Dede Heri Pramono

Hanya seorang pembelajar menulis. Sangat berambisi untuk tidak memiliki ambisi. Jika ada yang manfaat dari tulisan yang diposting, ambilah. Jika tidak ada yang ...

Selengkapnya
Navigasi Web

AKTIVIS, AKADEMIS ATAU ORGANISATORIS? KETIGANYA TIDAK BAIK, JIKA

Kampus memang sarangnya pikiran. Segala jenis argumen ada di dalamnya. Mereka yang kuliah, berbeda tujuannya. Beda tujuan melahirkan beda kegiatan. Ada yang jadi aktivitis yang selalu turun ke jalan, mendatangi dan melobi para tokoh untuk sebuah perubahan. Ada yang jadi organisatoris, jadi humas kampus. Ikut himpunan dan belajar organisasi. Terakhir, ada pula yang jadi akademis. Buku serta perpustakaan menjadi ruang akrabnya. Diskusi dengan dosen selalu berbicara riset dan penelitian. Mungkinkah mahasiswa memiliki ketiganya? Jawabannya bisa iya, bisa pula tidak. Iya kalau memang mau. Tidak, jika masih mengedepankan ego. Begini. Soal tujuan, motivasi atau niat orang kuliah, itu ranahnya privat. Meski kampusnya sama, fakultasnya sama dan dosennya sama pula, tujuan mereka duduk di bangku kuliah bisa berbeda. Namun meski tujuannya berbeda, bukan berarti menerima begitu saja tentang “cara mahasiswa” mengisi perkuliahannya. Perihal tujuan, itu urusan dirinya dengan tuhannya. Tapi karena lingkupnya kampus, sikap sosial dia di dunia kampus memiliki potensi untuk dikritiki. Pertama, soal aktivis. Frasa yang melekat di aktivitis yaitu “dikit-dikit demo”. Jalanan sudah menjadi ruang kuliah baru. Terik panas matahari dan dahaga sudah menjadi temannya. Menunggu berjam-jam tokoh yang ingin ditemuinya sudah jadi lahapannya. Kadang suara mereka dihiraukan. Meski dihiraukan, banyak jalan untuk menuju roma. Aktivis akan memiliki banyak cara untuk bisa menyuarakan aspirasinya. Kemudian yang kedua soal organisatoris. Kata ‘Rapat’ identik dengan mereka. Kalau mahasiswa yang asal kuliah punya jargon ‘kupu-kupu’ alias ‘kuliah-pulang kuliah-pulang’, mereka yang jadi organisatoris punya jargon ‘kura-kura’ alias ‘kuliah-rapat kuliah-rapat’. Proposal, program kerja dan birokrasi sudah melekat di kepala mereka. Biasanya program kerjanya seputar jurusan yang mereka ambil, atau ciri khas dari kampus. Lalu yang terakhir adalah akademis. Kalau ini bermesranya dengan buku, perpustakaan, dan jurnal-jurnal penelitian. Biasanya gaya bicaranya selalu menggunakan diksi-diksi ilmiah. Soal laporan penelitian, laporan kegiatan, dan makalah selalu ingin sistematis dan berbau “akademis”. Sangat anti dengan prinsip asal jadi, asal beres atau yang penting selesai. Di kelas biasanya sering bertanya, sering memaparkan pendapat, sering berdialektika. Baik aktivis, organisatoris dan akademis yang sudah disampaikan di atas, hanya seputar kulitnya saja yang terlihat. Tulisan ini bukan mendisklaim mana yang terbaik dan memojokan yang lainnya. Lalu yang dibahas? Sudah, jangan banyak tanya, lanjut saja bacanya. Pertama, kita bicara dulu soal idealnya mahasiswa itu harus dan seperti apa. Mencari ilmu memang bisa dimana saja. Hakikatnya mereka yang kuliah adalah bentuk pemanfaatan atas sarana untuk mempelajari ilmu. Sarana itulah kampus. Soal mau jadi apa, orientasinya apa itu silakan. Namun idealnya mahasiswa adalah ‘mencari ilmu’ Seorang aktivis bisa mengklaim bahwa ilmu yang hakiki adalah ilmu yang dijalanan. Ilmu yang tidak terdapat di skripsi atau kelas. Ilmu yang hanya bisa diakses oleh pengalaman. Berdialog dengan para aktivis lainnya, para pedagang yang mereka temui, para tokoh yang punya wewenang dalam memperngaruhi, banyak ilmu yang didapatkan. Bagi mereka, nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan lah yang harus diperjuangkan. Mahasiswa harus jadi garda terdepan dalam menyuarakan keadilan. Mahasiswa jangan hanya tahu Mobile Legend atau Free Fire saja. Harus ada pengalaman turun ke jalan, mendengar suara-suara keluahan kehidupan yang sulit tersampaikan karena merasa tidak memiliki otoritas apa-apa. Lain aktivis, lain pula organisatoris. Dalihnya, hidup itu harus punya relasi dan belajar berorganisasi. Buat apa pintar kalau ga ada relasi? Buat apa pintar kalau cuman sendiri? Buat apa pintar kalau ga ngerti organisasi? Bukankah hidup di masyarakat itu it kita bersosial, bercengkrama dan bergaul? Bukankah dunia kerja juga perlu pengorganisasian yang baik? Soal waktu, perencanaan, mengatur jadwal adalah hal-hal yang jadi dasar dalam bekerja. Mahasiswa ya jangan hanya jago baca buku. Buku cukup selesai di baca dan didiskusikan di kelas dan direview di kosan. Sisanya, ya belajar organisasi dengan ikut himpunan atau jadi BEM. Dengan ikut himpunan dan BEM, bisa mengenal rekan dari jurusan lain, belajar diskusi di luar ilmiah, belajar saling menghargai. Begitulah kurang lebih suara organisatoris. Bagaimana si akademis? Lho, tujuan kuliah itu apa sih? Tujuan kuliah itu ya kuliah itu sendiri. Jurusan yang sedang di ambil itulah yang harus diseriusi. Soal mengaplikasikan ilmu, ya nanti setelah lulus. Bukankah saat kuliah ya saat itu “masih belajar”? Namanya masih belajar ya jangan dulu berbicara soal aplikasi ilmu dong. Harusnya mahasiswa itu yang bisa melahirkan diskursus publik. Harus tahu apa sih yang jadi viral di dunia akademis. Jangan tahunya trending apa di yutub. Mahasiswa ya harus akrab dengan riset-riset ilmiah. Harusnya soal makalah, laporan penelitian bahkan skripsi sekali pun ya jangan asal selesai dong. Kita harus bisa memberikan kontribusi untuk keadaan. Jihadnya orang yang kaya, ya dengan uang. Jihadnya pemimpin, ya dengan tanda tangan kebijakan. Jihadnya mahasiwa, ya dengan pemikirannya yang kritis, empiris, ilmiah dan rasional dong. Terlihat ketiganya punya modus berpikir sendiri-sendiri. Menabrakan ketiganya hanyalah sia-sia belaka. Lagi, semua kembali ke orientasinya kuliah itu untuk apa. Mau jadi aktivis, akademis atau organisatoris, ketiganya tidak baik, jika tidak tahu alasannya apa. Asal ikut dan mengisi kegiatannya saja. Alhasil ya hanya jadi robot belaka. Dia tidak tahu untuk apa dia melakukan itu semua. Sebahaya-bahayanya prinsip, adalah mereka yang melakukan sesuatu tapi tidak tahu itu untuk apa. Silakan punya prinsip dan alasan. Mau itu idealis, pragmatis, eksistensialis atau esensialis ya silakan. Yang penting ada alasan di balik itu semua. Mau jadi aktivis, akademis atau organisatoris, ketiganya tidak baik, jika mengabaikan ibadah. Rapat sampai malam tapi lupa shalat? Baca buku seharian tapi ngga sholat? Demo saat ramadhan tapi ngga puasa? Soal ibadah spiritual itu hak mutlak, tidak bisa diganggu. Ikhtiar dan niat juga harus diimbangi dengan doa. Manusia itu lemah tanpa intervensi dari tuhan. Jangan sampai jadi akademis yang kenal buku, kenal penelitian tapi tidak kenal masyarakat. Jangan sampai jadi organisatoris yang hanya kenal orang-orang penting saja tapi tidak kenal mereka yang di bawah. Jadi aktivis juga jangan sampai melupakan untuk menyampaikan ilmu dalam bahasa yang sederhana kepada masyarakat bawah. Ingat, engkau kuliah, engkau akan menyandang gelar. Ilmu yang engkau dapatkan akan ada pertanggungjawabannya.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantul salam kenal

05 Jul
Balas

salam kenal ibu. Terimakasih apresiasinya

05 Jul

Mantap sekali tulisannya pak, salam literasi.

05 Jul
Balas

Salam literasi pak. Terimakasih apresiasinya

05 Jul



search

New Post