Damayanti

Guru menjadi luar biasa ketika berhasil mempublikasikan tulisannya. Goresan tinta emas yang terukir sebagai bukti guru tidak pernah berhenti berkarya....

Selengkapnya
Navigasi Web
Hati Sang Bunda (Bagian 2)

Hati Sang Bunda (Bagian 2)

#Tantngan Menulis Hari ke-61

Tidak seperti biasanya. Hari ini Lina bangun lebih awal, sebelum adzan subuh. Lina memanfaatkannya untuk shalat malam. Setelah selesai Lina membuka bukunya. Lina terlihat begitu tekun. Tidak berapa lama terdengar suara adzan subuh berkumandang dari masjid di dekata rumahnya. Lina segera beranjak mengambil air wudhu, lalu melaksanakan shalat subuh.

seperti biasa, setelah shalat subuh Lina menyempatkan diri membantu Bunda di dapur. Bunda sudah memasak untuk Lina sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Bunda meminta Lina untuk segera mandi agar tidak terlambat ke sekolah.

Setelah selesai sarapan, Lina berpamitan kepada Bunda untuk berangkat ke sekolah. Sekolah Lina memang agak jauh. Lina harus berjalan kaki untuk sampai ke jalan raya. Sesampainya di sana Lina akan menunggu Dinda untuk berangkat ke sekolah bersama.

Sesampai di sekolah tanpa disengaja Lina berpapasan dengan Tantri. Lina sempat terkejut. Lina ragu-ragu menyapa Tantri. Tiba-tiba ada rasa tidak suka di hati Lina terhadap Tantri. Ini rupanya orang yang menjadi sainganku. Bisik Lina dalam hati.

"Hai, Lin." Terdengar suara Tantri menyapa Lina.

Apa! Tantri menyapaku. Apa tadi aku salah dengar ya. Lina tidak yakin akan suara yang didengarnya barusan.

"Lina. Mengapa melamun. Ini masih pagi, loh." Tantri kembali menyapa Lina.

"Eh iya. Maaf aku tadi tidak mendengar kamu menyapa," Lina coba mengelak.

"Masih pagi kok sudah melamun," Tantri menyodorkan tangannya mengajak Lina bersalaman.

Dengan ragu-ragu Lina menyambut tangan Tantri. Mereka Bersalaman. Tantri tersenyum. Lina mencoba membalas senyuman Tantri meskipun hatinya agak kesal.

"Maaf, Tantri aku duluan," Lina cepat-cepat masuk ke kelas. Lina langsung meletakkan tas di atas mejanya.

Lina lupa jika sejak tadi Dinda memperhatikan sikapnya. Setelah bersalaman dengan Tantri, Dinda segera menyusul Lina ke kelas. Dinda melihat Lina melamun.

"Hayo. Masih pagi sudah melamun!" suara Dinda membuyarkan lamunan Lina. Lina terlihat kurang bersemangat.

"Lin. Kamu harus tetap semangat. Tantri orangnya baik. tidak seperti yang kamu kira."

"Iya. Din. Mungkin aku yang belum siap ketemu Tantri."

"Begitu baru benar."

"Terima kasih, Din"

Tidak berapa lama terdengar bel masuk berbunyi. Bu Wati, guru kimia mulai mengajar

Secara akademik kemampuan Lina dan Tantri hampir sama. Mereka berdua sama-sama menyukai pelajaran sains. Tidak mengherankan jika mereka berdua selalu diikutsertakan dalam lomba olimpide sains. Keberhasilan mereka berdua memenangkan lomba olimpiade sains sampai tingkat nasional membuat sekolah mereka menjadi sekolah unggulan.

Kebersamaann mereka selama mengikuti karantina saat menjelang lomba olimpiade sains membuat Tantri dan Lina semakin dekat. Lina bisa mengenal Tantri lebih jauh lagi. Benar yang dikatakan Dinda. Tantri sangat baik. Meskipun Tantri sangat pandai dalam bidang sains, Tantri tidak pernah sombong. Dia justru banyak disukai teman-temannya yang kesulitan dalam pelajaran. Ada rasa malu dalam hati Lina yang telah berprasangka buruk terhadap Tantri.

"Lina. Aku Dengar kamu ingin sekali mendapat beasiswa ke Jepang," Tanya Tantri di sela-sela latihan saat karantina olimpiade.

Lina terperangah dari mana Tantri bisa tahu pikir Lina.

"Kamu jangan kaget."

Lina mengangguk. Lina menatap Tantri. Mengapa Tantri berrtanya seperti itu.

"Iya. Tapi sekarang kemungkinannya sangat kecil." suara Lina terdengar lemah.

"Kenapa, Lin?" Tantri ingin tahu.

"Dulu aku yakin, Insya Allah aku bisa mendapatkan beasiswa itu. Sekarang aku merasa tidak yakin akan berhasil. Ada sainganku," Lina menjawab sambil mencoret-coret kertas yang dipegangnya.

"Siapa, Lin?" tanya Tantri penasaran.

"Kamu." suara Lina datar.

"Aku?!" Tantri seperti tidak percaya apa yang dia dengar.

"Mengapa aku, Lin? Bukankah aku siswa baru di sini."

"Iya itu yang aku dengar. Kamu memang pintar Tantri. Kamu juga layak untuk mendapatklan beasiswa itu."

"Lin. Kamu jangan kuatir aku tidak akan memupuskan harapanmu. Aku tidak tidak mungkin bisa mendapatkannya," suara Tantri terdengar ada rasa penyesalan.

"Kenapa, Lin?" Lina ingin tahu.

"Ada nilaiku yang turun di semester dua. Aku tidak memenuhi persyaratan," ungkap Tantri.

"Mengapa bisa begitu, Tantri. Bukankah kamu siswa pintar?"

"Alhamdulillah aku diberi kemudahan dalam setiap pelajaran. Tetapi ada satu hal yang membuatku sempat tidak bersemangat."

Pandangan Tantri menerawang. Seperti ada luka di hatinya.

"Ayah dan ibuku berpisah. Aku ikut ibu. Itu sebabnya aku pindah bersekolah di sini, Lin."

"Kejadian itu saat kamu di semester dua?"

"Ya." Tantri mengangguk.

"Maafkan aku, Tantri. Aku tidak tahu kejadian yang kamu alami. Tapi mengapa kamu mau menceritakan ini kepadaku?" tanya Lina.

"Dinda menceritakannya kepadaku. menurut Dinda, kamu sekarang tidak lagi bersemangat semenjak kehadiranku. Aku dan Dinda sudah lama saling kenal. Kami satu SMP. Itu sebabnya Dinda bercerita kepadaku. Dinda ingin kamu tetap bersemangat." Tantri memegang tanganku.

Aku tertunduk. Rasa malu menyeruak dalam hatiku.

"Terima kasih, Tantri. Dinda betul. Kamu memang baik." Lina tersenyum.

Semenjak itu, Lina dan Tantri bersahabat. Mereka berdua sering belajar bersama. Tantri sering membantu Lina jika ada kesulitan dalam pelajaran.

Tidak terasa saat pengumuman pun tiba. Pak Hendra, kepala sekolah kami memberitahu siswa yang beruntung mendapatkan beasiswa ke Jepang. Pengumuman disampaikan Pak Hendra saat upacara bendera. Terdengar nama Lina yang diucapkan Pak Hendra.

Lina ke depan untuk menerima Surat Keputusan dari sekolah. Wajah Lina berseri-seri menerimanya. Terbayang dalam benaknya wajah sanga bunda.

Sepulang sekolah, Lina langsung menemui bundanya, lalu memeluknya.

"Bunda, aku berhasil mendapatkan beasiswa ke Jepang." suara Lina agak tercekat menahan tangis.

"Alhamdulillah, nak. Usahamu tidak sia-sia. Inilah yang terbaik untukmu. Bunda izinkan Lina untuk ke Jepang, Nak" bunda mengusap rambut Lina. Air mata mengalir dari pipinya yang halus.

"Terima kasih Bunda. Bunda yang selalu mendoakan keberhasilan Lina. Bunda juga yang menjadi penyemangat Lina."

"Iya, nak. Jika ayah masih ada. Ayah pasti senang." Bunda teringat ayah.

"Bunda jangan menangis, ada Lina untuk Bunda."

"Lina harapan Bunda satu-satunya. Hati Bunda untuk Lina. Bunda akan berusaha lebih cepat menyelesaikan jahitan supaya bisa mendapatkan uang untuk bekal Lina ke Jepang"

Bunda dan Lina sama-sama tersenyum. Raut kebahagiaan terpancar dari wajah mereka

SELESAI

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post