Kita bisa melihat dari beberapa sudut, betapa gampangnya menulis. Kalau kita sudah berada di tahap menulis itu gampang, menerbitkan buku akan jauh lebih gampang.

Ada penulis buku yang menangani sendiri seluruh proses penerbitan tulisan-tulisannya menjadi sebuah buku, sejak penyuntingan naskah, pembuatan gambar ilustrasi, mengatur tataletak, mendesain sampul, hingga pengurusan ISBN-nya. Lalu memasukkan material pracetaknya ke percetakan, menyiapkan pembayaran sesuai tagihan dan menunggu bukunya turun cetak.

Ada pula penulis yang langsung menyerahkan berkas-berkas tulisannya ke penerbit dan menunggu kabarnya sambil menulis --untuk bakal buku berikutnya.

Pendek kata, ketika bahan berupa tulisan sudah terkumpul atau sudah selesai disiapkan, untuk sampai berujud sebagai buku itu sama halnya sembilan puluh persen proses telah terlampaui.

Jadi, mau bikin resep apa lagi? Mau kiat macam apa lagi? Dalam hal ini, resep itu boleh dianggap nonsens. Mau menerbitkan buku, ya menerbitkan saja. Kirim naskah ke penerbit dan selesailah urusan. Kalau masih butuh kiat-kiat atau strategi, tunggu setelah buku turun cetak dan memasuki babak baru: pemasaran, jika mau menjualnya, jika urusan penjualan mau ditangani sendiri, tidak melalui jalur distribusi/pemasaran-nya pihak penerbit.

Bikin buku itu gampang. Sepekan pun bisa kelar itu urusan. Jika berpuluh tahun tak sebuah buku pun lahir dari rahim kreativitas saya, pasti itu bukan karena bikin buku itu susah, tetapi, karena bagi saya menulis itu sungguh tidak gampang.

Loh, ini bagaimana? Kemarin bilang menulis itu gampang. Kok sekarang mengakui susah? Itulah masalah saya yang sesungguhnya: tidak bisa konsisten.