Bima Yudha Pranata

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Kisah Anak Nelayan

Gadis kecil itu bernama Rani. Dia sahabatku. Keluarganya termasuk kalangan tidak mampu. Keluarga yang tinggal di pesisir ini, setiap harinya bermata pencaharian sebagai nelayan. Ya, ayahnya Rani memang seorang nelayan. Penghasilan dari ayahnya bekerja tidak cukup untuk menghidupi keluarganya. Terkadang, jika beruntung, hasil dari ayahnya bekerja bisa untuk makan satu bulan. Belum lagi, Rani mempunyai adik kecil berumur lima tahun. Sebenarnya, aku salut padanya, dia yang bisa sekolah di sekolah mahal tempatku bersekolah ini. Semua itu berkat prestasi yang di raihnya. Semua biaya sekolah Rani di sini gratis. Mulai dari buku pelajaran, seragam sekolah, hingga biaya bulanan yang semestinya harus dibayar setiap siswa. Tapi, tidak untuk Rani. Uang saku setiap harinya juga, dibiayai oleh kepala sekolah, yaitu Pak Renoto, ayahku sendiri. Beruntung sekali ya, Rani!.

***

“Seluruh siswa-siwi diharap segera ke lapangan untuk melaksanakan upacara bendera” kata Pak Putro, guru olah ragaku. Aku dan Rani bergegas keluar kelas untuk melaksanakan upacara bendera. Selama upacara berlangsung, para murid tertib mengikuti upacara. Akhirnya, tiba saat yang kutunggu-tunggu. Yaitu, amanat Pembina upacara. Pembina upacara kali ini, ayahku.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” ucap ayahku memulai pembicaraan.

“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab seluruh dewan guru dan murid.

“Yang terhomat, para dewan guru yang saya hormati, anak-anakku dari kelas satu sampai kelas enam yang saya cintai dan saya banggakan. Tak lupa, kita memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena kita diberi kesehatan dan keberkahan untuk melakukan upacara bendera di pagi yang cerah ini. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan. Tak lama lagi, pembagian rapor akan berlangsung, oleh karena itu, saya selaku kepala sekolah disini ingin mengajak anak-anak semua berdarma wisata di Pantai Soraya. Mungkin ada murid di sini tinggal di dekat pantai itu. Saya harap, murid tersebut bisa menjelaskan keindahan alam yang ada di sana. Seperti layaknya pemandu wisata. Acara tersebut kami lakukan pada hari Sabtu, tanggal 13 Juni 2010. Semua biaya ditanggung oleh sekolah. Para murid diharapkan kumpul di sekokah pada pukul 07.00 WIB. Jika ada yang keberatan, harap temui wali kelas masing-masing. Hanya sekian yang ingin saya sampaikan. Kurang lebihnya, saya mohon maaf. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” kata ayahku.

***

Upacara bendera pun telah usai. Aku dan Rani kembali lagi ke kelas.

“Pasti ayahmu tadi, nyindir aku deh” ujar Rani saat berjalan menuju kelas.

“Ya ampun Ran, bukan nyindir itu. Hanya berharap bantuan. Asyik kan itu?” godaku.

“Ye… asyik-asyik. Aku yang bakal kena nantinya. Di kejar-kejar murid dari kelas satu sampai kelas enam. Emang itu asyik?” gerutu Rani.

“Bukan cuma asyik Ran. Itu seru. Hahaha.. ya enggak lah! Aku bakal bantu kamu kok. Lagian, enggak mungkin anak kelas 6 ngejar kamu cuma buat nanya tentang Pantai Soraya. Mereka bakal cari sendiri atau lihat sendiri” kataku.

“Berarti sama saja dong! Aku harus di kejar-kejar anak-anak kecil. Kelas satu sampai kelas lima? Banyak banget. Kelas satunya aja sampai E. satu kelas muridnya 32 kalau dikali 5 ada berapa? Itu aja masih yang kelas satu. Belum yang kelas dua, tiga, empat, juga lima” gerutu Rani lagi.

“Hehehe… ada sekitar 800-an. Tapi, udahlah tenang aja, ada aku kok” hiburku.

“Makasih ya Hilda. Kamu sahabatku yang paling baik deh” kata Rani. Aku jadi tersipu-sipu. Tiba-tiba saja, grup Duo Centil datang. Yaitu Wina dan Nika

“Hai Hilda! Hai Rani. Oh iya, Ran, kamu bakal jadi pemandu wisata ya. Hihihi kasian. Kayaknya seharian kamu bakal kepanasan menghadapi adik-adik kelas deh. Kita berbeda dengan kamu. Kita bakal berfoto seharian di Pantai itu. Pasti banyak fotografer tertarik pada kita. Jadi deh, kita menjadi bintang model cover majalah atau bahkan tawaran iklan” kata Wina dan Nika dengan centil. Mereka berdua memang terobsesi menjadi bintang model.

“Hil, kita tinggalin mereka saja yuk! Aku mau menemui Bu Tita” ajak Rani.

“Yuk!” balasku. Aku dan Rani segera menemui Bu Tita di ruang guru.

“Hil, kamu tunggu disini dulu ya” kata Rani. Dia menyuruhku menunggu di luar ruangan. Aku menurutinya. Pintu ruang guru tertutup. Aku tak bisa mendengar pembicaraan antar Bu Tita dengan Rani. Tapi… tunggu-tunggu, aku mendengar sedkit-sedikit suara Bu Tita. Menurut yang aku dengar, Bu Tita berkata bahwa Rani tidak bisa untuk tidak mengikuti acara berdarma wisata karena dialah pemandu wisata itu. Itu artinya, Rani berencana untuk tidak ikut? Sekitar lima menit kemudian, Rani keluar ruangan.

“Kenapa kamu berniat untuk tidak ikut Ran?” tanyaku.

“Tidak ikut apa Hil?” tanya Rani berpura-pura tidak tahu.

“Enggak usah bohong deh Ran. Aku denger sendiri kok. Kamu berniat untuk tidak ikut acara darma wisata kan? Jujur aja dong Ran” pintaku.

“Iya Hil. Sorry, aku sudah membohongimu. Aku enggak mau merepotkan kamu. Selama ini, aku sudah banyak hutang sama kamu. Kamu mau menolong aku apa saja. Semua yang kau bisa, kau lakukan” kata Rani sambil menitikkan air mata.

“Sudalah Ran. Enggak usah nangis. Aku ikhlas kok melakukan itu semua. Aku enggak mau imbalan dari kamu. Aku hanya mau kamu bahagia sekamanya. Aku hanya mau, kamu meraih cita-citamu menjadi guru itu. Kamu enggak perlu memikirkan imbalannya.” Ujarku menghibur Rani. Rani mengusap air matanya dan pelan-pelan ia membuat senyuman manis di bibirnya. Terlihat sekali lesung pipit di pipinya.

“Gitu dong! Aku suka melihat kamu tersenyum. Apalagi kalau tertawa, aku tambah suka.” Ujarku menghibur.

***

Hari ini, tanggal 13 Juni 2010. Aku sudah bersiap-siap untuk berdarma wisata. Sejak pukul 04.30 pagi tadi, ayahku sudah stand by di sekolah. Sekitar pukul 06.30 aku berangkat ke sekolah sambil memanggul ransel besar. Di sekolah, sudah banyak teman-temanku yang datang. Kata ayahku, Rani tidak perlu berkumpul dulu di sekolah. Ia menunggu saja di sana. Sepi rasanya, perjalanan tanpa Rani. Sekitar pukul 09.00, aku sudah tiba di Pantai Soraya.

“Hilda…” seru seseorang saat aku turun dari bis. Ternyata itu suara Rani.

“Ran,” panggilku.

“Mampir yuk, ke rumahku” ajak Rani.

“Enggak usah Ran. Makasih” jawabku. Hari ini, aku dan Rani asyik berkeliling Pantai Soraya. Berfoto, bermain air, bermain pasir, juga berkejar-kejaran. Tetapi, itu semua cepat berlalu. Sekitar pukul 17.00 aku dan rombongan lainnya harus pulang ke rumah.

***

Tujuh bulan kemudian…

“Berita terbaru dari Paper News. Telah terjadi ombak besar menghantam sekitar Pantai Soraya. Di kabarkan sekitar 85 orang tewas dalam kejadian ini. Sekian dari Paper News” kata reporter Paper News itu. Apa? Pantai Soraya? Bagaimana dengan keadaan Rani, sahabatku? Sedih sekali rasanya mendengar berita itu. Aku berharap semoga Rani dalam keadaan baik-baik saja. Aku ingin sekali mengunjunginya. Tetapi, sudah lama aku tak bertemu dengannya. Bahkan, sekarang aku telah menginjak bangku kelas tujuh SMP. Lalu, aku teringat untuk mengabarkan ayahku.

“Halo, yah” kataku menelepon ayah.

“Iya Hil, ada apa?” tanya ayah.

“Rani yah. Sahabatku yang tinggal di Pantai Soraya itu”

“Iya, dia memangnya kenapa?” tanya ayah penasaran.

“Barusan, aku melihat berita di televisi. Ombak besar menghantam Pantai Soraya. Ayah bisa tidak, mengantarku kesana?” tanyaku.

“Nanti sekitar pukul 14.00 ya” kata ayah yang langsung mengakhiri panggilan.

***

Sekitar pukul 14.00 ayahku langsung menancap gas menuju Pantai Soraya. Setibanya disana, keadaan Pantai Soraya porak poranda. Tidak indah seperti dulu saat aku berdarma wisata. Sepi sekali suasananya. Sepertinya, orang-orang pada mengungsi. Aku mengunjungi rumah Rani. Hal yang terjadi juga sama, sepi. Tak ada hasil, aku dan ayahku pulang ke rumah. Dalam perjalanan, aku berdo’a semoga Rani dilindungi dalam segala marabahaya.

***

Dua belas tahun kemudian, aku telah sukses menjadi dokter. Kangen sekali rasanya pada SD-ku yang dulu. Pada saat libur, aku menyempatkan diri mengunjungi SD-ku. Sekitar pukul 09.00 aku berangkat. Aku melihat sekeliling halaman sekolahku dulu. Terjadi banyak perubahan keadaan disana-sini. Aku senang, disinilah dulu aku menuntut ilmu sehingga aku sukses menjadi dokter. Tiba-tiba, ada yang menepuk pundakku dari belakang.

“Hei” kata orang itu mengagetkanku.

“Ka… ka..kamu..” kataku terbata-bata.

“Hai Hilda” sapa orang itu.

“Ra.. ra.. Rani?” tanyaku.

“Ya, hai Hilda, apa kabar? Sibuk ya, menjadi dokter. Sampai tidak sempat mengunjungi SD ini” tanya Rani.

“Aku baik Ran. Kamu jadi guru di SD ini?” tanyaku tidak percaya.

“Ya. Aku senang bisa meraih impianku selama ini. Kamu juga kan?”

“Iya Ran. Eh, dulu sewaktu terjadi ombak besar di Pantai Soraya, aku mengunjungi rumahmu. Tapi kok sepi?” tanyaku.

“Oh, kejadian dua belas tahun yang lalu itu? Iya, aku mengungsi bersama tetanggaku yang lain. Alhamdulillah, aku selamat” cerita Rani panjang lebar.

“Keluargamu juga selamat kan? Oh iya, apa sekarang kamu masih tinggal di sekitar Pantai Soraya itu?” tanyaku.

“Enggak Hil. sejak setelah kejadian ombak kitu, aku pindah” jawab Rani.

“Pindah di mana?” tanyaku penasaran.

“Di komplek Gita Sejahtera”

“Lho? Itu kan dekat dengan komplekku. Wah, sekarang kamu sukes ya Ran. Aku salut sama kamu. Kalau kamu pindah ke komplek Gita Sejahtera, gimana dengan pekerjaan ayah ibumu?” tanyaku.

“Ayahku sekarang bekerja di rumah. Ia membuka kedai. Ibuku membantu ayahku. Sekarang, setelah aku pulang dari mengajar, aku membuka perpustakaan kecil-kecilan di halaman rumahku. Banyak anak kecil yang datang. Aku senang. Semoga saja, bangsa Indonesia bisa lebih pandai. Sehingga negaranya semakin maju, mengalahkan Negara-negara yang lain” tekad Rani. Aku bangga padanya. Ia sangat peduli pada sesama. Dulu, ia yang seorang anak nelayan, sekarang bisa menjadi Guru yang hebat. Ia tak pernah menyerah untuk menggapai cita-citanya menjadi guru. Mungkin, aku bisa mencontohnya. Yaitu, untuk Pantang Menyerah menghadapi segala cobaan dan rintangan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cara mendeskripsikan ceritanya ngalir, bagus... Di tunggu cerita-cerita selanjutnya, salam literasi !

05 Apr
Balas



search

New Post