Diana Wahyuni

Paroxsym, Introvert, and Coffeeholic...

Selengkapnya
Navigasi Web
AUBADE

AUBADE

Pagi masih sama seperti kemarin. Pun matahari, masih muncul dari arah timur. Meskipun sudah mengenakan baju berlapis jaket dan sepasang kaus kaki tebal, tetap saja tak mampu mengurangi gigil, gemeretuk gigi yang beradu, dan tangan yang selalu bersilang di dada. Dari kawasan Kawah Ijen kisah ini bermula.

Sebutlah kisah cinta paling mengharu biru yang pernah dituliskan dalam novel-novel roman! Tak ada yang mampu menyaingi kisah Sekar dan Bagaskoro. Mereka memang bukan siapa-siapa. Hanya seorang pemetik kopi dan penambang belerang.

Lingkaran kehidupan paling sederhana ada di sini, Desa Sempol. Mulai dari proses peleburan nukleus membentuk sel-sel baru yang ditumpangkan di rahim seorang perempuan, melewati tiga trimester dengan ketidaknyamanan yang aduhai, dan mencapai puncaknya, partus. Bayi laki-laki atau perempuan yang telah dilahirkan, memulai kehidupan menjadi seorang manusia, bertumbuh dan berkembang hingga dewasa, bertemu jodoh, menikah, saling menua, dan menutup mata. Semua itu dijalani di satu tempat yang sama.

Sejak kecil, Sekar terbiasa bekerja keras. Tangannya lincah memetik biji kopi pada perkebunan Arabica yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Sesekali, dia menjadi buruh lepas pemanen lombok. Kedua tangannya penuh guratan kasar dan kapalan. Pada pucuk-pucuk daun kopi, Sekar meminjam warna kehidupan, menaruh letih dan lelah di bawah rimbunnya. Buruh pemetik kopi menjadi semacam warisan turun-temurun yang tak bisa dia tolak. Untuk meninggikan mimpi, bersekolah misalnya, Sekar tak berani. Bukan karena tak ingin, melainkan kemiskinan yang seolah tak hendak berganjak dari kehidupan.

Bagaskoro pula, seorang penambang belerang tradisional. Saat orang-orang kota masih berselimut di atas kasur empuk dengan memeluk mimpi paling manis, dia mendaki Kawah Ijen, memanggul dua keranjang anyaman rotan, sarat belerang beku. Bayangkan betapa perkasanya Bagaskoro! Dia sanggup memikul belerang sekira empat galon air mineral di bahunya, menuruni jalan setapak nan terjal. Salah langkah sedikit saja, apalagi jika angin kencang, dia bisa tergelincir. Nyawa menjadi taruhannya.

Perihal permulaan cinta Sekar dan Bagaskoro, tak seperti kisah-kisah sinetron yang biasa berseliweran di layar televisi. Tak ada kencan romantis, tak ada saling menukar hadiah pada hari kasih sayang seperti budaya orang-orang luar negeri, tak ada acara menonton film layar lebar di bioskop, dan tak seperti kebanyakan orang mabuk asmara.

Mereka bertemu pada persiapan pernikahan anak Bulik Nanik, tetangga sebelah rumah Sekar. Kehidupan di kampung sangat guyub. Begitu terdengar akan ada pernikahan, berbondong-bondong tetangga berdatangan untuk membantu. Juga, menikmati hiburan gratis, dangdutan. Adonan jenang dodol diaduk tanpa henti dari wajan jedi panas. Keringat pengaduk jenang bercampur dengan riuh tawa ibu-ibu yang bertugas sebagai pemerhati letak api.

"Sekar, tolong ambilkan lagi kayu bakar! Minta saja sama Bagas. Tadi dia yang membawa ke samping rumah."

“Sik, Bulik."

Sekar bergegas. Tak ada siapa pun di samping rumah. Hanya ada tumpukan kayu yang sudah dijejer rapi. Dia mengambil beberapa potong kayu, menaruh di bahu, dan berjalan menuju tempat memasak jenang. Baru beberapa langkah, dia berhenti, tepatnya dihentikan.

"Aku saja yang bawa. Kayu-kayu itu berat. Nanti bahumu sakit." Suara lembut lelaki di hadapannya, membuat pipi Sekar merona, serupa stroberi matang.

"Ndak apa-apa, Mas. Aku sudah terbiasa."

Tanpa menunggu persetujuan, lelaki itu memindahkan kayu ke bahunya, kemudian berlalu dari hadapan Sekar. Begitulah! Mereka tak sempat berkenalan, berbasa-basi, apalagi bertukar alamat rumah. Meski demikian, ada kesan yang tertinggal di hatinya. Sekar seperti melayang-layang di atas awan cirrus. Awan halus dan lembut berwarna putih seperti pita yang melengkung di langit. Entahlah! Dia sulit menjelaskan perasaan sendiri.

Beberapa bulan setelahnya, Bagaskoro melamar Sekar dengan perantara Bulik Nanik. Takdir bekerja dengan cara-Nya, cara yang tak akan terpikirkan, dan terkadang di luar logika manusia. Lagi pula, tak ada alasan bagi Sekar untuk menolak lamaran Bagaskoro. Dia tak punya kekasih yang harus ditunggu. Usianya pun sudah cukup matang untuk menjalani episode baru kehidupan bernama pernikahan.

Nuansa putih, coklat, dan hitam gelap awan mengembara di langit. Pepohonan dan tanaman ditutupi dedaunan baru dan ladang seperti beledu hijau. Satu hari pada penghujung tahun berhujan, menyatulah mereka dalam satu akad, mengikatkan diri secara sah sesuai hukum agama dan negara. Mereka memulai babak baru untuk saling jatuh cinta.

Bukan karena Bagaskoro pelit hingga tak membawa Sekar berbulan madu seperti kebiasaan orang berduit yang merayakan awal pernikahan ke destinasi eksotis nan romantis. Bagi orang dusun seperti mereka, urusan perut jauh lebih mendesak. Maka, setelah urusan ijab kabul diikrarkan, kehidupan tetap berjalan seperti biasa. Sekar tetap melangkahkan kaki ke perkebunan, melanjutkan kisahnya sebagai buruh pemetik kopi. Begitu juga Bagas. Saban pagi sudah harus bergegas bersama penambang belerang lain menuju Kawah Ijen. Meski begitu, ada hari yang berkisah tentang bagaimana cinta itu mulai tumbuh.

"Sekar, besok pagi ndak usah ke perkebunan dulu. Mas mau mengajak kamu jalan-jalan."

"Ke mana, Mas? Apa aku perlu memakai baju rapi?" Mata perempuan muda itu berbinar. Jalan-jalan adalah kosakata paling eksklusif, jarang terdengar, dan tentu saja, jarang dilakukan.

"Kawah Ijen."

Tengah malam, Bagas menggenggam tangan sang istri, menuju kawah. Mereka menempuh jalan menanjak dan berkelok. Saat Sekar mulai kelelahan, Bagas akan menggendongnya. Dia sudah terbiasa membawa belerang beku. Menggendong perempuannya terasa jauh lebih ringan daripada memikul keranjang anyaman rotan penuh belerang.

"Aku malu, Mas."

"Sebentar lagi sampai ke puncak Ijen. Kasihan kamu kelelahan."

Sekar menguatkan dekapan ke bahu Bagas. Hatinya dialiri rasa hangat yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan saat pertama kali bertemu lelaki itu.

"Kita sudah sampai. Turunlah dari punggungku dengan hati-hati."

Perempuan muda itu, sama seperti orang Sempol lainnya, sudah berkali-kali ke Kawah Ijen. Namun, mendaki puncak kawah bersama sang suami, rasanya tentu berbeda.

"Lihatlah, Mas! Ada Api biru."

Sekar terkagum-kagum. Baru kali ini dia bisa menyaksikan secara langsung api biru yang muncul dari tengah penambangan belerang, tempat sang suami mendulang rezeki.

"Aku mendengar pembicaraan orang-orang asing yang berkunjung ke puncak kawah. Api biru ini hanya ada dua di dunia. Ijen dan Islandia."

"Islandia opo, Mas?"

“Mbuh. Aku juga ndak tahu. Entah ada di mana."

Tatkala hari meninggi, Kawah Ijen berwarna hijau kebiruan berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari. Dinding kawah dihiasi bebatuan berwarna kekuningan, persis warna belerang yang biasa dipikul Bagas. Sekitar lereng pula, terhampar pepohonan dengan pucuk daun kemerahan. Orang Sempol menyebutnya pohon manisrejo.

Lelah mendaki, Sekar mengeluarkan bekal nasi gulung dengan sambal korek yang dibungkus dengan daun jati. Satu demi satu kepalan nasi disuapkan ke mulut sang suami. Sesekali, dia mengambil minum dari botol bekas kemasan air mineral dan menuangkan ke tenggorokan Bagas. Dia lakukan berulang kali hingga lelakinya kenyang. Begitulah! Barangkali jatuh cinta tak seruwet yang dialami orang-orang. Satu alasan cukup bagi Sekar dan Bagas untuk saling menggilai. Alasan itu adalah karena mereka telah saling memiliki.

Bukan sekonyong-konyong saja, terjadi gejala perubahan fisik Sekar pada bulan ketiga pernikahan mereka. Dia mulai cepat merasa lelah hingga harus berhenti bekerja sebagai pemetik kopi. Penciumannya menjadi lebih tajam terhadap bau-bau tertentu. Menghidu aroma uap nasi saja bisa membuat perempuan muda itu mual. Selera makannya menurun, bahkan harus dipaksa menelan nasi. Setelah makan, isi perutnya keluar hingga mengeluarkan cairan kuning, muntah pahit. Pertengahan musim kering, kondisi Sekar membaik, tetapi ia tetap tak diizinkan memetik kopi.

"Kamu duduk saja di rumah. Penghujung tahun nanti, aku akan menjadi bapak. Bisa kamu bayangkan, Sekar?" Mata Bagas berkaca-kaca.

"Mas, persalinan dan perlengkapan bayi butuh banyak biaya. Pendapatanmu sebagai penambang tidak mencukupi. Izinkan aku memetik kopi kembali agar bebanmu sedikit berkurang."

Sekar menangis. Dia tak sanggup melihat pundak lelakinya semakin menghitam dan terluka karena harus memikul belerang beku lebih banyak dari biasanya. Hening. Lalu, tangis mereka pecah dalam kesunyian malam. Mereka menangis bukan karena kemiskinan yang mendera sejak lama. Tangis itu pertanda bahwa cinta selalu bisa hadir, bahkan dalam kondisi paling sulit sekali pun.

Di antara rimbunnya dedaunan kopi, dengan kondisi berpayah-payah karena di perutnya ada janin yang sedang berkembang, tangan Sekar telaten memilih biji-biji kopi berwarna merah untuk dipetik. Dia kembali menjadi buruh lepas di perkebunan Arabica.

Satu malam pada penghujung tahun, jutaan titik air tak berhenti tumpah ke bumi. Begitu reda, Bagaskoro sudah bersiap-siap mendaki puncak kawah.

"Mas, apa tak sebaiknya kamu libur dulu hari ini? Hujan baru saja reda. Jalan sangat licin. Aku khawatir." Raut wajah Sekar tampak gelisah.

"Kamu tak usah khawatir, Sekar. Kamu bisa bersalin kapan saja. Aku ndak boleh libur menambang. Kamu doakan seperti biasa, ya!" ujar Bagas sambil mencium dahi perempuannya. Mereka saling mendulang peluk cukup lama.

Dengan berlapis jaket tipis dan sepasang kaus kaki kusam untuk menghalau dingin, Bagas berjalan dalam kegelapan. Senter kecil diikatkan ke kepala sebagai penerang jalan setapak di tebing curam. Sesampainya di dasar kawah, lelaki itu mulai mengambil lelehan belerang. Hanya perlu waktu sepeminum teh menunggu lelehan itu beku dan siap untuk dipotong-potong. Bagas menaruh bongkahan belerang kekuningan dalam keranjang anyaman rotan dan memikul ke pundaknya tanpa alas. Kemudian, dia berjalan menuruni jalan setapak. Angin cukup kencang dan jalan licin menyulitkannya bergerak.

"Bagas! Jangan turun dulu! Angin kencang." Sayup-sayup terdengar teriakan penambang lain.

Tak ada firasat apa pun. Lelaki yang akan menjadi bapak itu tergelincir dan terperosok ke dasar kawah. Dia telah menyelesaikan lingkaran kehidupan di dunia. Tepat pada penghujung tahun berhujan, Sekar menyempurnakan dukanya. Dia hanya diberi waktu setahun untuk melengkapi bahagia sebagai seorang perempuan. Takdir tak pernah menanyakan apakah Sekar suka atau tidak. Sepahit apa pun itu, takdir tetap memaksa Sekar untuk menerima meski hatinya tercabik-cabik. Adakah rasa paling menyakitkan selain kehilangan orang-orang yang kita cintai?

Abimanyu. Begitulah nama anak lelaki keturunan lelaki perkasa penambang belerang. Dia tumbuh tanpa bapak. Sekar adalah ibu sekaligus bapak baginya. Tanpa menangis, tanpa mengeluh, Sekar dan Abimanyu menjalani episode demi episode kehidupan.

"Cah lanang, kamu harus sekolah tinggi-tinggi," pesan Sekar suatu ketika. Kala itu Abimanyu baru saja mengenakan seragam putih merah untuk pertama kalinya.

"Aku ingin menjadi penambang, Bu. Seperti bapak."

"Bapak ingin kamu sekolah tinggi. Kehidupanmu harus jauh lebih baik dari kehidupan orang tuamu. Maka itu, kamu harus nurut sama Ibu."

Sekar yakin sekali. Bahwa penderitaan, kemiskinan, dan kesedihan tak harus selalu melekat pada orang-orang susah. Setiap orang berhak memiliki mimpi. Begitu juga dia. Cukup lelakinya saja yang menyelesaikan lingkaran kehidupan sebagai penambang. Abimanyu tidak akan dia biarkan seperti itu. Perempuan itu bekerja lebih keras, mengumpulkan receh demi receh untuk biaya sekolah anak lelakinya. Tak sekali pun ia mengeluh. Hatinya sekukuh dinding lereng kawah.

Pernah ada lelaki yang mendekati, menawarkan untuk meringankan beban. Dia bergeming. Tak tertarik sama sekali. Bukan karena philobobia,--semacam ketakutan untuk jatuh cinta dan dicintai--melainkan karena hatinya hanya untuk dua lelaki saja. Bagaskoro dan Abimanyu.

Sementara, perempuan-perempuan lain yang bernasib serupa, sudah menikah berkali-kali. Jika semua orang memiliki kesamaan, lantas apakah berbeda dari yang lain menjadi suatu aib atau kesalahan? Tidak, bukan?

Seperjalanan musim terus berganti. Dari keringnya dedaunan hingga tumbuh kembali pucuk-pucuk muda pada ranting. Di suatu tempat berbeda, musim telah bercerita tentang birunya laut, hijaunya dedaunan, wanginya bunga-bunga yang bermekaran, dan sejuknya embun sisa hujan semalam.

"Mari kita masuk saja, Bu! Di teras dingin, Ibu bisa masuk angin nanti."

Sekar tersentak dari lamunan panjangnya. Dia membetulkan letak syal di leher, merapatkan tangan di dada, dan tak berkata apa pun.

Hening sejenak.

"Suatu ketika dulu, kami pernah menikmati pagi yang sejuk, menghirup aroma dedaunan basah, mendengar aubade satwa liar, dan menyaksikan api biru yang muncul dari dasar kawah dipeluk kabut pagi dan asap belerang." Suara Sekar memecah keheningan.

"Akan Ibu lalui kembali bersamaku. Ibu tak lagi bermimpi. Esok pagi kita akan kembali ke tanah kelahiran lelaki perkasa penambang belerang. Lelaki yang Ibu cintai hingga menua."

Pada salah satu sudut rumah, tergeletak selembar kertas di atas meja kecil berukir dari kayu mahoni tua berwarna kecokelatan. Ada tulisan tertera di sana.

Dengan ini menugaskan dr. Abimanyu, Sp.P. di Dusun Sempol, terhitung 15 Desember 2015.

Seperti tabahnya dedaunan kering yang diterbangkan angin, tabahlah dalam keheningan malam, dalam derasnya hujan, dan dalam sesenggukan doa-doa. Sebab kita telah pahami sedari dulu, bahwa jalan ini berliku.

---

Diana Wahyuni seorang guru penulis, alumni Mediaguru Writing Camp 3 Bukittinggi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

ibu ikut gabung grob di KBM ya??? saya baca karya ibu ini pas di KBM, ceritanya menyentuh banget. saya suka gaya bahasa yang dipakai.

05 Aug
Balas

Iya. Tapi di KBM pakai nama beda. Perempuan Hujan.

07 Aug



search

New Post