Chanifah

Lahir di Banyumas, 22 Oktober 1989. Alumni PGSD FKIP UNS Tahun 2013. Tenaga pendidik di SDN Pesawahan Kec.Rawalo Kab.Banyumas Jawa Tengah....

Selengkapnya
Navigasi Web
Kabut Palsu

Kabut Palsu

Pagi itu, seorang anak terbangun dari tidurnya karena sentuhan udara dingin. “Mana selimutku.....” gumam anak itu kedinginan dengan matanya yang masih tertutup. “Selimutmu masih menempel di badanmu Ilham. Segeralah bangun dan berwudhulah!” Ibu menjawab dengan tegas. Anak itu segera bangkit dari tempat tidur setelah mendengar perintah Ibunya.

Nyeeesss.... rasa dingin air kran membasahi jemari dan telapak tangannya yang mungil. Lekas ia menghampiri tempat sholat untuk mengambil sarung dan pecinya selepas berwudhu. “Ayo Bu ke mushola!” Sahut anak itu pada Ibunya. Ibu menatapnya dengan muka heran. “Kenapa Bu? Ada yang salah?” Begitulah ia membalas muka heran Ibu. “Kamu itu... lihatlah jam dinding di kamarmu! Ayahmu saja sudah bersiap-siap pergi ke sawah, malah kamu mau ke mushola.” Jawab Ibu. Dug-dug-dug-dug... anak itu berlari ke kamar sekejap menatap jam dinding dan segera menghampiri tempat sholatnya. “Astaghfirullohal’adzim... sudah hampir jam setengah enam?” ucap anak itu sambil bergegas ke tempat sholat.

“Kok Ibu tidak membangunkan ku seperti biasanya?” tanya Ilham dengan nada kecewa. “Apa setiap hari Ibu harus jadi alarm ke dua mu? Kamu kan sudah besar... sudah kelas tiga. Lain kali kalau mau tidur alarm dibunyikan ya...” jawab Ibu agak menyindir. Anak itu mengangguk penuh sesal.

Hari semakin siang tetapi sinar sang surya tak nampak juga dari kaca jendela. Jarum pendek jam di dinding kamarnya menunjuk angka tujuh. Segera ia membuka jendela kamarnya pelan-pelan. Slereeeekkk... jenjela itu terbuka perlahan dan... wuuuuussssshhhhh... udara pagi yang dingin membelai kulit anak itu. Nampaknya bulu kuduknya merinding. Pori-pori kulitnya pun mengkerut. Terlihat pemandangan di luar tak nampak sama sekali. Yang terlihat hanya warna putih.”Uh... pemandangannya jelek sekali” gumamnya sambil menutup kembali jendelanya sebagian.

Ia keluar dari kamar dan menghampiri Ibunya yang sedang memarut singkong di dapur. “Bu... di luar kok pemandangannya tidak bagus ya. Tadinya aku mau jalan-jalan pagi mumpung Hari Minggu.” Kata Ilham dengan nada lirih. Ibu pun menatap wajah anak sulungnya itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak bagus gimana? Di luar itu kan diselimuti kabut. Rupanya kamu tak tahu ya nak, di balik kabut itu pemandangannya sangat indah. Cobalah kamu keluar. Lihatlah pemandangan di luar sangat indah. Kabut itu tidak menutupi keindahan pemandangan, tetapi menambah indahnya jika kamu menikmatinya.” Kata Ibu mencoba memberi pengertian pada anak sulungnya.

Dengan penuh tanya dalam hati ia melangkahkan kakinya menuju luar rumahnya. “Apa si maksud Ibu?” gumam anak itu mencoba mengerti perkataan Ibunya. Dia keluar menuju kursi yang ada di teras. Kemudian ia duduk tenang dan dengan perlahan menghirup udara yang masih dingin itu. Ia merasakan bulu-bulu hidungnya basah. Tak puas berada di teras, ia melanjutkan langkahnya ke jalan hingga akhirnya ia sampai di dekat lapang. Ketika itu kabut pun mulai menipis dan terlihat pemandangan sekitar. “Waaahhh... benar kata Ibu. Ternyata pemandangan di balik kabut pagi ini sangat indah. Subhanalloh...” puji anak itu sembari menikmati alam sekitar yang sangat elok.

Hari mulai siang, mentari pun mulai meninggi menghangatkan suasana yang kalanya dingin berkabut berubah menjadi hangat dan cerah. Ia kembali ke rumah setelah menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenaknya. Dalam perjalanan pulang ia berlari-lari kecil agar keluar keringat dari tubuhnya yang masih terasa agak dingin. Sesampainya di rumah ia bergegas ke kamar mandi. Tapi ternyata air di bak mandi kosong. Ia segera menghampiri timba hitam yang membujur pada gantungan di sumurnya. Kucuran air mulai terdengar dari kamar mandi tanda bak mandi mulai terisi air. Anak itu pun terus menimba hingga air dalam bak mandi penuh.

Rasa dingin tak lagi terasa karena keringat mulai bercucuran. Ember timba itu lekas ia kerek ke atas seperti sebelumnya. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi melanjutkan niatnya untuk mandi. Byuuurrr.... byuuurrr.... byuuurrr.... guyuran air segar ia rasakan di sekujur tubuhnya yang penuh keringat itu. “Aaahhh... segar sekali...” gumam anak itu sendirian sambil mengenakan handuk berwarna coklat muda. Kemudian ia keluar menuju kamarnya.

“Nak, kemarilah! Ayo sarapan bersama!” panggil Ibu. “Ya, Bu.” Jawabnya. Ia menuju ruang makan yang berada satu ruang dengan ruang keluarga. Kemudian ia duduk berhadap-hadapan dengan Ibunya. “Wah... ternyata Ibu hari ini masak spesial yah? Semur si mata besar kesukaanku (semur jengkol).” Celotehnya kegirangan. Langsung saja dua centhong nasi ia ambil dari bakul. Dengan tak sabar ia langsung memegang gagang sendok kemudian menyerok nasi dan si mata besar hingga sendoknya penuh. “Aem... nyaem... nyaem... nyaem...” demikian lahap dan tak sabar ia menyantap makanan di piringnya itu sambil melirik semur jengkol yang ada dalam mangkuk. “berhentilah nak....” kata Ibu dengan tatapan yang tajam. “Kenapa Bu? Bukannya Ibu memasak semur ini untuk ku? Ibu ini... mengganggu kenikmatanku makan saja.” Jawabnya agak kesal. “Kamu lupa belum berdoa kan?” gertak Ibu. “Astaghfirullohal’adzim... Ilham lupa Bu, maaf...” jawab anak itu penuh sesal. Kemudian ia menghentikan makannya dan berdoa. Setelah itu ia melanjutkan makannya lagi.

Seusai sarapan ia membantu Ibunya membereskan meja makan. Kemudian ia beranjak duduk di atas karpet di depan TV. Ibu menghampirinya dan menyodorkan sepiring ondhol-ondhol (makanan gorengan yang terbuat dari singkong parut yang diisi dengan gula merah) yang dibuatnya dini hari tadi. “Makanan lagi....” celotehnya sambil tersenyum lebar. Langsung saja ia memasukkan satu ondhol-ondhol itu ke mulutnya sambil memencet tombol power pada remote control TV. Crooottt.... cairan merah mencuat keluar dari mulutnya hingga mengotori layar TVnya. “Hahaha... uhuk...uhuk...” ia tertawa disusul batuk-batuk karena tersedak. “Ada apa Ham....? kenapa kamu tertawa? Kenapa batuk juga?” tanya Ibu keheranan. “Ini Bu lavanya menyembur dari muluktu sampai ke layar TV. Hehehe....” jelasnya sambil tertawa. “Ya ampun... makannya pelan-pelan. Pasti kamu masukkin semua ya... ondhol-ondolnya kan cukup besar Ham... itu cepat dibersihkan layar TVnya pakai tisu!” kata Ibu sambil menyodorkan segelas air putih. “Terima kasih ya Bu. Ibu baik, tidak seperti temanku yang namanya Eva.” Katanya. “Eva? Masa si? Eva yang anaknya cantik itu? Yang kemarin ikut belajar kelompok di rumah kita kan? Memangnya Eva kenapa?” tanya Ibu dengan mimik tak percaya. “Iya... si Eva yang kata Ibu cantik itu... masa aku minta air putihnya sedikit saja tidak boleh. Kemarin Hari Sabtu pas bawa bekal kan aku lupa tidak membawa botol minum Bu... pelit banget dia.” Lapornya dengan kesal. “Masa si? Padahal yang Ibu tahu dia anaknya baik kok. Ibu sering melihat dia menyeberangkan nenek-nenek di jalan. Iya... Ibu sering melihatnya menolong orang lain. Mungkin saja dia punya alasan tidak memberikan air putihnya padamu, Ham.” Jawab Ibu mencoba meyakinkan anak sulungnya yang sedang merasa kesal. “Ya sudah lah kalau Ibu tidak percaya.” Jawab anak itu penuh kecewa.

Anak itu melanjutkan makan ondhol-ondhol sambil menonton TV. Sedangkan Ibu pergi ke belakang untuk mengambil biji kacang hijau. Setelah beberapa menit Ibu menghampiri anaknya yang sedang menikmati ondhol-ondhol buatannya. “Nak, Ibu mau pergi ke sawah. Ibu akan membantu Ayahmu menanam kacang hijau di sawah. Ikut tidak? Atau mau berdiam diri di rumah?” tanya Ibu. “Ikut Bu.... daripada bosan di rumah Bu.” Jawabnya dengan senang hati. Anak itu pun bergegas mengambil topi dan botol air minum yang berisi air putih. “Ayo Bu kita berangkat.” Sahutnya penuh semangat.

Dalam perjalanan menuju ke sawah mereka melewati rumah Eva, si gadis cantik itu. “Eh Eva... kamu rajin sekali. Jam segini sudah menyapu halaman.” Puji Ibu pada anak itu. Anak itu pun tersenyum sipu. “Ibumu mana Va? Biasanya ikut Ayahmu ke sawah kan? Atau sudah berangkat ya? Kok kamu tidak ikut, tidak seperti biasanya?” tanya Ibu kembali. “Iya Bu, Ibuku sudah berangkat ke sawah tadi pagi jam enam. Eva di rumah saja Bu.” Jawabnya dengan sopan. “Ooh begitu ya... ya sudah. Mari Eva... kami pergi ke sawah dulu ya...” kata Ibu. “Iya Bu, silakan.” Jawab Eva. “Ibu tidak usah memuji dia terus. Masa dia tidak ikut membantu Ayah dan Ibunya ke sawah. Ibu bilang dia anak yang baik...” celotehnya mengelak pernyataan Ibu. “Eh eh eh.... kamu jangan berburuk sangka dulu sama orang lain... tidak baik lho berburuk sangka. Kita kan tidak tahu alasan orang melakukan sesuatu.” Ibu mencoba meluruskan. Anak itu pun mengiyakan perkataan Ibunya dengan terpaksa.

Sesampainya di sawah ia langsung menanyakan tugas pada Ayahnya. “Yah, apa yang perlu Ilham bantu?” tanya Ilham. “ Itu tanahnya sudah Ayah lubangi. Coba kamu masukkan masing-masing tiga biji kacang hijau ke dalam lubang-lubang itu ya... jangan sampai ada yang terlewatkan.” Jawab Ayah. Anak itu pun mulai memasukkan biji-biji kacang hijau ke dalam lubang yang telah dibuat Ayah menggunakan sebatang kayu yang diruncingi ujungnya.

Matahari mulai meninggi, panas terik pun mulai terasa. Keringat bercucuran di wajah mungilnya itu. Sebentar-sebentar ia mulai mengibaskan keringat di wajahnya sambil menjatuhkan tiga biji kacang hijau ke lubang kerucut itu. Begitu semangatnya ia membantu Ayah dan Ibunya hingga tak ada satu pun lubang yang terlewatkan. Ibu menyuruhnya beristirahat sejenak. Namun ia menolaknya dengan halus. “Ibu saja yang istirahat duluan. Tanggung nih Bu tinggal beberapa baris saja.” Katanya menolak. “Ya sudahlah... Ayah dan Ilham mau dibuatkan teh atau kopi? Ini Ibu bawa termos lho...” tanya Ibu pada mereka. Ayah tidak menolak tawaran Ibu. Ia minta dibuatkan kopi panas. Sedangkan anak sulungnya itu menolak. “Aku minum air putih saja nanti, Bu. Aku bawa botol minum kok tadi sudah ku isi penuh.” Jawabnya menolak. “Lihatlah anak sulung kita, Yah. Dia semangat sekali membantu kita. Tapi Ibu merasa aneh. Belakangan ini dia sering sekali ngomongin kejelekan temannya. Si Eva itu lho Yah... Padahal menurut Ibu si Eva itu anaknya baik kok. Sopan dan suka menolong. Ibu jadi heran...” jelas Ibu. “Masa si, Bu? Coba Ibu beri pengertian padanya perlahan.” Jawab Ayah. “Iya Yah.... tadi Ibu juga sudah menasehatinya.” Jawab Ibu.

Tak terasa hari sudah siang. Mereka pun kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, Ilham langsung membersihkan diri dan berwudhu. Anak rajin itu kemudian pergi ke mushola di sebelah rumahnya. Allohu akbar, Allohu akbar.... terdengar lantunan adzan yang amat merdu setelah beberapa menit anak itu keluar dari rumahnya. “Dengar itu Yah... itu suara anak kita kan Yah?” tanya Ibu. “Iya, Bu. Itu suara Ilham, anak kita.” Jawab Ayah sambil mengerutkan alis dan tersenyum. Kemudian mereka bergegas ke mushola untuk Sholat Dzuhur berjama’ah.

Dalam perjalanan pulang dari mushola, Ayah dan Ibu berjalan di antara anak sulungnya itu. “Nak, nilailah seseorang dari sisi baiknya. Karena jika kita memandang kebaikannya, maka kita akan termotivasi untuk berbuat baik juga. Janganlah kamu menjadikan suatu keburukan sikap seseorang untuk mencelanya.” Dengan nada menyejukkan Ayah memberi nasehat. “Iya, Yah. Ilham akan selalu ingat apa yang Ayah katakan.” Jawabnya sambil menatap mata Ayahnya yang penuh kasih. Mereka pun saling bergandengan tangan hingga sampai di rumah.

Hari mulai malam, anak rajin itu belajar hingga jam delapan. Ia selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan baik terutama dalam belajarnya. Tak ingin terbangun kesiangan seperti kemarin, ia pun tak lupa menyetel alarm di meja belajarnya. Ia dikenal oleh teman-teman dan gurunya sebagai anak yang rajin di sekolah. Selain itu, dia terkenal lucu. Tak heran jika banyak teman yang menyukainya. Ia selalu hormat dan patuh pada orang tua dan gurunya. Ia juga taat beribadah dan suka menolong orang lain. Orang tuanya begitu menyayanginya.

Hari sudah pagi. Kabut tebal masih menyelimuti suasana pagi itu. Kriiiing.... suara alarm terdengar dari kamarnya tepat jam setengah lima. Ibu yang sedang asyik di dapur beranjak sejenak menghampiri kamar anak tersebut. “Eh... anak Ibu sudah bangun. Nah, begitu dong Ham... alarmnya cukup satu saja... Ibu jangan kamu sulap jadi alarm ke-dua...” Ibu meledek anak sulungnya. Anak itu pun tersenyum sipu karena malu. Kemudian segera ia membereskan tempat tidurnya yang penuh selimut karena malamnya sangat dingin. Dengan langkah perlahan ia beranjak ke belakang menghampiri batang bambu yang melintang berisi air mengalir yang biasa mereka gunakan untuk berwudhu. Hawa dingin yang ia rasakan tak membuatnya enggan untuk segera membasahi kulitnya dengan air suci itu. Kemudian ia bergegas pergi ke mushola untuk menyuarakan panggilan sholat. Dia memang anak yang rajin beribadah dan selalu menyempatkan diri untuk sholat berjamaah.

Sepulang dari mushola ia segera membantu Ibunya menyapu lantai rumahnya. Kemudian ia segera bersiap-siap mandi, sarapan, dan pergi ke sekolah. Ketika berpamitan dengan orang tuanya, Ibu tiba-tiba membisikkan sesuatu. “Jangan lupa pesan Ayah ya nak... ingat kan?” bisik Ibu. Anak itu menjawab: “Iya, Bu. Ilham ingat pesan Ayah dan Ibu.” Setelah itu ia berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak rumahnya ke sekolah cukup dekat sehingga ia jarang bersepeda ke sekolah.

Bel tanda masuk berbunyi. Anak-anak kelas tiga berbaris di depan kelas dipimpin oleh Ilham, si ketua kelas. Lagi lagi si Eva berbaris di barisan paling depan. Ia pun mendapat lembar soal buletin pagi paling awal. Kemudian ia masuk setelah mendapat lembar soal tersebut dan langsung ia jawab sambil duduk di kursinya, begitu pula teman-temannya. Eva memang anak yang pandai. Ia selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Dua soal buletin pagi Matematika pun ia lahap lima menit dan segera ia kumpulkan di meja Bu Guru. “Kamu sudah selesai Va?” tanya Ilham. “Iya sudah, Ham.” Jawab si Eva dengan nada halus. “Oh iya Va, kamu bawa air minum?” tanyanya kembali. “Ooh bawa nih... kamu mau?” jawab Eva dengan cepat. “Tidak Va, terima kasih. Maaf ya Va, aku mau tanya nih... boleh kan?” tanya Ilham. “Iya boleh...” jawabnya. Ilham pun mulai bertanya dengan nada yang halus dan sedikit bergurau: “Kemarin aku minta air minum sedikit kok tidak boleh si Va? Tumben sekali kamu seperti itu. Biasanya kamu kan dermawan Va... hehehe.” Eva menjawabnya dengan sedikit tersenyum. “Ooh... kemarin itu ya? Maaf ya... kemarin itu saya sedang sakit flu. Takutnya kamu ketularan. Waktu hari Minggu juga belum sembuh jadi tidak ikut Ibudan Ayah ke sawah. Ini sudah baikan, kamu mau minta air minumku?” jelasnya. “Ooh... jadi kemarin itu kamu sakit ya Va? Aku yang minta maaf, Va. Aku sudah suudzon. Ku kira kamu sudah tidak jadi putri dermawan lagi... hehehe...” kata Ilham sambil bergurau. “Iya Ham tidak apa-apa.” Jawab Eva dengan halus. Setelah mendengar penjelasan Eva, hilanglah prasangka buruk di hatinya.

Setelah pelajaran usai, anak-anak kelas tiga bergegas keluar dari kelasnya. Ilham pulang bersama Ryu dan Halin, teman sekelas yang kebetulan berdekatan dengan rumahnya. Dalam perjalanan pulang ia sudah tak sabar ingin bertemu Ibunya. Sesampainya di rumah ia langsung menghampiri Ibu yang sedang mengupas petai cina di teras. “Assalamu’aiakum Bu...” ia mengugucap salam sambil mencium tangan Ibu. Dengan penuh suka cita ia langsung menceritakan tentang alasan Eva yang telah salah ia nilai. Di situlah ia mulai belajar tentang bagaimana menilai orang lain. Ibu pun meyakinkannya dengan menambah nasehat-nasehat yang menyejukkan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post