Desri Lova

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Trauma Itu, Kembali Menyapaku
Impiannews

Trauma Itu, Kembali Menyapaku

Tantangan menulis Hari ke-23

#TantanganGurusiana

Hari ini, kebetulan jadwal mengajar saya ada di kelas XII IPS 4. Sesuai dengan jadwal yang telah dibuat oleh sekolah, dua kali dalam lima hari saya akan masuk ke kelas ini untuk mengajar. Begitupun dengan kelas XII IPS yang lainnya. Mengapa saya tidak membahas kelas IPS yang lain? Kenapa cuma kelas XII IPS 4 saja? Hal ini dikarenakan ketika saya masuk ke kelas ini, ia mampu mengingatkan kembali akan kenangan saya beberapa puluh tahun yang silam. Tepatnya tahun 1995 di Kabupaten Kerinci Jambi dan tahun 2009 di kota padang, Sumatera Barat. Kenangan yang membuat saya begitu trauma dengan yang namanya getaran. Getaran gempa yang dahsyat yang mengakibatkan banyak korban jiwa baik itu luka ringan, luka berat, dan korban yang meninggal. Tidak hanya korban jiwa, tetapi juga kerugian terhadap harta benda seperti banyak rumah atau bangunan yang hancur dikarenakan gempa.

Ketika mengajar di kelas XII IPS 4, trauma akan gempa bisa saja muncul suatu waktu. Tergantung dari pelan atau kuatnya siswa menghentakkan kaki ketika berjalan di lantai atas (sekarang ditempati oleh kelas XII Bahasa). Memang, sekolah tempat saya mengajar saatnya ini, gedungnya bertingkat. Suara langkah kaki siswa yang begitu kuat, menghasilkan dentuman yang begitu keras, saya juga merasakan, seolah-olah ruangan kelas XII IPS 4 juga ikut bergetar karena injakan kaki siswa. Pada saat itu juga, rasa cemas kembali menghantui saya. Cemas dan takut akan terjadinya gempa yang pernah saya rasakan dulu. Peristiwa yang pernah terjadi beberapa puluh tahun silam, rupanya masih menyisakan rasa trauma pada diri saya, sampai saat ini.

Kembali saya teringat akan kejadian gempa tahun 1995. Saat itu, saya masih duduk di bangku kelas tiga SD. Gempa datang, tepat saat kami masih berada di sekolah, sedang belajar. Bu guru dengan sigap menarik kami semua untuk keluar dari gedung sekolah dan mengajak kami untuk segera pulang ke rumah masing-masing tetapi tetap di bawah pengawasan semua guru. Semua warga panik, saya juga panik dan merasa takut, apalagi saat itu posisinya saya belum bertemu dengan orangtua dan saudara-saudara. Suara jeritan, tangisan warga sambil menyebut asma Allah terdengar di mana-mana. Suara-suara tersebut seolah-olah menyatu dengan suara dentuman batu yang saling bergeser di dalam gunung Raya. Tanah yang meliuk-liuk seperti gelombang seakan-akan ingin menelan orang yang berada di atasnya. Tiang listrik yang sepertinya sudah tidak betah di dalam tanah, seakan-akan berontak, ingin keluar saat itu juga. Apakah hari akan kiamat? Begitu pikiran polos dari seorang anak SD kala itu sambil mencari orangtuanya. Alhamdulilah akhirnya, ia bertemu dan berkumpul lagi dengan keluarganya. Hampir sejam tanah digoncang gempa, akhirnya berhenti juga. Walaupun sudah berhenti, sepertinya masyarakat enggan untuk langsung masuk ke rumah. Rasa khawatir menghantui semua, begitupun dengan kami sekeluarga. Malam itu, kami dan sebagian warga memilih untuk membuat tenda di lapangan bola kaki. Kalau keadaan sudah kembali normal, dan gempa susulan tidak datang lagi, baru kami kembali ke rumah masing-masing. Gempa yang terjadi di Kabupaten Kerinci Jambi tahun 1995 menyisakan rasa trauma yang begitu mendalam.

Tahun 2009, kembali bumi pertiwi di guncang oleh gempa. Gempa hebat kembali saya rasakan. Kali ini terjadi di daerah Sumatera Barat (padang). Seingat saya, gempa itu terjadi sebulan sebelum saya diwisuda sarjana. Kekuatan gempa yang terjadi di padang lebih kuat dibandingkan dengan gempa tahun 1995 di Kabupaten Kerinci Jambi. Kekuatan gempa yang terjadi di daerah Sumatera Barat waktu itu mencapai 7,6 Skala Richter dan menewaskan 1.117 (sesuai data Satkorlak PB).

Seingat saya, saat itu gempa dahsyat itu datang jam 17.16 WIB. Semua penghuni kost putri (ditempat saya kost) berhamburan semuanya keluar. Berusaha mencari tanah lapang yang jauh dari bangunan-bangunan tinggi. Ditambah dengan adanya isu tsunami, kami berusaha menjauh dari pantai. Kebetulan jarak tempat kami kost sangat dekat dengan pantai, yakni rumah keempat dari bibir pantai Air Tawar Barat. Jalanan seketika macet, penuh dengan orang dan kendaraan yang lalu lalang. Semua warga panik, dan berusaha mencari tempat yang tinggi untuk menghindar dari tsunami.

Begitupun dengan kami, walaupun tidak memiliki kendaraan pribadi, kami juga berusaha untuk menyelamatkan diri dengan berjalan kaki untuk mencapai tempat yang lebih tinggi, pokoknya harus jauh dari laut. Kaki yang terasa lelah tidak kami rasakan lagi, saat itu yang kami pikirkan cuma satu, yakni harus selamat dari bencana. Berapa kali mencoba untuk menghubungi orang tua di kampung terus kami lakukan, tetapi tetap hasilnya nihil. Gempa membuat jaringan kacau, sinyal dihandphone hilang seketika. Keadaan terasa tambah menakutkan karena sepanjang jalan yang kami lihat adalah reruntuhan gedung tinggi, seperti hotel, perkantoran dan bangunan lainnya. Orang-orang menjerit ketakutan, karena melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana bangunan yang roboh menghimpit orang yang ingin keluar menyelamatkan diri. Ingin menolong, tetapi badan juga tidak berdaya, hanya bisa melihat dari kejauhan. Dalam hati tetap berdoa, mudah-mudahan gempa ini tidak lama dan tsunami tidak terjadi.

Komunikasi tetap tidak bisa dilakukan. Kami berpikir, pastilah keluarga di kampung cemas dan risau dengan bagaimana keadaan kami di padang. Malam itu juga, kami memutuskan untuk pulang kampung. Kali ini nasib baik berpihak kepada kami, untung ada travel kosong yang pulang ke Kerinci malam itu. Kami segera menaiki travel, setelah agak jauh dari kota Padang, ada perasaan sedikit lega menghampiri kami. Lega, kami bisa lepas dari suasana kota yang begitu mencekam dan menakutkan. Ini merupakan kali kedua saya mengalami bencana gempa bumi yang begitu dahsyat. Rasa trauma yang pernah dirasakan tahun 1995 lalu, kembali menyapa di tahun 2009. Alhamdulillah di tahun ini juga, saya berpisah dengan kota Padang (setelah wisuda kembali ke kampung halaman). Walaupun Belitung jauh dari gesekan lempengan yang menyebabkan gempa bumi, tetapi tetap saja, rasa trauma akan gempa bumi itu masih ada sampai sekarang. Seperti saat ini yang saya rasakan, ketika mendengar suara langkah atau hentakan kaki dari dalam kelas XII IPS 4. Hentakan kaki anak-anak yang menempati ruangan lantai atas. Mudah-mudahan penghuni baru diruang kelas atas nanti bisa lebih pelan lagi kalau berjalan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pengalaman yg tak kan pernah terlupakan. smg bencana itu tidak terjadi lagi, dan sll berdoa smg kita dijauhi dr bencana .Mantap tulisan nya buk des.salam kenal

04 Mar
Balas

Amin Bu... mudah2n tidak terjadi lagi dan kita semua dijauhkan dari bencana.. terimakasih Bu darinas, salam kenal juga buat ibu

04 Mar

Semoga trauma bisa berkurang, walau kenangan itu tak mungkin terlupakan

04 Mar
Balas

Amin Bu.... mudah2n Bu..

05 Mar

Bisa pulkam malam tu yo lova.awak pas kejadian dbatusangkar jln silaing longsor dak bs plg mlm tu

04 Mar
Balas

Alhamdulillah bisa pulang..jadi malam tu masih dipadang Yo?

05 Mar



search

New Post