ALPIN

Kita tidak menulis untuk dipahami tetapi untuk memahami binaraksara

Selengkapnya
Navigasi Web
HERMENEUTIKA HANS GEORG GADAMER

HERMENEUTIKA HANS GEORG GADAMER

Alfina Ashlichaturrahmah/ 3 IAT B/ 22202337

Biografi Gadamer

Hans-Georg Gadamer, salah seorang filosof Jerman, yang lahir di Marburg pada 11 Februari 1900. Gadamer tumbuh dalam keluarga akademis dan agamis, karena ayahnya merupakan seorang ahli kimia farmasi dan ibunya termasuk seorang protestan yang taat dan konservatif. Namun agama tidak terlalu mempengaruhi pemikiran dan diri Gadamer, sehingga dia menjadi penganut agama nalar atau dikenal dengan Vernunftrelegion.

Gadamer sempat menimba ilmu di Breslau, dan kemudian pindah ke universitas Marburg. Di Marburg Gadamer belajar filsafat kepada para filosof Neo-Kantian, yakni Paul Natrop dan Bicolai von Hartman. Setelah menyelesaikan disertasinya, Gadamer masih belajar filsafat dengan filofos lain, seperti Martin Heidegger. Dari sini pemikiran Hedegger sangat mempengaruhi pola pikir Gadamer sehingga membuatnya jauh dari pengaruh-pengaruh Neo-kantinisme.

Pada tahun 1929, Gadamer menyelesaikan habilitationnya. Gadamer meninggal pada tahun 2002. Selama hidup Gadamer banyak menulis buku dan artikel, terutama dalam bidang filsafat. Salah satu karya terkenalnya adalah warhheit und methode (1960) merupakan buku tentang hermeneutika yang sangat berpengaruh di dunia Barat.

Hermeneutika Gadamer disebut hermeneutika filosofis karena disini hermeneutika tidak terbatas. Hermeneutika menurut Gadamer adalah kemampuan manusia untuk memahami. Dasar hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika). Retorika adalah seni untuk mamaparkan pengetahuan dan hermeneutika adalah seni memahami teks.

B. Teori- teori Hermeneutika Gadamer

Pemikiran hermeneutika Gadamer sangat dipengaruhi oleh Heidegger, dapat dikatakan setengah pemikiran Gadamer itu terinspirasi dari Heidegger. Pokok pemikiran Heidegger yang diambil Gadamer adalah pemikiran Ontologis, dimana hermeneutika diartikan sebagai pemahaman itu sendiri dan pemahaman tersebut adalah proses memahami sesuatu. Dalam memahami hermeneutika Gadamer, kita perlu memahami teori-teorinya, yaitu :

1. Teori “ Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah”.

Menurut teori ini, setiap penafsir mengalami situasi tertentu yang mempengaruhi pemahamannya dalam menafsirkan teks. Situasi itu disebut ‘effective history’, yaitu tradisi, kultur, dan pengalaman hidup.

Gadamer mengatakan: “ seseorang harus belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik sadar atau tidak, pengaruh dari ‘effective history’ (sejarah yang mempengaruhi orang) sangat mengambil peran. Pesan dari teori ini ialah seorang penafsir harus mampu mengatasi subyektivitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.

2. Teori “Prapemahaman”.

Keterpengaruhan ‘effective history’ dapat membentuk pada diri penafsir yaitu ‘prapemahan’ terhadap teks yang ditafsirkan. Prapemahan yang dimaksud adalah asumsi atau dugaan awal penafsir ketika ia membaca teks.

Tanpa prapemahan seseorang tidak akan berhasil memahami teks dengan baik. Namun menurut Gadamer, untuk menghindari kesalahpahaman dalam menafsirkan. Prapemahan itu harus terbuka, direhabilitas, dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika ia sadar bahwa asumsi awal nya tidak sesuai dengan teks yang ditafsirkan. Tahapan rehabilitas dan koreksi disebut sebagai ‘kesempurnaan prepemahaman’.

3. Teori “Penggabungan atau Asimilasi Horison” dan Teori “ Lingkaran Hermeneutik”.

Dalam proses penafsiran seseorang harus sadar bahwa ada dua horison, yaitu (1) cakrawala pengetahuan (horison dalam teks), (2) cakrawala pemahaman (horison pembaca). Seorang pembaca teks memulainya dengan cakrawala hermeneutikanya, tetapi dia juga harus memperhatikan bahwa teks juga memiliki horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca. Menurut Gadamer, dua horison ini harus dikomunikasikan, sehingga ‘ketegangan antara keduanya dapat diatasi’ (the tension between the horizons of the teks and the reader is dissolved). Oleh karena itu, ketika seorang membaca teks yang muncul pada masa lalu maka dia harus memperhatikan horison histori teks tersebut (dimana teks tersebut diungkapkan dan ditulis).

Seorang pembaca teks harus mempunyai kesadaran dan pengakuan adanya horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Jadi, memahami sebuah teks berarti membiarkan teks tersebut berbicara. Komunikasi antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutika”. Horison pembaca menurut Gadamer hanya berperan sebagai titik berpijak seorang dalam memahami teks.

Titik ini hanya sebuah pendapat atau kemungkinan bahwa teks berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh memaksakan agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak ini justru harus membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh teks. Terjadilah kesimpulan bahwa, makna obyektivitas teks lebih diutamakan daripada subyektivitas pembaca.

4. Teori “Penerapan/Aplikasi”.

Ketika makna obyektifitas teks dipahami, maka muncullah pertanyaan apa relevansi antara teks yang menandung makna dengan kehidupan sehari-hari, misalnya dalam kitab suci. Di sisi lain, perbedaan waktu atau masa antara munculnya teks dan penafsir tentulah jauh berbeda. Menurut Gadamer, ketika seorang membaca kitab suci, maka selain proses memahami dan menafsirkan yang selanjutnya dilakukan adalah proses penerapan. Dalam proses penerapan penafsir harus mengaplikasikan makna terdalam teks (meaningfulsense) bukan makna literal teks (makna asli).

C. Elaborasi Kesesuaian Hermeneutika Gadamer dengan Aspek-aspek Ulumul Qur’an.

a. Teori kesadaran sejarah dan teori prapemahaman dan kehati-hatian dalam menafsirkan teks al-Qur’an.

Disini penafsir harus berhati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkannya sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari prapemahaman yang telah terpengaruh oleh Sejarah (pengetahuan awal, pengalaman dan lain-lain). Dan teori ini sudah jelas telah dipaparkan oleh para ulama’ Ulumul Qur’an bahkan oleh Nabi Muhammad sendiri, ketika mengatakan “Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y-nya, maka bersiaplah untuk menempati neraka”.

Kata Ra’y disini lebih diartikan dengan ‘dugaan’ atau ‘prapemahaman’ atau dalam istilah Gamader ‘vorverstaendnis’ yang belum menjadi ‘Vollkommenheit des Vorverstaendnisses’ (kesempurnaan prapemahaman). Penafsiran yang dilarang adalah penafsiran yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan dan al-Qur’an.

Menurut al-Ahwadzi sesungguhnya larangan tersebut semata-mata dimaksudkan dengan dua hal. Pertama, dia (seorang Penafsir) telah memiliki pendapat tentang sesuatu. yaitu dengan tabiat dan keinginannya dan dia cenderung terhada pendapat tersebut. Kemudian dia menakwilkan al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsunya (keinginannya) untuk mencari alasan pembenaran terhadap tujuannya. Kedua, penafsir tergesa-gesa dalam menafsirkan al-Qur’an secara literal tanpa mencari tahu keterangan (riwayat) tentang lafadz-lafadz di dalam al-Qur’an.

Yang dimaksud al-Ahwadzi dalam hal pertama ini serupa dengan teori Gadamer dengan istilah ‘prapemahaman’ yang dipaksakan kepada penafsiran teks. Sedangkan yang kedua larangan bagi penafsir karena ia tidak memiliki ilmu-ilmu terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan.

b. Teori Fusion of Horizons dan Dirasat ma hawla al-Nashsh.

Gadamer menegaskan bahwa dalam proses penafsiran ada dua teks yaitu horison teks dan horison penafsir. Horison teks disebut juga Weltanscauung (pandangan dunia) maksudnya teks hanya diketahui dengan dirasat ma fi n-nashsh (studi atas apa yang ada di dalam teks) dan dirasat ma hawla n-nashsh (studi atas sesuatu yang melingkupi teks) sesuai yang disebutkan oleh al-Khulli.

Studi atas apa yang ada di dalam teks dapat dilakukan dengan menganalisis aspek kebahasaan, sementara studi atas apa yang melingkupi teks berupa analisis terhadap aspek historis yang melingkupinya, seperti aspek historis mikro (asbab an-nuzul) dan aspek makro yakni kondisi bangsa Arab saat Al-Qur’an diturunkan. Setelah menganalisis hal itu seseorang akan mendapatkan pemahaman secara baik atau Weltanscauung.

c. Teori Aplikasi (Anwendung) dan Interpretasi Ma’na-cum-Maghza.

Teori ini telah dikemukakan Gadamer menegaskan bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks tersebut muncul, lalu dia melakukan pengembangan penafsiran dengan tetap memperhatikan kelanjutan makna baru ini dengan makna asal sebuah teks. Dengan teori ini diharapkan bahwa pesan teks tersebut bisa diaplikasikan pada saat penafsiran.

Teori ini dapat dipraktikkan dalam penafsiran Al-Qur’an, yang biasa kita sebut “interpretasi ma’na-cum-maghza”. Interpretasi yang dimaksud adalah satu bentuk interpretasi yang memperhatikan baik makna asal (makna historis atau tersurat) maupun makna terdalam (makna inti, biasanya tersirat). Al-Ghazali menyebutkanya dengan istilah al-ma’na al-zhahir (makna lahiriah) dan al-ma’na al-bathin (makna batin)

DAFTAR PUSTAKA

Alli Allam, “Makalah Hermeneutika Gadamer” ( www.academia.edu, 2019)

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an ( Yogyakarta, Nawasea Press, cet.I, 2017)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post