Jika ingat masa kecil kedua jagoanku membuatku senyum-senyum sendiri. Si sulungku bibir mungilnya tak pernah berhenti bertanya tentang apa saja yang kadangkala diluar nalar, memaksa otakku untuk bekerja memberikan jawaban yang tepat agar bisa dicerna oleh naluri anak-anaknya. Indra geraknya selalu aktif sepanjang hari, ia akan diam saat dibuai mimpi. Saat itupun separuh matanya masih terbuka, rumah yang selalu riuh akan sunyi saat ia terlelap.

Tak habis waktu untuk memutar memori akan masa kecil anak-anakku sampai saat ini. Kala sore ditemani secangkir kopi dan kue putu belanda kesukaannya, sering kami lewatkan untuk mengenang semua itu. Ia akan tersenyum saat kuulang kembali aksara-aksara saat ia baru mulai mengeja kalimat. "Jangan nakal ya, nanti ibu bagek tang mangi", kataku menggodanya. Ia akan mengulang kembali mengeja aksara tersebut sambil mencubit dan memandangku penuh cinta.

Bagek tang mangi adalah kalimat yang selalu diucapkan si sulung kepada siapa saja atau apapun yang tak disukainya. Ia akan selalu mengatakan kalimat itu" bagek tang mangi". Pada awalnya kami tak memahami dan bingung memaknai kalimat sakralnya tersebut. Lambat laun kami baru mengerti setelah ia menjelaskan dengan bahasa tubuh. Ternyata pohon kelapa didepan rumah menjadi sumber inspirasi si sulung.

Suatu hari si sulung jatuh dari sepeda, ia membawa sepedanya ke bawah pohon kelapa sambil berucap,"Bu, ida nakai, bagek tang mangi". Aku mencoba mencerna kalimat yang diucapkannya, saat tahu maksudnya akupun tersenyum sendiri, yaitu sepedanya nakal dan diikat dipohon kelapa. Setiap kali ia nakal maka aku akan menakutinya dengan kalimat itu.

S3. 26 Juli 2020