Devi anggun sari

Nama Devi anggun sari, guru biologi sma negeri 1 sungai penuh, pengalaman mengajar: 2003 - 2006 guru di smp n 22 limun kabupaten sarolangun, 2...

Selengkapnya
Navigasi Web

Menukar Takdir

Matahari pagi ini sangat periang. Hangat sinarnya menjilati kulit wajahku. Aku masih di sini. di antara kerumunan orang-orang. Orang-orang yang setahuku punya nasib yang sama denganku.

Aku melirik ke kertas tapping yang sudah aku cetak di mesin tapping. uhhhhhhfffffff......., meskipun sudah membuat perjanjian online, ternyata aku tetap saja kalah cepat. DFI23. itu artinya, aku baru dipanggil untuk pemberkasan konsultasi ke dokternya pada urutan ke-23.

Aku coba bertanya pada seorang perempuan muda yang juga mengantri bersamaku. Dia berdiri persis di depanku. Ada seorang anak laki-laki di sampingnya. Usianya sekitar 3 atau 4 tahun, pikirku. Di dadanya seorang bayi perempuan kira-kira usia 5 atau 6 bulan terdiam dalam kain gendongannya. Bayi itu berambut ikal. Mpeng tidak lepas dari mulutnya. Matanya melirik ke sana ke mari memperhatikan orang-orang. Ah........,lucunya bayi ini. "Mbak, udah antrian keberapa ya?", tanyaku. "Lima mbak", jawabnya singkat sambil tersenyum tipis ke arahku. Aku balas tersenyum sembari membulatkan bibirku. "Nomer berapa mbak?", perempuan muda itu balik menanyaiku. "Duatiga", jawabku singkat. "Lumayan lama mbak, saya juga nih, dua tiga", katanya.

Mataku tak bisa lepas dari bayi di gendongannya. Aku jadi rindu Key kecilku. Dua minggu sudah aku meninggalkannya. Setelah hasil pemeriksaan ayahnya selesai dan surat rujukan kudapatkan, aku harus berangkat ke ibu kota. Di rumah sakit ini, proses demi proses harus kuikuti. Termasuk hari ini. Antri panjang seperti hal biasa yang kuhadapi. Dalam getar kerinduanku, terselip doa untuknya, Ya Rabb, semoga engkau menjaganya dengan sebaik-baik penjagaanmu. Ku hela napasku. Ku sentuh lembut tangan mungil bayi itu. Aku mencoba mengusir rinduku. "Umurnya berapa mbak?, tanyaku sambil mengelus jari-jari mungil itu. "Baru lima bulan mbak", jawab perempuan itu. Tubuhnya seperti terus bergoyang-goyang untuk sekedar memberikan rasa nyaman untuk bayi itu. Mata lucu itu melirik ke arahku. Aku tersenyum. Bayi itu tetap diam, dan semakin tajam menatapku. "Ah....., jadi tambah lucu", bathinku.

"Siapa yang sakit mbak?", tanya perempuan muda itu. "Suami, mbak", jawabku singkat. "Hmmmm, masalahnya apa?", dia menyambung pertanyaannya. "Ada penyumbatan pembuluh darah di jantung", jawabku. "Mau pasang cincin ya?", dia kembali bertanya. "Mmmmmmmm...., belum tahu sih, kita baru ketemu dokternya dua kali, kata dokternya masih didiskusikan dulu apa tindakan selanjutnya, bisa jadi pasang cincin atau operasi by pass", aku menjelaskan. "O........, kalau di sini emang lama mbak prosesnya, aku aja udah beberapa kali ketemu nih sama dokternya. Ya.....nggak bisa komplain juga sih, karena rmang prosesnya gitu, coba bayangin berapa orang yang harus dilayani, nggak cuma dari sini kan?, dari daerah juga banyak", dia menjelaskan seperti ingin menenangkanku dengan proses yang lama.

Satpam di depan pintu ruang administrasi berdiri dan memanggil nomor antrian berikutnya. Aku masih di sini. Bayi dan perempuan ini menghilangkan rasa bosanku dalam antrian panjang. Aku melanjutkan obrolan. "Mbak sendiri, siapanya yang sakit?", tanyaku. "Nih, si adek", jawabnya sambil melirik bayi dalam gendongannya. "Emang ngapain mbak?", tanyaku seperti kecewa dan sedih mendengar jawaban perempuan itu. "Bocor jantung mbak", jawabnya melanjutkan. "O........", ku mengangguk-anggukkan kepala. Perempuan itu membenarkan gendongannya. Dia menarik bajunya yang tertarik ke atas oleh posisi bayi dalam gendongannya. Sesekali dia menarik tangan si abang yang sering lepas dari tangannya. "tapi, nggak kayak sakit tuh mbak, tetep lucu deh", tanyaku sambil tetap mengelus jari-jari mungilnya. "Iya sih, tapi kalau lagi kumatnya, wah......., aku nggak bisa ngomong apa deh mbak, kasian banget......., pada biru semua nih", jawab perempuan itu sambil menunjukkan tangan, muka, dan seluruh badan. Aku mengerti.

Ada sebentuk duka di matanya. Aku tahu itu. Dia mencium kepala bayi dalam gendonganya. Aku bisa merasakan kekhawatiran teramat sangat di wajahnya, ketika dia menceritakan apa yang dialami bayinya. Aku terenyuh. Seperti ikut merasakan duka dan beban itu. Aku merasa begitu egois dan angkuh. Prasangka buruk atas beban berat yang terjadi, seperti menghimpit bathinku. Aku merasa begitu kecil. Sempat terbersit cemburu. Mengapa aku. Ah.....Rabbku, aku hanya hamba yang lemah. Bahkan teramat lemah.

Aku teringat satu bulan yang lalu. Keputusan dokter di Rumah Sakit tempat kami berobat, membuatku terpukul. Dunia terasa gelap, kosong, hampa, dan aku sendiri. Hasil kateterisasi yang dilakukan dokter memperlihatkan adanya penyumbatan di tiga pembuluh darah pada jantung suamiku. Lebih parahnya, ternyata penyumbatan itu sangat panjang, sehingga dokter tidak berani memberikan tindakan pemasangan ring. Kami dirujuk ke sini. Untuk mendapatkan pengobatan lanjut. Aku pasrah. Aku mendengarkan dengan seksama keterangan dokter. Aku paham. Meskipun aku bukan dokter, setidaknya anatomi dan fisiologi sistem peredaran darah sudah tak asing lagi bagi ku. Materi itu baru saja aku bahas bersama siswa-siswaku. Diskusi hangat terjadi ketika aku memutarkan video pelaksanaan operasi by pass jantung. Ah......., aku tahu persis kemungkinan-kemungkinan tindakan yang akan dilakukan. Namun......., aku tetap saja khawatir.

Si bayi mungil, lucu, dan menggemaskan di depan ku, masih mencuri perhatianku. Aku semakin sesak ketika membayangkan kemungkinan yang harus dilalui bayi ini. "Ah.....

.., kamu masih begitu mungil nak", bathinku berbisik. Bagaimana mungkin kamu harus mengalaminya. Andai saja semua bisa diatur menurut keinginanku, aku tak ingin bayi ini. Lalu sudut lain hati ku ikut bertanya, jika kamu tak ingin bayi ini, lalu siapa yang kamu ingin. Aku terdiam. Aku tak bisa memilih. Rabb........, semua atas kuasaMU. Jika masih KAU perkenankan, beri bayi ini kesembuhan, jangan KAU lamakan deritanya.

Nomot antrianku sudah disebutkan satpam di depan pintu ruang administrasi. Perempuan tadi beranjak dari tempatnya berdiri sambil mengajakku. "Yuk mbak", ajaknya. "Aku ikut masuk mengikutinya dari belakang. lagi-lagi antrian panjang menantiku. Aku terpisah dengan perempuan tadi. Antrian pasien bayi dan anak-anak ternyata terpisah dari antrian pasien dewasa. Dia tersenyum dalam antriannya. Aku membalas senyumnya. Perempuan muda ini cantik. Kacamata minus menghiasi bertengger di hidungnya yang tidak pesek, meskipun aku juga tak bisa katakan mancung. Wajahnya menampakkan dia bukanlah orang dari kalangan bawah. Wajahnya seperti menampakkan bahwa dia wanita berpendidikan. "Hmmmmmmm, aku yakin dia pasti punya pendidikan yang baik", bathinku.

to be continue.....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post