Cucu Hermawaty Rosyda

Nama Saya Cucu Hermawaty R, SE.,M.Pd, seorang guru Ekonomi di SMAN 2 Cimahi Propinsi Jawa Barat, yang punya hobi bernyanyi, menari, berpuisi, dan travel...

Selengkapnya
Navigasi Web
BIANGLALA MENJERAT ASA (15)

BIANGLALA MENJERAT ASA (15)

#NOVEL

BIANGLALA MENJERAT ASA (15)

Dingin pagi itu menyeruak. Walau bertabur sinar surya namun tetap cuaca dingin pagi itu masih menguasai raga. Sesekali kabut menampakkan keangkuhannya, menghalangi panorama indah suasana pegunungan. Hamparan kebun teh memanjakan mata, suasana desa di daerah Puncak yang selalu dirindu untuk dikunjungi.

Pagi itu Maliza berjalan kaki entah sudah melewati berapa kampung. Lelah pun tak terasa karena disuguhi pemandangan indah. Berbekal alamat di secarik kertas, Dia menyusuri perkampungan yang dihiasi perkebunan teh dan sayuran sayuran segar. Kadang duduk untuk melepaskan penat di bawah pohon rindang ditemani semilir angin yang menghembus wajahnya yang manis.

“Selamat pagi.....bapak..ibu......” Sapa Maliza saat berpapasan dengan para pemetik teh pagi itu.

“Bu...mau numpang tanya, kalo Kampung Haurgeulis masih jauh ga dari sini?” Maliza menyodorkan secarik kertas itu kepada ibu ibu pemetik teh.

“Oh Kampung Haurgeulis masih jauh Neng, kira-kira sa jam deui ti dieu mah” Jawab Salah satu dari mereka menjawab menggunakan bahasa Sunda yang khas.

Sejenak Maliza mengernyitkan dahinya, dia tidak mengerti bahasa yang diucapkan oleh ibu ibu tadi. Namun Maliza bisa menangkap arah dari bahasa tadi.

“Neng harus ngojeg dari sini, tuh di hareup aya tukang ojeg” Si ibu itu menunjukkan tempat mangkalnya tukang ojeg.

“Terimakasih ibu dan bapak, mari saya jalan” Senyum Maliza pun mengembang dari bibirnya.

##

Maliza memutuskan untuk pergi mencari ayahnya, tanpa sepengetahuan ibunya. Setelah mendesak Pa Tatang agar memberikan alamat terakhir ayahnya itu. Maliza pun pergi dengan menggunakan bis menuju kawasan Puncak dari Jakarta.

“Maafkan aku Ibu.....aku pergi tanpa pamit” Pagi itu Maliza pergi setelah ibunya berangkat kerja.

Maliza anak yang manja, meskipun hidupnya dalam kepahitan. Hanya dibesarkan oleh sang ibu tanpa tahu ayahnya siapa dan dimana. Setelah melihat berkas-berkas di lemari ibunya, Maliza bertekad dan begitu besar hasrat untuk bertemu dengan seorang ayahnya. Kini usia Maliza sudah menginjak dewasa. 22 tahun usia yang sudah cukup dewasa.

Walaupun dimanja oleh Herlina ibunya. Namun, sifat anak dan ibu itu tidak ada kecocokan. Keduanya sama sama keras kepala dan selalu ingin mempertahankan pendapatnya karena merasa benar.

Tak jarang juga Maliza dan Herlina sering tak sepaham. Herlina terlalu mem protec Maliza. Dia tidak ingin Maliza tersakiti oleh siapapun, sehingga semua serba dilarang dan tidak boleh kecuali Herlina sendiri yang melihatnya.

“Neng...ini udah di Kampung Haurgeulis” Tukang ojeg menghentikan motornya.

“Oh iya Pa....saya turun disini” Maliza pun turun dari motor ojeg itu dan memberikan helm kepada tukang ojeg.

“Terimakasih ya Pa...” Maliza tersenyum.

“Hati hati ya Neng...kalo ada apa-apa telpon aza ke nomor bapa ini” Tukang ojeg memberikan nomor kontak nya kepada Maliza.

##

Maliza berjalan menyusuri jalanan aspal nan sempit yang sudah rusak. Tinggal kerikil kerikil menghiasi sepanjang jalan kampung itu.

Tak terlihat keramaian khas kampung. Sepi dan kabut pegunungan menyelimuti. Rumah rumah warga pun hanya satu dua dengan jarak yang tak berdekatan. Langkah kaki Maliza terus berjalan dan malihat lihat ke kanan kiri depan belakang mencari orang yang hendak ia tanya.

Bingung bercampur gelisah karena tak seorang pun dia temui di kampung itu. Dari kejauhan terdengar sayup sayup suara mengaji di sebuah mesjid. Maliza pun dengan segera mendekati dan mencari dimana sumber suara tersebut.

“Alhamdulillah... “ Aku menemukan juga mesjid dan orang orang yang sedang melakukan sholat ashar sore itu.

Maliza mengambil air wudhu hendak menunaikan solat ashar di mesjid itu. Berdoa setelahanya berharap bertemu dengan alamat yang dia cari.

“Assalamualaikum pa...” Maliza menghampiri seorang bapak yang sedang membereskan di pekarangan mesjid, setelah beres menunaikan solat ashar.

“Waalaikumsalam” Si bapak pun menjawab

Dengan mengeluarkan secarik kertas berisi alamat itu dia sodorkan dan bertanya kepada bapak tersebut.

“Saya Maliza Pa..dari Jakarta” Maliza memperkenalkan diri

“Pak Burhan saya yang menjaga mesjid ini” Jawab si bapak itu.

“Ohhh ini rumah yang di atas bukit itu, rumah yang besar dan kebunnya pun luas” Pak Burhan menunjuk ke atas jalan.

“Bapak kenal dengan si pemilik rumah?” Tanya Maliza penasaran.

“Kalo kenal ga, cuma dulu yang jagain rumah itu ya warga sini juga” terang Pak Burhan.

##

Motor Supra pun melaju mengantarkan Maliza menuju rumah yang tertera di alamat itu. Setelah melewati kebun kebun warga dan melewati tanjakan tanjakan, akhirnya tibalah di sebuah rumah bergaya arsitektur Belanda bercat putih dengan pagar tinggi, sekilas seperti villa.

“Tengtong....tengtong....” Bel yang menempel di pagar dipijit berkali kali. Wajah Maliza pun terlihat sumringah ingin segera bertemu dengan si pemilik rumah.

##

BERSAMBUNG

CIMAHI, 19 DESEMBER 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aduuh... Pas mau bertemu bersambung... Makin penasaran. Semangat selalu Bu. Semoga tetap sehat. Salam literasi

18 Dec
Balas

Terima kasih pa

19 Dec



search

New Post