Dian Garini Lituhayu

Lahir dan tumbuh di Kota Samarinda, aku rapat dengan budaya Melayu yang kental mewarnai kehidupan pinggiran Sungai Mahakam. Berkeseharian sebagai ibu dan ibu gu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Chairo no Hada

Chairo no Hada

Chairo no hada

Di suatu waktu dahulu di masa mudaku, di akhir usia sembilan belas; berbekal peta ditangan, aku memulai perjalanan impian untuk rute bus Tokyo menuju Yokohama. Kusebut sebagai perjalanan impian, karena untuk ukuran tahun 90-an, aku yang bukan anak sultan, sangat beruntung bisa berkunjung ke negeri Oshin, tanpa biaya. Bagi yang belum pernah tahu tentang Oshin, kuberi tahu sedikit. Dia adalah tokoh utama wanita di film serial Jepang dengan 297 episode yang ditayangkan TVRI di tahun 80-an. Semua pembiayaan ditanggung pemerintah Jepang, mulai dari asrama bersarapan, jalan-jalan sampai jajan.

Yokohama berada di Perfektur Kanagawa. Kalau di peta, berdampingan letaknya dengan Perfektur Tokyo. Istilah perfektur kalau di Indonesiakan, sederhananya adalah propinsi. Jarak Tokyo ke Yokohama tidak jauh. Hanya sekitar 40-an kilometer. Kurang lebih jarak Magelang ke Yogyakarta. Perjalanan ini bertolak ke arah Selatan menjauh dari Tokyo. Yokohama sejak lama telah menjadi kota pelabuhan yang cukup ramai. Yukio Mishima, seorang penulis klasik Jepang di tahun 1963 menjadikan Yokohama sebagai set lokasi novelnya. Dia menggambarkan dengan rinci tentang rumah-rumah yang meninggalkan gaya Jepang dan lebih terlihat seperti kota-kota pelabuhan Eropa di sepanjang garis teluk Tokyo di kota Yokohama.

Perjalananku saat itu ditemani rinai hujan. Satu set seragam yang dipinjamkan panitia pelaksana adalah kot panjang berwarna biru gelap. Menyesuaikan cuaca yang cukup dingin di akhir musim gugur. Kot itu kukenakan rapat di badan kupadankan dengan syal pink berbunga merah. Satu yang kubawa, payung bening. Bangga sekali memiliki payung itu. Waktu itu, payung bening itu sangat istimewa. Begitu kekinian dan tidak biasa. Payung bening itu pertama kali kulihat di video klip trio Nola, Widi dan Lusy-AB Three di lagu mereka, Kerinduanku. Payung bening itu kubeli sehari sebelumnya di sebuah swalayan di depan penginapan.

Tugasku hari itu di Yokohama adalah mengunjungi sebuah sekolah dasar dan menjadi undangan di pembelajaran lintas budaya. Ransel biru yang kubawa berisi lengkap mulai dari pensil warna dan buku catatan kecil. Kubawa satu buku tentang Kalimantan Timur sebagai bahanku bercerita tentang asal daerahku. Buku tebal berwarna itu kudapatkan dari seorang kawan yang bekerja di dinas pariwisata Kota Samarinda. Berisi tentang suku Dayak di Kalimantan Timur dengan tampilan telinga panjang dan tato yang eksotis. Juga satu buku lainnya tentang orangutan dan kayu ulin. Ukiran bunga anggrek sebagai motif batik juga kusiapkan sebagai bahan hands-on untuk anak-anak yang kuperkirakan akan kutemui di sekolah tempat kunjunganku nanti.

Perjalanan berjalan santai. Aku hanya sibuk melihat kiri kanan sambil mengabadikan pemandangan di kepalaku, untuk kenang-kenangan. Tanganku memegang kamera instan untuk menangkap peristiwa menarik yang kuharap muncul di sepanjang perjalanan. Zaman itu kamera yang lazim adalah kamera yang hasilnya harus dicuci cetak untuk melihat hasilnya. Bervariasi berisi 12, 24, 36, kadang ada ekstra alias bonusnya satu dua. Ala Kodak kata orang. Meskipun mereknya tidak selalu Kodak. Adapula Fuji, Konika atau Agfa. Sengaja, tak semua kupotret. Tak semua bisa kuabadikan seperti mudahnya menyimpan foto di zaman kini. Maklum, mencetak foto saat itu tergolong sangat mahal, membuatku harus ketat bin irit. Ketat memelihara prinsip ‘hemat beib’. Gulungan rol film harus benar-benar berisi tangkapan peristiwa menarik saja.

Aku duduk di lambung bus sebelah kiri. Menatapi jatuhnya air satu persatu meleleh di kaca jendela. Kuamati bangku penumpang di sebelah kananku. Tidak terlalu penuh. Wajah-wajah berwarna putih mulus dipadu dengan rambut hitam lurus. Dua orang perempuan seusiaku memberi senyum padaku, membuat mata mereka tenggelam ditekan pipi. Khas dan manis. Cantik seperti boneka. Tentu saja bukan boneka Barbie. Tampilan perempuan Jepang bagiku saat itu masih sangat murni, belum teracuni film The Ring dan The Grudge. Silakan tonton sendiri filmnya dan terjemahkan dalam kepala masing-masing bagaimana seramnya tampilan hantu ala Jepang di film-film itu. Cuma Tante Suzanna yang mampu menyaingi.

Perjalanan kurang lebih satu jam itu sangat santai. Meski di luar dingin dan hujan, bus yang kutumpangi hangat dan nyaman. Bus dilengkapi dengan penghangat udara dan pewangi lembut yang aromanya seperti kayu manis berbaur sedikit gaharu. Harumnya hangat. Kalau mengikuti mata, aku ingin terpejam lagi. Tapi tekadku saat itu, kalau cuma mau tidur, aku yang muka bantal ini (baca: gampang lelap) bisa melakukannya nanti, kalau sudah pulang ke Indonesia. Banyak pemandangan dan berkat mata yang sayang untuk kulewatkan.

Masih sibuk melihat pemandangan di luar jendela bus, suara sengau khas terdengar di telingaku dan memintaku menoleh. Ternyata dua perempuan yang tadi kuamati, berdiri sambil berpegangan pada cantolan bus sambil mengamatiku. Mereka tersenyum banyak. Keduanya mengenakan sweater ungu tua dengan syal tebal dan rok mekar diatas lutut.

"Anata wa nihongo o hanasu koto ga dekimasu?"

Nah ini. Ucapan sederhana yang membuatku gelagapan. Aku tersenyum.

"Sukoshi, very bad Japanese language. Watashi wa eigo o hanasu koto ga dekimasu.. "

"Where are you from?" tanya salah satu mereka, dengan bahasa Inggris terbata-bata. Sisi kanan rambutnya diberi satu jepitan rambut berwarna abu-abu, dengan hiasan buah stroberi.

Matanya berbinar. Mungkin seperti kita kalau bertemu turis. Terpukau. Persis seperti kita juga. Yang penting bahasanya nyambung, meskipun pengucapannya ngawur dan tata bahasanya ancur.

"Indonesia.." jawabku segera.

"Ah, we know that, Indonesia.." balas perempuan yang satu lagi. Bibirnya berwarna jambon dan terkesan basah. Giginya rapi sekali. Terlihat saat dia tersenyum berkali-kali.

"Are you going to Yokohama? We both are going to Yokohama, the raining city."

Keduanya bergantian bertanya. Kami berbincang ringan. Campur sana sini, sedikit Jepang dan sedikit Inggris, campur juga bahasa Tarzan. Itu sebutanku untuk bahasa tubuh saat bahasa verbal tak lagi berguna.

Salah satu dari mereka bertanya, si perempuan dengan jepit rambut buah stroberi, "May I touch your hand?"

Aku agak kaget. Aku ulurkan tanganku memberikan punggung tanganku. Yang menurutku ajaib adalah komentar mereka, yang selama di Indonesia, aku tak pernah mendengarnya.

"Wow, your skin is very beautiful, it is brown and healthy", seru si perempuan pemilik bibir jambon. Pujian yang menurutku tak biasa. Belum pernah siapapun memuji kulit coklat sawo begini. Yang kutahu, aku tergolong berkulit gelap dan pasti kelihatan dekil. Aku sontak tertawa. Di kampungku, yang setipe warna kulitku begini, banyak, banyak sekali.

Terlebih ketika mereka kembali bertanya, hampir bersamaan, sambil tertawa, "Do you put tanning lotion? What brand?"

Aku masih sering tertawa mengingat-ingat pertanyaan itu. Warna kulit seperti yang kumiliki ini adalah warna paling bawah di antara susunan warna kulit idaman wanita dan lelaki Indonesia. Jangan disebut lagi untuk ukuran Korea, oppa oppa, ancur deh. Bukan pilihan. Bukan cemceman. Meskipun cemani begini.

Renunganku saat itu, kadang apa yang tidak kita sukai dari diri kita adalah impian orang lain untuk dimiliki. Kulit secoklat dan sematang tembaga kulitku ini bukan hal yang semua perempuan Indonesia bangga, tapi di belahan dunia lain sana, warna kulit seperti ini menjadi idaman dan harapan. Berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan kulit coklat tembaga seperti milikku ini. Yang kudapat sangat gampang, cuma dengan naik motor ke pasar diatas jam 9. Genap, pasti, coklat, eksotis, eh gosong. Tanpa perlu krim penggelap kulit mahal, sejenis bronzer yang hasilnya berminyak dan mengkilap.

Terkadang aku lupa seperti apa sempurnanya aku diciptakan. Aku masih sering kurang puas, kurang terima. Selalu saja ada alasan untuk berhenti menengok kebagusan dan fokus pada kekurangan. Keinginan menyenangkan semua orang dan kelaparan jiwa untuk pengakuan, terkadang menjadi kesempatan bagi kepongahan seorang manusia untuk rewel. Rewel dan terus merengek kesempurnaan yang bukan kawasan makhluk manapun. Tapi, ya, aku berproses. Masa remajaku dengan kulit tembaga dan rambut lurus keras tanpa bentuk bukan idola saat itu, menjadi bahan ceritaku mendidik anak-anak gadis yang somehow kadang insecure dengan keadaan fisik diri. Meskipun ada kalanya faktor eksternal di lingkungan seringkali membuat frustasi. Katakanlah iklan televisi dan media sosial yang mempromosikan glowing itu artinya putih. Absurd memang, tapi pengikutnya tak sedikit.

Bus berhenti di stasiun kota. Udara sejuk menyergap masuk ke dalam bus yang sedari tadi menawarkan banyak cerita. Hujan belum berhenti. Bersiap kubuka payung bening yang sudah kutunggu-tunggu sejak awal pembeliannya. Pasti keren banget pikirku saat itu, menyaksikan tetesan air hujan langsung di atas kepalaku dan mengamati dari bawahnya, sambil mendongak, tanpa basah.

Aku bisa melihat Aya, pemandu rombongan Yokohama. Berdiri di depan stasiun. Melambaikan tangannya padaku agar aku mendekat dan mengikuti langkahnya. Sebelum kami diberi tantangan untuk menjalankan perjalanan solo jangka pendek, kami sudah diperkenalkan dengan pemandu masing-masing kelompok di orientasi Tokyo. Kami berjalan kaki agak cepat menuju sebuah sekolah bercat putih dengan ornamen batu bata merah di bagian depan pagarnya. Terletak agak menjorok ke dalam tikungan jalan. Satu kata, sangat bersih. Rimbun dengan beberapa pohon berdaun kuning merah di kiri-kanan jalannya. Sembari berjalan kaki, dia bertanya bagaimana perjalanan solo-ku barusan. Perempuan berusia 30 tahunan itu berbahasa Inggris dengan fasih. Kepadanya kuceritakan pertemuanku dengan dua gadis tadi. si jepit stroberi dan si bibir jambon. Bodohnya aku tak sempat bertanya siapa nama mereka. Dia tertawa. Kemudian dia berseru, “I wish I could have your skin tone, Dee, it is pretty. Chairo no hada.”

---

Selanjutnya, Aoi Kimono.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Chairo no Hada, wow keren sekali ulasannya. Saya suka sekali membacanya

09 Feb
Balas

terimakasih Bunda.

09 Feb

Sukaaa....keren ..saya baru di Gurusiana...salam kenal

06 Nov
Balas



search

New Post