Desri Lova

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Wanita Ibarat 'Kaca'
Kompasiana.com

Wanita Ibarat 'Kaca'

Tantangan Menulis Hari ke -28

#TantanganGurusiana

Wanita itu ibarat "kaca", kalau sudah retak, jangankan membeli, meliriknya pun orang tak mau. Begitulah pesan yang disampaikan Ibuku sebelum berangkat menuju kota Padang (Sumatera Barat). Kota inilah yang menjadi tujuanku untuk melanjutkan pendidikan setelah tamat SMA. Tidak hanya sebelum berangkat, tetapi pesan ini selalu disampaikan oleh Ibu, baik itu ketika dekat atau ketika sudah berjauhan seperti ini. Tetap tak bosan-bosannya Ibu selalu menyampaikan wejangannya itu lewat telepon. Seperti saat itu ditelepon, "Va, ingat pesan mama, jaga diri baik-baik, jangan lupa sholat, jaga pergaulan dengan baik, terutama dengan lawan jenis. Kita perempuan ini ibarat kaca, harus selalu bisa menjaga diri kita sendiri, terutama kesucian kita. Ibarat kaca tadi, jangan sampai retak. Kalau sudah retak, walaupun itu cuma sedikit, dikasih secara gratis pun ke orang, pasti tidak ada yang mau. Ibarat sebuah kaca yang dijual di toko, walau letak toko itu jauh sekalipun, tidak jadi masalah buat orang untuk pergi mencarinya, yang penting kaca itu masih mulus dan bagus". Begitulah bunyi pesan atau nasihat yang selalu disampaikan oleh Ibu .

Dampaknyanya, karena pesan tersebut selalu disampaikan oleh Ibu, ia seolah-olah sudah mendarah daging dalam diriku. Alhamdulillah, sampai saat ini, aku bisa menjaga diri dan pergaulanku dengan baik. Intinya, aku tidak mau membuat orang tua kecewa dan harus tetap bisa menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh orangtua kepadaku. Pesan ini juga selalu saya sampaikan ke peserta didik ketika sedang mengajar. Kebetulan, pelajaran yang saya ajarkan adalah Sosiologi.

Melihat pergaulan remaja sekarang, memang sangat miris sekali. Mereka seolah-oleh tidak mengindahkan nilai dan norma budaya timur ketika bergaul dengan lawan jenis. Rasa malu dengan orang lain sepertinya sudah tidak ada lagi. Budaya barat tak segan diadopsi, walaupun itu bahkan bisa menghancurkan masa depan mereka sendiri. Buktinya bisa kita lihat, sesuai dengan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, di tahun 2018, ada 1.348.866 anak yang melakukan pernikahan dini. Diperkirakan rata-rata tiap tahunnya ada 300.000 anak perempuan yang menikah di bawah usia 16 tahun. Salah satu faktor yang menjadi penyebab ini semua tidak lain adalah pergaulan bebas.

Berkaca dari kasus ini, tentunya diharapkan peran dari berbagai pihak, baik itu lembaga informal seperti orang tua, lembaga formal (lembaga pendidikan atau pemerintah) serta lembaga non formal seperti masyarakat. Semua lembaga ini harusnya saling bekerjasama untuk mengatasi permasalahan sosial ini. Terutama ini ditekankan kepada orangtua, agar dapat menjalankan beberapa fungsi orangtua dengan baik. Kalau kita kaitkan dengan filosopi Cina terhadap sebuah pohon bambu, anak itu ibarat pohon bambu, pohon bambu tidak akan tumbuh tinggi sebelum ia menumbuhkan dan menguatkan akarnya terlebih dahulu. Karena akar yang panjang dan kuat itulah yang menjadi penguat bagi bambu ketika diterpa oleh angin kencang. Niscaya dia tidak akan mudah roboh. Begitupun dengan seorang anak, kalau dari kecil ia selalu diberikan didikan (terutama dalam hal agama) yang baik oleh kedua orangtuanya, pasti anak tersebut tidak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang baik, karena karakter baik sudah terbentuk dari sejak dini. Ibarat sebuah rumah, dia akan kuat kalau pondasinya dalam dan bahan yang digunakan untuk membuat rumah itu juga bagus. Dalam hal ini, orangtualah yang menjadi pondasinya. Baik buruknya karakter anak tergantung dari apa yang diajarkan oleh orangtua.

Dalam hal ini, lembaga di luar keluarga hanyalah sebagai pembantu, untuk menguatkan pondasi (karakter) anak yang sudah terbentuk sebelumnya oleh keluarga. Bukan sebaliknya, sebagian orangtua terkadang malah menyerahkan "pendidikan seutuhnya" kepada sekolah. Ketika ada yang salah terhadap diri anak, seolah-olah yang disalahkan adalah pihak sekolah, bukannya berkaca kepada diri sendiri, sebagai orangtua, apakah kita sudah menjalankan sepenuhnya fungsi dari keluarga itu sendiri?

Mari kita berpikir dengan jernih, dan mari kita bekerjasama untuk membangun karakter baik anak-anak kita sesuai dengan kepribadian bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Nasib bangsa ini, ada ditangan mereka!

Salam literasi!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisannya bagus Bu

09 Mar
Balas

Makasih banyak pak, tulisan bapak jauh lebih bagus pak, saya baru pemula hehe

09 Mar

Bagus tulisannya buk, pendidikan keluarga amat penting dalam membentuk karakter anak. Pesan org tua, pusaka usang jangan ditinggalkan di tengah perubahan nilai yang kian merosot

09 Mar
Balas

Makasih pak...iya pak insyaallah pesan orangtua akan terus saya sampaikan ke anak2 pak... mudah2n ga masuk telinga kanan, keluar lagi lewat telinga kiri.amin

09 Mar

mantap kangen nasehat mamanya yaa

09 Mar
Balas

Iya Bu ati...selalu kangen-kangenan pokoknya

09 Mar



search

New Post