Masih banyak teman saya yang belum pernah mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya sebagai guru. Alhamdulillaah, sejak tahun 1997 saya bisa merasakannya. Mendapat ilmu, juga yang lainnya. Baik yang berhubungan dengan latar belakang pekerjaan sebagai guru matematika, ataupun yang tidak. Seperti Pelatihan Menulis di Rumah Perubahan Renald Kasali. Dari tingkat Kabupaten sampai Nasional. Dari sebagai peserta sampai sebagai pelatih.

Keikutsertaan saya pada pelatihan tersebut, semuanya atas perintah atasan dan tentu dibiayai oleh pemerintah ataupun lembaga tertentu. Hanya beberapa saja yang pernah saya ikuti atas inisiatif dan biaya sendiri. Diantaranya, pelatihan Parenting dan Enterpreuneur Muslimah. Keduanya saya ikuti karena merasa perlu bagi saya sebagai orangtua, terutama ibu. Karena hobi dagang, saya berharap bisa jadi guru yang pengusaha.

Pelatihan-pelatihan itu keterlaksanaannya ditandai dengan diberikannya sertifikat pada ahir kegiatan. Untuk bukti fisik pengembangan karirnya, ini sangat dibutuhkan. Tapi apalah artinya selembar kertas ini jika pada implementasinya di lapangan sebagai guru tetap tidak dijalankan. Melaksanakan pembelajaran tetap “makar” mawa karep sorangan (semaunya sendiri), tidak melaksanakan apa yang disampaikan pada saat pelatihan, dan tidak menunjukkan pribadi yang meningkat kompetensinya. Padahal keberangkatan seorang guru ke pelatihan seringkali membuat iri guru lain. Kadang di satu sekolah memberangkatkan orang yang itu itu juga, sehingga sering disebut sebagai “guru diklat”. Jadi, kapan ngajarnya. Kalaupun ngajar, bagaimana cara mengajarnya. Sedangkan waktunya banyak terpakai untuk pelatihan, tentu banyak materi tertinggal

Pada akhirnya kembali pada pribadi masing-masin. Untuk kepentingan administrasi, sertifikat sangat diperlukan. Tapi untuk kepentingan professional pembelajaran, implementasi dari ilmu ilmu yang didapat di pelatihan itu juga lebih diperlukan. Bahkan ini jauh lebih penting dari selembar kertas itu.