikan. Namun sudah lebih lima menit kutunggu, Mira tak juga memulai pembicaraan. Matanya menatap lampu-lampu di kejauhan.

“Ada apa sesungguhnya?”, kataku memulai

“Seperti yang ada dalam pikiranmu saat ini.” Kata Mira singkat seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku tentang masalah yang menimpanya.

“Tentang Ibu?” Kataku.

Mira tak menjawab. Ia hanya menarik nafas panjang. Aku pun langsung berkesimpulan untuk membenarkan dugaanku, seperti sebuah hipotesis yang telah dibuktikan kebenarannya hingga menjadi sebuah kesimpulan bahwa kehadiran ibu lah yang menjadi persoalan Mira.

(Bersambung …)

Tanjungpandan, 21 September 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Pak. Lanjut

22 Sep
Balas

Keren pak, ditunggu lanjutannya

22 Sep
Balas

Keren nian cerpennyo, lanjut

22 Sep
Balas

Terimokasi Mant

22 Sep

Mantap Pak. Ditunggu lanjutannya.

22 Sep
Balas

Terimak kase

22 Sep



search

New Post