Sahabat

(Bagian 4)

Sudah sepuluh menit di ruang tamu, Sri tampak juga batang hidungnya. Ali memandangi kaligrafi dan foto-foto yang ada di ruang tamu. Tetiba paman Sri yang menyambangi Ali. “Sudah lama dek?”, tanya paman. Nanti sebentar lagi Sri pulang. Dia sedang ke rumah bibinya. Tak lama kemudian, Sri datang.

“Assalamualaikum, ada tamu. Kamu sudah lama?”, tanya Sri. “Cukupan, kalau ngopi dua gelas sudah habis ya, paman”. Sri minta maaf, karena baru menemui tamunya. “Tidak apa-apa Sri, saya kan orang baik hati dan tidak sombong”, canda sang ketua kelas. Sri merasa senang punya teman seperti dia. Hatinya berdegub lebih cepat ingin curhat. Mungkin ini teman yang cocok untuk diskusi katanya dalam hati. Pamannya masih menemani keponakannya. Apa yang dibicarakan mereka didengar pihak keluarga. Masalah penggunaan dana kelas agar bendahara membuat laporan.

Pamannya mengatakan kepada Ali bahwa Sri tinggal bersama kakek nenek di rumah ini. Ayahnya sudah menikah lagi. Ibu bekerja di Jakarta untuk membiayai pendidikan empat anaknya. Sri anak pertama. Bila ada keperluan atau belajar bersama datang saja ke sini. “Terima kasih paman”, kata Ali. Ketika mau pamit, Kakek Sri bertanya. “Nak, rumahmu dekat dengan Abu?”, dia adikku. Ya, kiai dekat. Beliau menjadi perangkat desa dan guru ngaji. Sang kakek lebih percaya bahwa Ali anak yang baik. Kemudian Ali pun pamit pulang.

Sri menyerahkan buku laporan yang sudah dikerjakan tadi ketika pulang sekolah. Tanpa dibuka langsung masukkan ke dalam tas. Ternyata di dalam buku tersebut ada amplop berisi surat. Ali hanya membaca laporan yang besok pagi akan disampaikan kepada wali kelas dan teman-teman. Dia tidak berani membuka surat itu.

Rumahku, 11.3.23.385