Dedi irwan

Alumni Sagusabuku Media Guru, Siak 2018. Penikmat literasi sastra , mencari hidup di Pangkalan Kerinci, Kab Pelalawan Riau...

Selengkapnya
Navigasi Web

Anak Ayah

Anak Ayah

Karya : Dedi Irwan

Ketika aku menceritakan kisah ini, engkau tidak mendapatkan lagi orang tua berambut putih dengan tawa renyahnya bersamaku disebuah kedai kopi yang selalu bercerita panjang dari ba’da ashar sampai menjelang maghrib. Muka yang tirus itu akan tertawa terkekeh – kekeh menampakan giginya yang berbaris tidak rapi seperti tentara kalah perang. Menertawakan banyolan banyolan yang ia lontarkan sendiri. Dua cangkir kopi dan singkong goreng menemani tubuh tua itu bercengkerama.

Ketika aku beriwayat kisah ini tidak engkau temukan lagi wajah yang penuh welas asih menatapku berbinar binar. Bibir yang selalu tersungging senyum berceloteh tentang masa kecil kanak kanak ku bersama ibu. Kenakalan anak - anaknya dan harapan – harapan mendatang. Berat rasanya aku menceritakan dimana aku bukanlah pemeran utamanya. Tapi dari sinilah bermula cerita bahwa Surga bukanlah untukku.

=====

“Kakek datang, kakek datang !” teriak dua bocah laki bulat gempal, kira kira berumur 5 tahun keluar dari dalam kamar menyongsong wajah tirus yang tergopoh gopoh menjinjing tas dan plastik makanan. Mereka bergelayutan di tangan sepuh itu berayun ayun membuat sang kakek kewalahan dengan barang bawaannya.

Bocah bocah itu akhirnya turun bersiluncur. Tangan gempal mereka mengusai plastik besar bawaan kakek. Tetapi dengan sigap tubuh renta itu menggendong kedua cucu dengan tanggannya yang mulai mengeriput,”Ahhai,, cucu kakek sudah besar,” teriaknya.

“Ayo kek!....main kuda kudaan,” anak pra sekolah SD itu turun dari gendongan dan berusaha memanjat punggungnya.

“Eitss ,,kakek baru datang capek,” teriakku melarang si bungsu. Bocah kembar itu akhirnya berlari dengan riang setelah mendapatkan beberapa batang coklat. Aku menyongsong wajah tua itu dengan sebuah pelukan, “Sehat ayah ?”

“Mana Ibumu ? ”

“Ibu ?”

=========

Sudah dua minggu ayah tinggal bersamaku. Orang tua itu selalu disibukan dengan tingkah cucunya kembarnya dan anak gadisku. Senang hatinya anak anak tidak terkira ketika orang tua itu saban malam membawakan panganan kesukaan dan membawa mereka jalan jalan di seputaran komplek perumahan.

Namun ada sesuatu hal yang membuatku resah. Entah kenapa semenjak ayah datang istriku berubah. Ada ada saja masalah keluarga yang menurutku sederhana tetapi terlalu di besar besarkan sehingga terjadi perang mulut denganku juga dengan anak – anak. Hanya karena urusan remeh temeh; piring yang belum di cuci bibik, halaman yang belum disapu dan Susan anak gadisku yang belum mengerjakan PR. Suara nya nyaring berteriak kemana mana membuat gendang telingaku acapkali error ketika dia merepet.

Ibunya anak anak itu berperawakan sedikit gemuk, ciri khas nya orang baru menikmati hidup, menggelembung dengan suburnya. Pipinya bulat merah seperti balon ditiup bocah TK, meleyot. Sebatang hidung mancung bertengger dibawah matanya yang bulat tetapi terlalu besar buat anak anak ketika amarahnya sudah memuncak. Bulu mata anti badai bertengger menerjang diiringi dengan alis mata bak semut berebut gula, jarang – jarang. Cantik tapi nyinyir.

Hampir 10 tahun aku menikah dengannya. Kami bekerja keras siang malam bertungkus lumus. Dan hasilnya bisa kunikmati sekarang. Aku bekerja di sebuah perbankan Nasional sedangkan isriku menjabat direktris Asuransi Jiwa. Sebuah rumah indah bertingkat, beberapa buah mobil dan pembantu yang siap melayani kebutuhan. Ya rasanya sempurna sudah hidupku. Tetapi sekarang wajah wanita itu sering buram mengerinyut seperti jeruk purut. Tentunya aku bingung melihat perubahan istriku. Apa penyebabnya?. Apakah ada hubungan dengan kehadiran ayah?. Pikiran itu cepat ku tepis. Syu’uzon dengan istri sendiri dosa .

Tidak dapat aku pungkiri prahara itu datang ketika ibu berpulang. Ayah mengalami krisis mental. Orang tua itu mungkin merasa kesunyian ditinggal oleh sesosok wanita arif yang menemani hidupnya hampir 30 tahun. Apa tah lagi anak – anak beliau yang jauh merantau. Tubuhnya mulai drop dan sakit – sakitan. Acap kali ia menelepon menanyakan kabar cucu cucunya atau apa saja tentang almarhum ibu.

Suatu waktu Pak Iman, orang tua yang membantu dan menemani ayah di kampung menelpon dan memberitahuku tentang perkembangan ayah. Dia sering mengigau, berteriak di tengah malam katanya. Setelah di check oleh Dokter ternyata ayah mengidap penyakit psikis ‘Bipolar’. Gangguan psikis naik turunnya mood ( perasaan ) secara drastis. Di awal penderita merasa tertekan , kesedihan yang mendalam , putus asa dan menutup diri dengan lingkungan. Memasuki fase maniak kegembiraannya akan melonjak lonjak dengan antusias berlebihan.

Nama ibu, hanya nama itu saja yang ia sebutkan berulang ulang meskipun sudah setahun ibu berpulang. Inilah yang membuat aku risau dan cemas. Setiap kali berkonsultasi dengan dokter, jawabannya hanya sederhana, Senangkan hatinya. Jawaban itu tidaklah sesederhana yang aku bayangkan apatah lagi bertambah runyam dengan tingkah laku istriku yang aneh. Entah dia malu melihat kelakuan ayah atau otak akalnya berubah.

Dan ternyata benar apa yang aku sangkakan, di hari Minggu ketika kami duduk santai bercengkerama di teras rumah.

“Bang, hampir dua minggu ayah tinggal bersama kita.”

“Memangnya kenapa ?”, tanyaku sambil menyeruput kopi masih terasa panas.

Istriku hanya diam, rona wajahnya langsung berubah merah. Tatap matanya mendelik dengan alis mata terangkat.

“Aku kasihan melihat ayah !”, jawabnya. “Semenjak kematian ibu, ayah seperti orang linglung, berjalan hilir mudik entah apa yang dilakukannya. Kadang ia berbicara sendiri.”

“Tidak lah seperti itu,” balasku. “Kenangan dirumah bersama ibu masih membekas dihatinya. Ini lah yang sering membuat dia terlupa.” Air kopiku langsung dingin mendengar celotehnya.

“Ayahpun sering pergi sendiri , tanpa pamit !” alasannya lagi.

“Aku tahu , karena itu ayah kubawa kemari tinggal bersama kita biar ada yang mengawasi” aku naik tensi. Kulihat wajah istriku semakin memerah. Dia nampak gusar.

“ Siapa yang mengawasi ?”

“ Kita minta mbah Parmin.“

“ Aku tidak mau.”

Berat sebenarnya bagi Haji Rusdi untuk tinggal bersama anaknya, Andi di Jakarta. Ada bude Parmin yang membantunya masak, pak Iman menemaninya mencangkul di kebun kecil dan rumah tua peninggalannya bersama Marni, ibuku. Terngiang ingatannya akan kisah lalu ketika bersama wanita itu. Pagi buta ia sudah bangun bersiap –siap berangkat ke mushala untuk menunaikan shalat shubuh. Segelas kopi panas dan panganan ubi goreng kesukaannya disiapkan ibu sepulangnya dari mushala. Wanita itu dengan setia menemaninya bercengkerama bercerita apa saja. Tentang anak bude Parmin yang minggat dari kampung menjadi TKW, Pak Iman ingin menunaikan ibadah haji, sampai dengan tukang sayur komplek yang pusing melihat ibu – ibu ngutang. Ia sering tertawa terkekeh – kekeh mendengar celoteh istrinya.

Menjelang cahaya matahari berpendar lebih terang ia dan istrinya kembali beraktifitas berjalan jalan menghirup udara segar di seputaran komplek. Inilah aktifitas yang dilakukannya sehari sehari memasuki purna bakti sebagai pegawai di Dinas Pendidikan.

Waktu beranjak, masapun berganti menggilas zaman. Anak anak satu persatu beranjak besar, mereka memilih hidupnya , menikah dan merantau satu persatu. Andi di Jakarta, Bobby bekerja di Semarang dan si bungsu Rina di kota Medan. Mereka telah menjadi anak anak yang sukses. Anugerah terbesar yang di berikan Allah kepadanya.

Harapanya tidaklah muluk - muluk kepada mereka. Dia tidak pernah mengharapkan kiriman anaknya baju koko, kain sarung ataupun uang sangu di hari lebaran. Hanya satu permintaannya kepada Allah, Marni jangan pergi. Biarlah dia dahulu menghadap Rabb. Namun Allah berkehendak lain. Wajah welas asih itu pergi meninggalkannya ketika cintanya semakin dalam di usia tua. Wanita yang selalu membangunkannya shalat, menggoreng sambal lado bersama, bercerita dan bernostalgia tentang kisah anak masih kecil dulu berpulang kena serangan jantung. Inilah tangisan pertama dan terakhirnya di gundukan tanah merah. Bayang – bayang wanita itu selalu hadir dalam kehidupan malamnya, merangkai cerita dalam kisah baru, membawanya kedalam kehidupan yang tidak berujung bahwa sebenarnya wanita itu belum mati.

“Ayah tinggal bersama Andi di Jakarta,” bujuk ku.“Ayah bisa pulang kapan ayah mau .”

Ayah menatapku dengan perasaan cemas, “Rumah, kebun cabe ayah, mushala ?.Siapa yang menyiapkan masakan untuk ibumu ?”

‘Astagfirullah!, aku mengucap dalam hati, ayah tidak sadar apa yang di ucapkannya, “Ibu sudah pergi Ayah ! ”.

“Kemana ibumu?. Pagi tadi ayah sudah menyiapkan sambal goreng belacan dengan pepes ikan mas kesukaannya.”

Kutatap mata ayah lekat. Ini kah ayahku yang dulu memakai seragam Korpri gagahnya menenteng tas kantor, sekarang loyo dan kuyu?. Aku sungguh berdosa membiarkannya hidup seperti ini.

“Ayah , ayo kita shalat zuhur dulu.”

=====

“Bang , tadi sore pak Safri mengantarkan ayah ke rumah,” istriku membuka pembicaaraan diruang tamu selepasa isya.

“Lha, memang ayah kemana?”, tanyaku.

“Pak Safri menemukan ayah sedang duduk di pekuburan kota .”

. “Astagfirullah,!”, aku mengucap.

“Apa rencana kita bang ?”

“Rencana apa lagi ?” ,tanyaku sedikit marah

“Ayah susah untuk di atur...!”.

Wajahku merah padam, ”Apa katamu ?”

“Abang tahu, kita berangkat kerja dari pagi hingga menjelang maghrib sedangkan anak anak pulang sudah sore. Dengan siapa ayah berteman.” Istriku memberi alasan.

“Ada mbok Surti, ada mbah Parmin , mereka bisa menemani ayah.”

Istriku seketika berdiri, di buka nya pintu kamar anak-anak, “Dengarkan bang”, Istriku ku memanggil sambil berbisik. “Anak anak susah tidur, ayah mulai mengigau.”

“Kita pindahkan anak anak di kamar mbok Surti”.

“ Itu bukan jawaban bang , istriku dengan ketus menjawab.

‘Mau mu apa ?”

“ Kita pindahkan ayah ke Panti Jompo”

Bantingan meja dan hentakan kursi mengakhiri cerita istriku. Dia berlari masuk kamar sambil menangis. Dan inilah membuat Haji Rusdi terbangun dari tidurnya . Lamat lamat dia mendengar suara tangisan di sebelah kamar , menantunya.

“Kita mencari yang terbaik buat ayah. Disana ayah akan berobat lebih intens dan ada yang mengawasi.”

“ Baiklah.”

“Besok pagi kita antarkan ayah ?”

Haji Rusdi terkesima mendengar bisik bisik anak dengan menantunya. Apakah ini mimpi buruk batinya bertanya. Dikucek matanya, ternyata benarnya adanya. Dia memeluk erat kedua cucuya dengan kasih. Dari sudut matanya mengalir air mata kerinduan dengan segera diusapnya.‘ Aku rindu padamu Marni , bisiknya hatinya. Lantas tangannya bergetar hebat , bergegas ia menyusun pakaian – pakaian kedalam tas kopor. Menjelang tengah malam dengan mengendap endap ia keluar kamar dan membuka kunci pintu utama. Laki laki tua itu hilang di pekatnya malam.

========

Rumah itu seperti bangsal rumah sakit. Berlorong lorong dengan beberapa kamar yang saling berhadapan. Didepan pintu kamar berderet bangku panjang untuk duduk. Beberapa wajah reot duduk dibangku dengan aktifitas bermacam rupa. Ada yang saling bercerita dengan koleganya ada pula yang duduk sendiri termenung. Mata mata lamur itu menatap kami dengan tatapan yang sulit untuk ditebak. Sesuatu yang terpendam dan itu luka. Aku berusaha melempar senyum tetapi tidak dibalas. Ayah membimbing erat tanganku menyelusuri lorong yang terasa sesak dan sempit itu.

“Ayah kita mau kemana lagi ?” tanya ku tidak sabar sambil mengikuti langkah kaki ayah yang panjang.

“Sabar nak,” jawab ayah memperhatikan beberapa orang tua yang duduk dibangku. Mata ayah jeli kian kemari menyelidik.

“Ayah mau mencari siapa?”, tanya ku lagi.

Pertanyaanku tidak di jawabnya. Ayah malah berteriak senang, “Kakek !!” teriaknya. Seorang laki laki tua duduk di pojok bangku panjang sendiri. Tubuh yang ringkih itu terperanjat kaget ketika dipeluk ayah dengan erat. Aku hanya terpegun melongo di samping. Ayah sangat antusias bercerita panjang lebar dengan ceria. Lama mereka berbual dan akhirnya plastik besar yang berisi makanan yang ayah tenteng dan bederapa lembar uang kertas berpindah sudah di sakunya.

“Ayo kita pulang!”, ajak ayah kembali menarik tanganku kembali menyelusuri lorong rumah yang ku anggap rumah aneh. Rumah yang tidak ada anaknya itu. Dalam perjalan pulang rasa penasaranku tidak terbendung lagi.

“Kakek tua itu siapa yah ? , itu bukan kakek kita ?”, tanyaku penasaran .

“Bukan,” jawab ayah pendek .

“Lalu siapa ?”

“Ayah menemukannya.”

“ Lho ? dimana ?”

“Setiap bulan ayah menemukan orang yang berbeda untuk ayah santuni di rumah tadi.”

“Ooo,” Itu rumah apa, yah ?”

Ayah hanya diam sepeda motor di gasnya agak kencang. Aku memeluk pinggang ayah kuat. Angin sore berhembus melambai lambai.

“Kamu lihat Andi, lihat lah katanya. Wajah wajah tua itu menatapmu dengan penuh harap. Ya penuh dengan pengharapan. Apakah ada keluarganya datang dan membawanya pulang ?”

“Membawanya pulang ?”, aku tidak mengerti apa yang ayah maksudkan. Aku berusaha mencerna didalam pikiran kecilku lalu otakku kembali menuai dalam sebuah pertanyaan, “Mengapa orang tua itu tinggal di situ ayah?”

Ayah melambatkan gas sepeda motornya. Wajah paruh baya itu hanya hening.

“Aku berjanji tidak akan membawa ayah ketempat ini”, hanya itu yang aku katakan.

“Janji ?”

“Ya.”

Dengan seketika ayah memberhentikan sepeda motornya di pinggir jalan. Tubuh mungilku diangkatya tinggi ke udara, “Anaaaaak ayaaaah, !!”teriaknya.

Semangat pagi peserta Sagusabu

Siak, 29 Juli 2018

Sukses untuk guru

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post