BUDHI SLAMET SAEPUDIN

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

ANTI RADIKAL DAN DERADIKALISASI FAHAM TERORISME BISA DIMULAI DARI SEKOLAH

Mencermati maraknya aksi terorisme dewasa ini yang banyak diberitakan media masa maupun media sosial tanah air memunculkan kekhawatiran yang mendalam pada setiap diri warga negara Republik ini. Hal ini diperparah dengan adanya berita dimana pelaku teror melibatkan juga anggota keluarganya yang dengan berani mengakhiri hidup mereka dengan meledakan diri menggunakan bom yang melilit di tubuh. Terlepas dari semua spekulasi yang berkembang, andai saja semua ini terbukti benar hal ini menjadi sebuah realita yang sulit diterima akal sehat dan membuat miris siapa saja yang mengetahui kejadian itu. Kita menyaksikan bagaimana anak-anak yang polos menjadi korban radikalisasi orang tuanya. Sebuah eksploitasi anak-anak yang notabene masih duduk di bangku sekolah, tetapi kini menjelma sebagai aktor pelaku aksi teror. Semua menguatkan keyakinan kita bahwa faham radikal telah begitu dekat dengan kehidupan kita dan dengan mudah dicekokan ke diri anak-anak yang masih lugu.

Adakah yang salah dengan kejadian ini hingga anak yang mestinya sedang sibuk menimba ilmu di bangku sekolah harus dikorbankan oleh orang tuanya? Benar, bahwa filter pertama faham radikal adalah keluarga, lantas kalau sumber kekacauan ini justru beranjak dari keluarganya kemudian siapa yang berdiri menjadi filter kedua, saat tangan orang tua mereka justru membimbing mereka ke pintu kematian? Bila kita rajin membuka file lama tentang cerita panjang teror bom di Indonesia yang melibatkan remaja dan anak sekolah, disana banyak dijumpai fakta bahwa disaat anak remaja yang sedang labil dan sedang kritis mencari jati diri menemukan sebuah pemahaman sesat tentang hal-hal yang sebelumnya tidak ditemui dalam pembahasan umum di sekolah maupun di lingkungan bermainnya. Seperti pertanyaan “tindakan apa yang bisa menjadi jalan tol menuju Surga?” Minimnya informasi tentang pertanyaan diatas menjadikan banyak anak remaja mencari sendiri jawabannya. Ketika narasumber yang diharapkan bisa memberi pencerahan tetapi justru bertemu dengan mereka yang salah jalan dan memanfaatkan keingintahuan para remaja tersebut dengan pemikiran dan faham radikal yang mereka yakini, dengan dijanjikan surga akhirnya para remaja itu dengan sukarela bersedia dijadikan “pengantin” untuk melakukan aksi pemboman bunuh diri.

Bila sebelumnya aksi teror melibatkan anak remaja tanggung, kini dalam kasus bom Surabaya pelaku memanfaatkan anak-anak kecil yang masih dibawah umur yang masih duduk di sekolah dasar dan menengah yang dalam keseharian masih dalam asuhan dan bimbingan belajar para guru, lantas dengan munculnya fenomena seperti ini dimana posisi dan peran sekolah yang diharapkan kedepannya?

Sekolah adalah dunia kedua anak-anak setelah keluarga dan lingkungan teman bermainnya. Sekolah memiliki otoritas untuk memberikan pencerahan secara legal formal bagi setiap hal yang diyakini bisa merubah anak menjadi lebih baik dan tumbuh kembang dengan pesat yang kesemuanya didasarkan pada acuan kurikulum pendidikan yang disepakati. Pemberian materi anti radikalisme dan deradikalisasi bisa dimulai dari bangku sekolah dengan berbagai program pengajaran yang memasukan esensi daripada nilai-nilai kebersamaan dan pluralisme. Saatnya kini dalam pendidikan Agama dan budi pekerti diselipkan pesan moral dan hal-hal krusial yang menjadi sumber keingintahuan anak didik sehingga diharapkan anak-anak mendapat jawaban yang benar akan keingintahuannya. Sudah saatnya sekolah diberdayakan menjadi garda terdepan dalam usaha anti radikalisme dan deradikalisasi faham-faham yang dinilai bertentangan dengan kesepakatan pendahulu kita yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sekolah dapat diajadikan alat cegah dini dan deteksi dini bila ada perilaku anak yang berbeda dari teman lainnya dalam pemahaman agama, bagaimanapun juga perilaku anak adalah cerminan perilaku orang tuanya. Selain itu dengan pemberian materi anti radikal dan deradikalisasi yang intens dan terarah akan dapat memunculkan sifat kritis anak dalam menyikapi setiap situasi yang berkembang disekitarnya.

Terakhir, walaupuan kita semua telah sepakat bahwa perang melawan faham terorisme adalah tanggung jawab bersama semua elemen bangsa yang berkomitment untuk tetap mempertahankan tegaknya Republik ini, bukan cuma peran keluarga, ulama, pemuka agama aparat keamanan maupun sekolah saja, tetapi dalam prakteknya haruslah melibatkan semua lini dalam masyarakat yang secara proaktif ikut berperan demi terjaminnya kedamaian di negeri ini. Semoga, dengan kebersamaan semua elemen anak bangsa, kedepanya kita akan memiliki generasi penerus yang lebih baik dari kita sekarang yang berbudi pekerti luhur dan saling sayang menyayangi dalam kebhinekaan, jayalah negeriku, jayalah Indonesia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap Pak! keluarga, sekolah, masyarakat perlu waspada. keluarga yang pertama, sekolah juga yang utama bagaimana agar anak terhindar dari paham radikalisme. Satu lagi, perkuat literasi!

23 May
Balas

Keluarga, sekolah dan masyarakat harus bersatu untuk melindungi anak dari ancaman "radikalisme". Jika sinergi yang solid sudah terjadi maka tidak akan ada celah bagi radikalisme menyusup kedalam diri anak-anak kita. Wallahu a'lam bishawab. Jazakallah khoir...pak guru, sudah sangat mengingatkan. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah. Salam literasi dari Medan.

23 May
Balas

Aamiin terima kasih

23 May
Balas



search

New Post