DERDOSAKAH SAYA“Minimal empat kali kamu menemui saya!” kata saya pada dua orang siswa yang meinta bimbingan menulis novel.

“Maksudnya?” mereka tidak paham apa yang saya maksud.

“Empat kali bimbingan, empat kali saya beri masukan pembenahan tulisanmu. Okey?” mereka mengiyakan.

Pertemuan pertama, tulisan mereka sangat acak=acakan. Saya maklum, baru kelas Sembilan SMP. Namun saya salut dengan kemampuan dan keberaniannya untuk menulis. Apalagi yang ingin ditulis sebuah novel. Saya yang sanggup membimbing justru belum pernah membuat novel. Tetapi berani membimbing penulisan novel.

Saya lantas ingat ketika memotivasi teman-teman guru bahasa Indonesia SMP dalam forum MGMP. “Bapak Ibu sering mengajarkan menulis puisi. Menilai karya puisi anak-anak. Tetapi mengapa bapak Ibu tidak menulis puisi untuk contoh mereka? Mengapa hanya dari buku?”

Respon teman-teman hanya tersenyum. Saya pun mbersemangat melanjutkan komentar. “Bapak Ibu sering mengajarkan materi cerpen. Mengoreksi cerpen anak-anak, member masukan tentang cerpen yang baik. Bahkan menjelaskan tentang unsure intrisnsik dan ekstrinsik karsa sastra. Mengapa Bapak Ibu tidak menulis cerpen? Apakah tidak ada rasa berdosa?”

Mereka kembali tertawa. Entah tawa apa yang diekspresikannya. Dan kini, saya mengoreksi novel murid saya. Berarti saya harus menulis novel, agar saya tidak berbuat dosa karena bisa menyalahkan tetapi tidak bisa memberikan contoh.