Desi Oktoriana

Menyukai tulis-menulis sejak di bangku SD. Namun, baru beberapa tahun terakhir dikembangkan lebih jauh. Saat ini menetap di Bandung berprofesi sebagai gu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Catatan di Balik Tirai Hitam
https://unsplash.com/photos/

Catatan di Balik Tirai Hitam

Tabir hitam pekat yang menutupi kamar Juhari amat tak lazim. Entah sengaja atau memang pasrah dengan pilihan warna gorden dari sang istri yang baru saja dinikahi olehnya, tiga bulan lalu, Juhari tak protes.

Marnisah gadis cantik dan pendiam, seharusnya sudah sejak lama Juhari mengenal sikap istrinya yang memang banyak keanehan. Sayangnya kesempatan itu justru ia lewatkan begitu saja karena Marnisah sangat pendiam dan sukar ditemui padahal mereka bertetangga. Bila para wanita umumnya ingin terlihat cantik memakai baju dengan pilihan warna-warna yang menarik berbeda dengan Marnisah hanya hitam dan hitam.

Marnisah suka sekali mengenakan seluruh pakaian berwarna hitam bahkan hingga pakaian dalamnya. Pada mulanya Juhari tak memerhatikan betul keanehan ini tetapi, setelah tiga bulan menyelidiki kebiasaan Marnisah barulah Juhari sadar ada banyak hal yang janggal lebih tepat kegilaan yang tinggi terhadap warna hitam.

Juhari ingat betul saat pertama kali Marnisah mengganti sprei lama di kamarnya dengan warna hitam. Pembicaraan serius yang mengungkap alasan Marni menyukai warna hitam sempat muncul. Percakapan yang terjadi saat baru empat hari menikah.

“Dik Marni, apa tidak terlampau gelap warna kamar kita kalau memakai sprei hitam itu,” ujar Juhari perlahan agar istrinya tidak tersinggung.

“Memang pasti tambah gelap Kang, itu justru yang saya cari,” tukas Marnisah tegas.

“Loh, kok? Dik Marni cari apa memang?” tanya Juhari keheranan.

“Saya mencari aroma kehidupan alam kubur Kang,” timpal Marnisah serius.

Dug! Jantung Juhari berdegup kencang saat mendengar penjelasan istrinya, mulutnya refleks komat-kamit melafalkan istighfar dan segera saja bertanya kembali.

“Waduh, kenapa? Apakah kehadiran Akang membuat Adik berduka hingga harus mengingat kematian sesegera itu?”

Senyum istrinya mengembang nampak cantik sekali apalagi wajah putihnya nampak sedikit memerah.

“Bukan, bukan itu!” sergah Manisah.

“Lalu apa?” timpal Juhari penasaran atas lanjutan perkataan istrinya.

Sejenak Marnisah terdiam, mimiknya kembali serius. Matanya menatap langit-langit kamar lalu menatap Juhari bergantian selama beberapa menit. Sepertinya mulut Marnisah tertahan oleh sesuatu hal yang berat sekali hingga sulit berkata-kata.

“Sebaiknya kita sudahi dulu percakapan tentang ini, Marni berharap Akang sedikit bersabar dan mengizinkan Marni mengikuti kata hati,” pinta Marnisah dengan nada sungguh-sungguh.

Tanpa menunggu lama Juhari mengangukkan kepalanya dan memeluk Marnisah lembut. Sprei berwarna hitam yang rapi kemudian nampak kusut saat mereka berdua tenggelam dalam pergumulan.

Lamunan Juhari terhenti karena ketukan halus di pintu depan. Ia bergegas membuka pintu dan mendapati Ketua RT, Pak Sobanda yang tampak terburu-buru memberikan surat undangan pertemuan di kantor Kelurahan Sadang Serang. Harus menerapkan tiga M tegas Pak Sobanda sembari menunjukkan gerakan mengenakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.

Setelah menjawab salam Juhari lantas bertanya,”kenapa terburu-buru Pak RT? Mampir dululah sebentar,” ujarnya penuh harap.

Sobanda sebenarnya enggan menerima undangan Juhari karena ada urusan lain akan tetapi rasa penasaran telah membuatnya tanpa sadar menganggukkan kepala dan melangkah masuk menuju ruangan tamu Juhari yang serba hitam. Sobanda penasaran apa benar kasak-kusuk warga tentang perubahan mencolok yang terjadi atas Juhari setelah menikah dengan Marnisah.

Sobanda sekilas mengamati keadaan rumah salah satu warganya, lantai keramik dan dinding berwarna putih amat kontras dengan sofa dan gorden berwarna hitam, tirai yang melapisi jendela dan pintu juga berwarna sama. Meja kaca pun berlapis kain tipis hitam polos.

Sebelum Sobanda duduk ia mengapitkan kedua tangan tanda perhormatan pada Juhari yang bertindak sama dan penuh takzim. Wajah Juhari di mata Sobanda nampak jauh lebih bersinar dari saat terakhir kali bertemu. Juhari memangkas kumis tipis yang biasanya bertengger di atas bibirnya yang agak kemerahan. Kini jenggot Juhari sudah mulai panjang tetapi tampak lebat dan rapi menutupi dagu yang bersambung dengan jambang yang juga terlihat lebat dan rapi.

Pakaian serba hitam yang dikenakan Juhari membuat wajah dan kulit tangannya nampak semakin putih. Keseluruhan penampilan Juhari di mata Sobanda malah jauh lebih resik dan berwibawa. Apalagi senyum manis itu, melekat erat di bibirnya.

Sobanda merasakan aura rumah yang serba hitam justru terasa menenangkan dan membuat hatinya damai. Sejurus, Juhari meminta izin untuk bicara dengan istrinya agar mau berbincang dengan mereka. Sobanda pun mengiyakan. Ia ingin juga bertemu dengan istri Juhari, mengenal Marnisah sejak kecil tapi belum pernah sekalipun berbincang-bincang. Menurut Sobanda, Marnisah gadis cantik yang berperangai tenang dan jauh lebih dewasa dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.

Juhari muncul di balik tirai hitam diikuti sang istri yang membawa nampan hitam berisi minuman teh hangat dalam tiga cangkir berwarna hitam pula. Penganan berupa bolu ketan hitam tertata rapi di atas piring ceper berwarna hitam. Sembari mempersilakan tamunya mencicipi bolu buatan Marnisah, Juhari bertanya banyak hal soal keadaan Sobanda.

Juhari memerhatikan setiap ucapan ketua RT dengan seksama begitu juga Marnisah. Barulah mereka tahu keadaan Pak RT jauh lebih rumit dan penuh kesulitan karena masa pandemi virus Corona sudah berjalan lebih dari setahun lamanya.

Keduanya larut dalam kisah sedih yang diungkap Sobanda sejelas-jelasnya. Tentang kehilangan dua dari lima anaknya, cucu, saudara dekat dan juga pekerjaannya di sebuah perusahaan. Sobanda juga mengungkapkan kepedihannya saat tak bisa membantu warga mengentaskan segala kesulitan yang ada.

Perasaan Sobanda begitu ringan selepas bercerita banyak hal. Ia bahkan lupa hendak menyelidiki rumor yang beredar di sekitar tentang Marnisah dan Juhari. Ia harus segera pamit setelah menjawab telepon dari istrinya yang memberitahukan anak bungsu mereka yang terbaring sakit harus segera dibawa ke dokter karena kejang-kejang.

Juhari dengan sigap berdiri dan mengantarkan Sobanda ke pintu depan.

“Ini kue buatan Marni, bawalah untuk anak-anak,” ujar Juhari sembari meletakkan bungkusan berisi beberapa potong kue di tangan Pak RT.

Sobanda tak kuasa menolak bahkan sekedar berbasa-basi. Setiap perkataan dari mulut Juhari dan Marnisah terasa begitu tulus. Juhari bahkan menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan untuk membantunya. Tak kuasa Sobanda menahan air mata haru. Kehangatan sebuah keluarga begitu menyesap dalam kalbunya.

Tak terasa dua jam sudah ia berada bersama pasangan yang penuh perhatian dan bersikap takzim padanya. Sebelum berpamitan Sobanda kembali mengingatkan undangan pertemuan yang harus dihadari oleh warga Kampung Pasirkaliki di kantor Kelurahan. Juhari mengangguk menyanggupi untuk hadir.

“Insyaallah, saya akan hadir,” janji Juhari pada Pak Sobanda.

Semenjak kedatangan Sobanda ke rumah Juhari, hampir setiap hari rumah tersebut kedatangan tamu. Banyak dari tamunya sekadar penasaran kehangatan apa yang didapat dari Pak RT yang begitu memuji keluarga Juhari. Ada juga yang ingin memesan bolu ketan hitam buatan Marni atau meminta saran atas kesulitan keluarga yang mereka hadapi. Akhirnya setelah sebulan berlalu, rumor tentang keanehan keluarga baru itu pun usai berganti dengan pengakuan bahwa merekalah sesungguhnya keluarga sakinah.

Marnisah dan Juhari tak keberatan dengan kedatangan para tamu yang terkadang mengganggu waktu mereka. Akan tetapi tanpa komando para tamu itu selalu datang pada jam yang sama saat Pak RT datang, pukul empat sore, rentang waktu pun hampir sama, dua jam. Seakan ada jadwal tetap dan kesepakatan bersama untuk bergiliran menemui mereka.

Beberapa anak muda yang tergabung dalam Taruna Karya juga tak ketinggalan meminta jadwal pertemuan secara tak tertulis. Biasanya setelah sekali berkunjung maka harus rela untuk memersilakan tetangga lainnya untuk bergiliran.

Para tetangga itu juga seakan tahu bahwa Hari Senin dan Kamis tuan rumah kurang berkenan menerima tamu karena sedang berpuasa, sementara Jumat sepulang salat Jumat Juhari langsung mengaji di pondok Pesantren yang berada di kampung sebelah. Saat Juhari pergi, Marnisah tak pernah sekalipun membuka pintu bagi para tamunya.

Kegiatan Marnisah di rumah bertambah banyak saat suaminya tak ada di rumah. Menyiapkan makan, membuat kue pesanan, membersihkan barang-barang atau tempat yang agak sulit jangkau dan membaca buku-buku yang belum sempat ditamatkan. Sehari-harinya Marnisah menyibukkan diri dengan hal yang dianggap bermanfaat. Jangan tanya soal gawai atau layar laptop yang sekarang semakin jarang disentuh olehnya.

Gawai berwarna hitam keluaran terbaru hadiah pernikahan dari pamannya, bila harus mengeluarkan kocek sendiri di atas sepuluh juta itu, tak menarik minat Marnisah. Cukup ketika whatsapp call dari Juhari atau saudara dekat yang ia kenal baru diangkat itupun hanya menjawab seperlunya.

Pernah suatu hari Marnisah berpikir untuk menyerahkan gawai hitam pada anak tetangganya yang sedang belajar daring. Akan tetapi Marnisah tak menutup mata bila godaan gawai canggih bagi anak-anak justru amat berbahaya. Lagi pula Marnisah tak enak hati bila paman dan bibi yang telah mengsuhnya sejak kecil itu menelpon dan menanyakan kabar tentang gawai pemberian mereka.

Marnisah memang sejak lama tak mengenal kedua orangtuanya. Menurut paman dirinya diasuh sejak umur dua tahun. Ayah ibunya meninggal karena kecelakaan pesawat. Ia hanya anak tunggal. Tak ada saudara dekat yang lain yang ia kenal selain Paman Kudi Jalis dan bibi Enti Sunia.

Marnisah diboyong Kang Juhari ke rumah baru mereka setelah menikah. Rumahnya terletak hanya beda RT dengan rumah Paman Kudi. Rumah orang tua Marnisah letaknya di kawasan elit Jalan Hasanudin Bandung. Tidak ada siapapun di sana hanya paman dan bibi yang masih rajin merapikan rumah peninggalan orang tua Marnisah sebulan sekali.

Rumah bergaya klasik dengan taman yang sangat luas sebenarnya membuat kerasan yang menempati rumah itu hanya saja Marnisah selalu menangis tersedu-sedu manakala tinggal di situ. Saat Paman Kudi, adik kandung dari Ibu Marnisah bertanya padanya mengapa menangis terus, Marnisah kecil hanya menjawab ada bapak dan ibu yang sedang menangis yang selalu melambai ke arahnya. Sejak itulah paman dan bibi memutuskan untuk tetap tinggal di Kampung Pasirkaliki.

Marnisah terlahir dengan nama Morn Izzah Darwis tapi, Paman Kudi selalu kesulitan bila memanggil Marnisah dengan nama aslinya. Lidahnya selalu saja menyebut Morenisah beda tipis dengan cara bibi menyebutnya Mornijah. Akhirnya mereka berdua sepakat memanggil Marnisah dan memperkenalkan nama itu pada setiap orang yang bertanya.

Sejak kecil Marnisah suka sekali dengan warna gelap. Jarang tersenyum apalagi bercanda. Kehidupan seakan selalu serius ada dalam pikirannya hingga ia menikah dengan Juhari lelaki periang yang mau menerima tingkah polah Marnisah apa adanya. Marnisah yakin itu karena rasa cinta Kang Juhari memuliakan kehadirannya.

Cinta Kang Juhari seperti kerlip bintang atau sinar rembulan di malam hari membuat hati Marnisah hangat dan sedikit berwarna. Tetap saja Marnisah lebih cinta pada kematian. Baginya hitam mewakili rasa gelap di alam kubur kelak.

Marnisah tahu dan perasaannya tak bisa dibohongi bahkan mimpi-mimpinya seakan menjadi ilham bahwa waktunya hampir habis. Seiring usia kandungan Marnisah semakin tua, perasaan akan kepergiannya pun semakin terasa. Saatnya bagi Marnisah berwasiat pada Kang Juhari serta paman dan bibinya.

Kepada Kang Juhari, Marnisah meminta untuk memperistri Nadya teman semasa kuliah. Marnisah percaya Kang Juhari dan Nadya akan saling mencintai karena kemurnian jiwa mereka. Mereka kelak alan membesarkan anak-anak dengan keluhuran jiwa.

Pada paman dan bibi yang menganggap Marnisah sebagai anaknya sendiri, Marnisah menyerahkan seluruh surat-surat berharga peninggalan kedua orangtuanya termasuk surat tanah dan rumah yang di Bandung. Marnisah yakin bahwa paman dan bibinya kelak lebih bijaksana, mereka telah belajar dari kehidupan pastilah bisa menjaga harta waris untuk kebaikan bersama.

Untuk anak yang kelak dilahirkan dan belum sempat dibesarkan olehnya, Marnisah hanya menitipkan sebuah buku catatan tentang Morn Izzah Darwis dan keluarganya. Marnisah memiliki keyakinan bahwa anaknya tak boleh dibebankan titipan harta apapun agar ia bisa dibesarkan oleh cinta tulus orang-orang yang mengelilinginya kelak.

7 Februari 2040

Noon Izzah Juhari menangis tersedu-sedu saat membaca seluruh catatan ibu kandungnya yang begitu penuh misteri. Umurnya kini sembilan belas tahun, dalam hatinya ia berjanji akan menjalankan segenap wasiat ibunda untuk meninggalkan dunia sebelum kubur menjemput sang jasad. Noon lebih menyukai warna biru tua dan itu baginya dekat dengan kedamaian.

Setelah kepergian Marnisah, berdasarkan catatan yang ditinggalkannya, membuat Paman Kudi mendekam di penjara untuk waktu yang lama karena menghilangkan nyawa nenek dan kakeknya. Kecelakaan pesawat hanya menutupi kejadian yang sebenarnya. Paman Kudi dan Bibi Enti berdua tak punya anak dan harta, lalu karena cinta buta pada sang istri ia sengaja merebut Morn Izzah dari tangan kakaknya lalu meminta mereka berdua untuk meninggalkan rumah peninggalan orangtua mereka yang telah menjadi hak waris kakaknya itu. Warisan buat Kudi sebenarnya jauh lebih banyak akan tetapi ia sering tertipu rekan bisnis yang membuatnya bangkrut.

Paman Kudi terjerat pembunuhan berencana. Ia memang telah lama menyesali pembunuhan kakaknya. Meski batinnya tersiksa, ia tak berani mengakui kesalahannya. Namun, Marnisah, ibunda Noon yang berhati mulia telah memaafkan paman yang merawatnya sebelum menghembuskan nafas terakhir sesaat setelah melahirkan Noon.

Marnisah tahu bahwa Paman Kudi yang menghilangkan nyawa kedua orangtuanya dari mimpinya seperti mimpi mengenali kematian yang dijelangnya.

Tamat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren banget Bu pujangga, buku 8 penjuru mata angin, sudah saya baca. Keren banget pujangga

10 Feb
Balas

Wah sebuah kejutan Pak Sultan bersedia hadir... Terima kasih atas kesediaannya membaca puisi di buku 8. Salam...Penjuru Mata Angin

11 Feb

keren bunda

10 May
Balas

Ok Thank Bu Elget

24 Sep

Keren cerpennya.. sukses selalu ya.. saya kira horor

08 Feb
Balas

Hehehe... Mudah-mudahan nanti bisa buat cerpen horor ya... Terima kasih Bu Siti Wahyuni sudah mampir... Salam.

09 Feb



search

New Post