Semalam saya dikagetkan viral curhatan orang tua terhadap buku yang terlanjur dibeli untuk anaknya. Plus diikuti capture dua halaman buku yang dimaksud. Dan dua halaman buku bergambar untuk anak-anak tersebut memang tidak layak, menurut hemat, saya sebagai orang tua maupun sebagai guru. Saya tentu saja tidak tahu dari mana sumber awal viral itu. tapi mengikuti peristiwa-peristiwa selanjutnya maka bisa diyakini kejadian ini benar adanya dan bukan hoax semata. Tapi mohon maaf saya tidak tega kalau harus menampilkan di sini capture konten buku yang dimaksudkan. Saya hampir yakin Bapak dan Ibu sekalian dapat menemukan gambar yang sudah jadi viral itu di luar sana dengan mudah.

Saya langsung bagikan ke dua grup ibu-ibu yang saya miliki. Sengaja saya pilih grup ibu-ibu untuk memberi informasi sehingga lebih berhati-hati dalam membelikan buku putra-putrinya. Agar kita tidak langsung percaya buku anak karena percaya cover. Plus, saya ingin dengar respon teman-teman juga, agar saya juga punya sudut pandang yang lain. Barangkali mereka punya sudut pandang lain.

Ternyata setelah saya posting ada juga postingan dalam bentuk lain info tentang buku tersebut. Sepertinya dari pihak penjual tapi berupa obrolan jaringan pribadi. Isinya kurang lebih tentang pembelaan diri bahwa capture yang beredar sebagaimana saya peroleh di awal tidak fair, karena masih ada halaman selanjutnya yang merupakan lanjutan adegan tersebut. Lucu badai! (Hehe, bukan kece badai!) Ada maupun tidak ada lanjutan adegannya buku itu telah mengajarkan teknik melakukan hal yang tidak benar dari berbagai sudut pandang kepada pembacanya yang notabene adalah anak-anak.

Paginya, saya dapat viral lagi pernyataan atau klarifikasi resmi dari pihak penerbit, yang merupakan lini dari penerbit mayor negeri ini, yang dulunya merupakan enerbit besar buku pelajaran! Sekali lagi pernyataan resmi pihak penerbit pun senada dengan Japri yang juga menjadi viral sebelumnya. Mereka tidak merasa menyesal telah menurunkan cetakan tersebut. Mereka menyesal karena lupa memberikan stiker label bimbingan orangtua!

Mereka merasa menjadi pahlawan telah memberikan seks edukasi yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat umum, namun sebenarnya perlu diberikan pada anak-anak. Untungnya, mayoritas respon masyarakat yang saya tangkap tidak sependapat dengan si Penerbit. Para orang tua masih meyakini ada teknik lain bagaimana mereka mmeberikan edukasi yang sensitif ini pada putra-putrinya. Yang jelas bukanengan memberitahukan teknik melakukan hal yang ingin dijauhkan atau dihindari.

Syukurlah, siangnya saya mendapat postingan lagi tentang respon dari Satgas Gerakan Literasi dari Kemdikbud. Syukurlah para petinggi negeri ini pun dalam hal ini berada di pihak rakyat. Mereka memberikan pandangan dan masukan sesuai kapasitas mereka dan memberikan solusi yang baik pada pihak Penerbit. Terimakasih pada pihak Satgas GLS telah memberikan perlindungan pada generasi penerusnya.

Rangkaian peristiwa semalam hingga hari ini menegaskan pada saya bahwa kalau demikian Guru memang harus menulis! Karena kalau guru yang menulis hampir dipastikan tidak akan menulis tentang hal-hal yang akan merusak generasi bangsa. Yang ada adalah tulisan yang sejuk dan sangat mempertimbangkan karakter bangsa. Menulis memang tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak mungkin! Apalagi kalau sudah ikut kelas menulisyang dimotori MG bareng Pak CEO dan Pak RT!

Cikarang, 22 February 2017