Diana Wahyuni

Paroxsym, Introvert, and Coffeeholic...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ada Cinta di Idul Adha

Ada Cinta di Idul Adha

Suasana Idul Adha tahun ini hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Kawanan sapi dan kambing ditambatkan pada pancang-pancang kayu untuk dikurbankan esok pagi. Rombongan anak kecil mengitari hewan-hewan kurban sambil membawa ilalang, rerumputan, dan pucuk dedaunan. Mereka berebutan memberi makan pada kawanan sapi dan kambing.

Dari kejauhan, tampak seorang perempuan tua tergopoh-gopoh menyeret seekor kambing menuju lapangan. Dengan nafas tersengal, perempuan tua itu menyerahkan kambingnya pada panitia kurban. Wajahnya terlihat kelelahan. Sementara, kambingnya tak berhenti mengembik.

"Terimalah kurban saya, Pak." Ia berkata sambil menyodorkan tali pengikat kambingnya pada ketua panitia kurban.

"Punya Ibu?" tanya panitia.

"Alhamdulillah, Pak. Saya ikut kurban tahun ini." Wajahnya berseri-seri.

Kutarik kursi plastik berwarna hijau kusam.

"Duduk, Bu. Pasti lelah ya sudah membawa kambing ke sini. Rumahnya di mana?"

Rasa ingin tahuku begitu besar. Kusodorkan air minum kemasan untuknya.

"Rumah saya tak jauh dari sini, Nak. Hanya dua gang saja dari lapangan."

"Sini, Bu. Saya ingin dengar cerita kurban Ibu." Aku berkata sambil memberi isyarat padanya untuk duduk di sebelahku. Lagakku sudah seperti wartawan investigasi saja. Sebab, jarang-jarang menemukan orang sepertinya.

Pada awalnya, ia kebingungan untuk memulai bercerita. Lama kelamaan, dari mulutnya mengalir kisah yang luar biasa sekali.

Perempuan tua itu seorang janda. Hidup sendirian di rumah peninggalan suaminya. Anak-anaknya sudah lama merantau namun jarang memberi kabar. Setiap tahun, merayakan lebaran tanpa ditemani anak dan cucunya. Sehari-hari, ia bekerja sebagai buruh cuci.

Keinginannya untuk berkurban sangat besar. Penghasilan sebagai buruh cuci disisihkan sedikit demi sedikit untuk membeli hewan kurban. Dalam waktu satu setengah tahun, ia berhasil mengumpulkan uang sebesar dua setengah juta rupiah. Cukup untuk membeli seekor kambing.

Hatiku meringis mendengar kisahnya. Betapa banyak orang-orang yang mampu dalam kehidupannya namun enggan untuk berkurban. Sementara, di sisi lain, seorang perempuan tua yang tidak memiliki kelebihan harta telah menunjukkan bukti kecintaannya pada Allah. Level perempuan tua itu sudah sangat tinggi dibandingkan dengan kita.

Mari mengevaluasi diri. Dalam sebulan, berapa banyak rupiah yang kita hamburkan untuk membeli barang-barang yang mungkin tidak kita butuhkan?

Kita mampu membeli kuota internet yang mencapai ratusan ribu dalam sebulan. Kita mampu menghabiskan ratusan ribu dalam sebulan untuk sekadar nongkrong di kafe. Kita mampu membeli smartphone dengan harga jutaan hingga belasan juta. Kita mampu membeli sepatu dan baju mahal dengan kualitas terbaik. Kita mampu memakai jam tangan dengan harga jutaan. Bahkan, kita rela mengeluarkan banyak rupiah hanya untuk membeli gaya hidup.

Tapi mengapa untuk membeli seekor kambing saja pada momentum Idul Adha kita merasa tak mampu?

"Jika pahala kurban saya diterima Allah, saya niatkan untuk menghadiahkannya pada almarhum suami." Perempuan tua itu menutup kisahnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku terharu. Seakan terbawa suasana, wajah lelaki yang kucintai melintas begitu saja.

"Duhai, sepatahan tulang rusukku. Aku sedang merindu."

~lembayungmerahsenja

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

wiih luar biasa, mantaf kisahannya bu! kereen

01 Sep
Balas

Terima kasih Bu Anne.

01 Sep



search

New Post