Pemuda itu berdiri menopang dagu dan kepala yang mulai memberat, seperti terjebak dalam kesadaran bahwa ia ada di hutan mikrokosmos, sesekali ia terpesona oleh kamboja malam, Orion, atau terkesima oleh gemericik musik Bimasakti sebagaimana Anaximenes dan Anaximandes murid Plato terkesima oleh idea-idea ttg semesta yang bermula air. Kakinya menginjak milyaran bakteria tanah, ia pegangi perutnya yg jika dilihat sebagai arloji transparan, ia akan melihat proses pembuatan tinja tak berbau.dengan pikiran penuh ia berdiri, dan bertanya lagi, pratamaku mana?pemuda itu bertanya lagi, seberapa religius ia? lalu apa tujuannya? hendak kemana ia? apa yg ia cari? apa yg ia percayai? Tuhan atau tuhan yg mana? atau ia hanya “percaya pada sebuah keyakinan”atau jangan2 Agama yg dianutnya cuma “warisan” dari orangtua yg membesarkannya?sembahyangnya hanya ritus yg diulang2 tanpa nafas, nunggang-nungging tak bernyawa, bukan seperti organisme hidup, tidak sedikitpun menyertakan secuil kesadaran akan keterpesonaan tak terbatas pada struktur ajaib yang Ghaib?atau jangan2? ah..seketika ia terhenyak teringat oleh sabda mulia Kanjeng Nabi Muhammad SAW: “bertafakur sesaat lebih baik drpd beribadah setahun.”Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad.

“Akalku selama ini kemana? yg bahkan untuk menyadari eksistensinya pun tak sanggup karena kerepotan oleh urusan diluar rasio dan akal budi?semoga kepalaku tak cuma jadi hiasaan.”

ditutupnya pergulatan panjang itu dg do’a dan harapan semoga esok ia tak gagal lagi menjadi manusia.

manusia seutuhnya, dengan akal, yang-Sublim-Libidinal-Labirin–Antah-Berantah-Immaterial.