Dian Garini Lituhayu

Lahir dan tumbuh di Kota Samarinda, aku rapat dengan budaya Melayu yang kental mewarnai kehidupan pinggiran Sungai Mahakam. Berkeseharian sebagai ibu dan ibu gu...

Selengkapnya
Navigasi Web
JANJI HATI - Part 2

JANJI HATI - Part 2

JANJI HATI - Part 2

Jika Bukan Karenamu

-Dian Garini Lituhayu-

You are the Reason

-Callum Scott-

There goes my heart beating 'Cause you are the reason I'm losing my sleep Please come back now

There goes my mind racing And you are the reason That I'm still breathing I'm hopeless now

I'd climb every mountain And swim every ocean Just to be with you And fix what I've broken Oh, 'cause I need you to see That you are the reason

There goes my hand shaking And you are the reason My heart keeps bleeding I need you now

---

Suasana senyap sesaat, Pak Cokro di depan kemudinya kemudian menyalakan audio mobil, lagu-lagu lawas berlirik sederhana mengalun pelan. Sejenak kami tanpa suara. Aku merasa kikuk bagaimana bersikap dan pertanyaan apa yang bisa menjadi pembuka suasana. Barangkali aku juga masih terpesona. Cokro, lelaki yang dimandati ibuku untuk kutemui di sela kegiatanku di Yogja, berpenampilan biasa, bersahaja, namun jelita tampannya. Tak heran ibuku menyimpan rahasia cintanya sampai masa tuanya beranjak merengguk rahasia tutup usia manusia.

Dengan tenang membelah jalanan Yogja yang sudah mulai lengang dengan gas dan rem yang teratur tanpa lonjakan tajam. Malam sudah mulai merayap naik. Aku perhatikan garis wajahnya yang tajam dibalik kacamata berbingkai beningnya. Sesekali kuperhatikan rambutnya yang memutih semua. Ini lelaki di dalam semua cerita ibuku itu, ini lelaki yang menjadi tumpuan harapan ibuku untuk bertahan hidup menjadi pecinta setia.

“Pak, boleh kita bertemu kembali setelah kegiatan saya selesai nanti?”, akhirnya pertanyaanku muncul menyelinap entah darimana. Konyol benar pikirku. Setelah hampir dua pekan aku mencari alamatnya, kurasa takkan kulepas sedemikian mudah menyampaikan pesan cinta ibuku.

“Ibu berpesan, tolong baca diari Ibu, sempatkan di sela waktu Bapak. Ibu pernah bercerita, perselisihan terakhir yang menjadi awal punca Bapak dan Ibu saya berpisah, adalah karena Bapak enggan membaca surel Ibu..”

Aku melihat senyumnya getir.

“Saya tidak ingin termehek-mehek saat itu, Ibumu pandai berkata-kata, maklumlah dia pujangga, semua yang ada di kepala saya bisa mentah kalau ibumu berbicara, semua yang saya pegang sebagai prinsip hidup, mendadak berantakan kalau membaca semua tulisan ibumu yang manis bertutur kata.. “ Nada suaranya tenang tanpa gelombang, tapi aku tahu dia menahan geram.

Tak kulanjutkan ucapanku. Kubiarkan mataku berkelana menatapi sudut kota sepanjang perjalanan ini. Tak lagi kubertanya apapun. Pikiranku kembali melayang pada perempuan yang memberiku nafas hidup itu. Masih jelas di kepalaku saat ibu bercerita apa yang terjadi dulu, di suatu hari saat hanya kerumunan bandara yang menjadi saksi tangisan ibuku. Sesaat setelah Cokro memutuskan hubungan dengan ibuku melalui sebuah pesan singkat beberapa saat menjelang ibu pulang ke Kalimantan. Semua mendadak sepi buat ibu, telepon, sms dan semua jalur berhubungan terputus dalam sekejap.

Gulita, kata ibu. Pekat seperti awan gelap yang merundungi langit Yogja saat pesawat yang akan membawa ibuku pulang siap terbang meangkasa. Agak lucu sekaligus kecut kisahnya ketika ibu bercerita, saat harus menelan lilitan pop mie panas dalam isak dan airmata. Antara lapar karena semalaman tak kunjung tidur lena dan rasa cekat tak mampu menelan semua makanan berbagai rasa.

Sambil mengusap sebuah cincin yang melingkar di jari manis kirinya ibuku memulai ceritanya.

“Cinta itu Nduk, makhluk.”

Aku tak menjawab, aku menatap matanya yang sendu dengan bingkai lingkar mata hitamnya.

“Cinta itu wajib tanpa syarat..”

Kali ini aku tertawa.

“Dunia sudah semakin tua ibu, apakah masih ada cinta tanpa syarat itu?” Ibuku memberiku isyarat, memintaku mendorong kursi rodanya menuju keluar rumah. Aku tak banyak bertanya, kudorong pelan kursi roda ibu dan membiarkan matahari pagi menyinari kami, menerangi obrolan kami.

“Ibu diajak makan malam oleh teman ibu dan suaminya, salahnya ibu mengiyakan..” Ibuku mulai membuka cerita.

“Kok salah Bu?” aku menjawabnya. Ibu hanya tertunduk.

“Cokro pasti tak membaca surel Ibu, Ibu sampaikan, tunggu Ibu, tunggu kabar dari Ibu, baru meluncur ke taman tempat kami berjanji..” Aku menyimak.

“Malam itu Ibu dan Cokro berjanji bertemu..” Kemudian ibu duduk lama dalam senyap.

“Ibu tidak sempat bertemu?” Hanya helaan nafasnya yang kudengar, sesekali menghilang, sesekali terdengar jelas di telingaku.

“Malam itu Yogja hujan deras, macet parah. Dan gadget Ibu hanya tersisa 5 persen..” Aku mencoba membayangkan kisruh yang akhirnya muncul. Berjanji bertemu, komunikasi tak ada, padahal dua insan itu kupastikan sama-sama menahan rindu.

“Perjalanan menuju restoran yang ada di ujung jalan, yang semestinya hanya 10 menit, menghabiskan waktu hampir 30 menit. Mobil Ibu Nina, teman ibu, yang dikendarai suaminya, hampir tak bergerak. Anak-anak Bu Nina yang ramai di dalamnya berteriak dan menyanyi hampir membuat Ibu pingsan, karena detak jantung ibu menggila. Ibu mau turun, Ibu harus bertemu Cokro..” Aku membatin. “Ah ruwet sekali..”

“Sesampai di restoran, semua berjalan sangat lambat, hidangan, pelayanan..” Aku kembali menyusun skenario lawas itu dalam susunan adegan yang barangkali tak kupahami.

“Secangkir teh ibu akhirnya datang setelah hampir 20 menit menunggu, kemudian Ibu pamit, Ibu sampaikan Ibu punya janji bertemu..” Kupastikan ibu merasa tak nyaman meninggalkan meja makan keluarga yang hidangan utamanya belum tersedia itu.

“Suami Bu Nina saat itu mengingatkan, hujan masih deras, kembali ke lokasi acara ibu, dengan menggunakan ojek pasti akan membuat ibu basah kuyup..” Kuletakkan tanganku di daguku. Mencoba melakoni detil kejadian itu.

“Semua cerita menjadi genap gilanya, ketika ibu hampir nekad melompat dari ojek, karena tukang ojek membawa Ibu berputar-putar disebuah wilayah yang Ibu tidak tahu ada dimana, yang Ibu ingat, daerah sepi dengan sungai kecil dan rumah-rumah gelap tanpa penghuni. Ibu sudah basah. Bukan cuma karena hujan, tapi karena airmata. Membayangkan apa konsekuensi semuanya..” Aku masih menerawangi jatuh bangunnya Ibu menata nafasnya saat itu.

“Ibu bergegas berlari membawa semua barang ibu, membawanya bersamaan dengan waktu untuk check out kegiatan. Menanti angkutan yang tak kunjung datang. Mungkin karena hujan. Dan dalam nafas yang bergemuruh itu Cokro menelpon Ibu. Tanpa tanya, hp yang baru terisi baterainya itu menjadi perantara kata-kata Cokro yang tak biasa, kata ganti kamu dan makian saja. Ibu pasrah, bergeming..”

Aku mendorong kursi roda ibu, ada beberapa tetes air turun dari langit, seperti kulihat airmatanya yang mengalir. Kulihat mulai sesenggukkan menahani isaknya.

“Ibu terpana dalam hujan, dalam basah, dalam istighfar yang tak kunjung putus, dalam keyakinan bahwa semua kejadian adalah kebaikan untuk Ibu. Bahwa episode janji tak terpenuhi ini adalah sebuah ketepatan Langit mengatur semua..”

Kadangkala aku tak mengerti sebegitu yakin ibuku akan sesuatu. Tak pernah kulihat dia menanggapi keburukan terjadi meskipun sudah jelas keburukan terjadi. Aku masih ingat sebuah ujarnya.

“Semua sudah benar adanya Nduk, skenario daun jatuh saja sudah diatur, Allah stempel dan setuju, apalagi segala hal yang terjadi di dunia. Kedip matamu hari ini Nduk, dengan siapa kamu berpapasan, tukang baso mana yang menjadi pelengkap makan malammu hari ini, semua sudah ada jalannya. Tinggal diterima dalam keyakinan, skenarionya Allah itu pasti baik..”

“Tapi akhirnya karena hujan dan putusnya komunikasi, karena mengikuti ajakan teman untuk penghormatan, apa yang terjadi Bu? Pak Cokro marah ya Bu? Kemudian menolak membaca semua surel ibu dan tak mengunjungi Ibu meski semalaman Ibu tak tidur duduk di balkon hotel di depan taman?”

Aku mulai mengambil kesimpulan dari semua kisah selisih selasah itu. Pasti Pak Cokro marah besar, pasti hilang sudah rasa rindunya pada ibu, pasti dipikirnya ibu pembuat janji yang dungu yang lena menghargai waktu dan usaha Cokro untuk bertemu ibu. Kulihat ibu mengangguk.

“Itulah yang terjadi Nduk..” Aku tahu, tak mudah bagi ibu menyerah akan sesuatu. Ibu terbiasa memegang keyakinan merawat luka itu harus dengan cinta. Luka apapun namanya. Orang-orang dengan luka di jiwanya akan lebih mudah marah dan menyakiti diri dengan prasangka buruk. Seringkali menghakimi dan menolak mendengar. Orang-orang dengan luka jiwa yang dibiarkan tanpa perban cinta akan rendah diri dan enggan menerima pendapat berbeda. Sering merasa terancam dengan hal-hal bersifat kompetisi dan gonjang ganjing kewenangan. Tapi obatnya hanya satu, kata ibu, cinta dan kasih sayang. Semua akan sembuh. Bertemu tidaknya dengan cinta yang mengobati semua luka jiwa, tergantung cara memandang semua hal. Tergantung mata dan telinga. Tergantung semua indera digunakan untuk menyapa apa.

Aku kembali bertanya, “Jadi Ibu diputuskan hubungan oleh Pak Cokro hari itu? Lewat pesan singkat saja? Kenapa dia tidak mau jantan menemui Ibu?” Aku mulai merangsek dengan pertanyaan di kepalaku.

“Ibu tahu dia mau. Bahkan barangkali dia ada di bandara yang sama dengan ibu saat itu. Ibu bisa mendengar nafasnya. Ibu bisa mendengar sempoyongan hatinya menahan segala rasa. Ibu tahu dia lelaki baik yang terdesak oleh rasa yang tidak bisa dibendungnya. Dia pasti tahu, ibu menangis saat itu. Tapi, ada luka di dadanya yang membuatnya harus menghitung semua yang terjadi diantara kami..”

Kupikir beginilah Ibu, melulu membaikkan yang tak baik. Memuji Cokro yang menurutku mirip dengan bintang drama lelaki Korea yang kisruh dan ruwet dengan pikirannya sendiri.

“Maksudnya menghitung Bu?” Aku mencoba meretas hal-hal yang tak kupahami sendiri. “Bagi Cokro, segala hal yang dilakukannya adalah sama seperti memberi ibu hati, tapi menurutnya ibu malah menuntut diberi jantung, rempela, usus dan brutu sekaligus..” Kali ini aku tertawa, analogi isi soto jeroan yang menurutku aneh.

“Menurut Ibu sendiri seperti apa?” Aku kembali melihat wajahnya menunduk.

“Puluhan surel ibu kirimkan, semua terblokir dan tertolak..” Hatiku ikut miris dan menahan riuh.

“Ibu tak bisa lagi menjelaskan..” Cerita menjadi semakin kompleks untuk kuuraikan.

“Bagi ibu, sejauh apapun jarak, setinggi apapun gunung, akan ibu seberangi, akan ibu daki, demi bersama dengan Cokro. Jarak, waktu, tenaga, biaya, bagi ibu pantas diberikan pada sebuah cinta. Ibu meniti karir baru ibu saat itu menjadi penulis, cuma dengan satu cita-cita, berkumpul di sebuah kota bersama Cokro, tidak lagi terpisah tanah dan udara. Ibu berniat membawa kalian bersama, tinggal di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, hanya sungai dan gunung, hanya hutan dan sawah, hanya pematang hijau yang menemani ibu mengurus anak-anak ibu dan suami ibu, belum ada yang lain yang bisa ibu bayangkan, hanya Cokro..”

Aku kembali trenyuh. Kisah cinta seruwet ini dibiarkan berlarut-larut dalam untaian zaman yang semakin mengkerut. Aku tak sekuat ibu, pun tak sekuat Pak Cokro. Bagiku yang praktis, cinta bukan melulu rasa yang harus dibangun karena landasan saling percaya saja, tapi berjumpa, bertatap mata dan bersentuhan kulit selamanya. Tak bisa kubayangkan menjalani cinta jarak jauh yang tentu lebih berat dan banyak godaannya.

Kulihat ibu menghirup pelan-pelan teh hangatnya. “Bukan cuma rempela, usus, dan brutu. Bahkan kepala dan dada ibu sudah ibu berikan untuk menjadi resiko bersama dengannya. Dengan Cokro. Mengganti arah hidup yang semula hijau menjadi biru. Memindahkan semua prioritas hidup mengikuti standar baru, ala Cokro. Banyak permintaan Cokro yang tidak biasa pada ibu, yang ibu sepakati pada diri ibu, untuk menjadi kebiasaan baru yang mulai ibu nikmati..”

Aku banyak belajar dari ibuku. Satu titik dimana ibuku sangat tabah, melebihi ketabahan hujan di bulan Juni. Tapi aku memilih untuk tak mau gila. Aku bukan pencinta senyap yang bisa berjuang dalam doa. Aku tahu benar setiap hari, menjelang dinihari, ibuku berdoa untuk kami, untuk Cokro, setiap hari.

Aku bukan perengek Langit seperti ibuku. Mungkin belum. Aku ingat ibuku pernah berkata, “Allah itu Maha Pemalu, Dia sangat malu kalau saat kamu merengek meminta, kamu pulang dengan tangan hampa..”

Aku suatu saat bertanya, mengapa selalu ada acara bertemu Cokro sesuai seperti yang ibu minta.

“Langit bosan melihat ibu yang setiap dinihari meminta dipertemukan dengan Cokro..” jawab ibuku sambal tertawa.

Perjalanan ibuku menjadi perempuan tunggal membesarkan kami bertiga, cukuplah menjadi sebuah penanda, mengapa dia keras dan terbiasa tak terlalu lama berduka. Mungkin tak terlihat di mata, tapi tubuhnya melawan dengan segala cara. “Sesaat setelah pesawat tinggal landas, ibu sempat pendarahan hebat, padahal sudah diluar masa menstruasi. Gamis merah ibu, yang ibu kenakan semalaman menunggu Cokro, menjadi saksi bisu, saat kursi pesawat mendadak bernoda. Perjalanan panjang menuju pulang dengan airmata menggenang, membuat Ibu tak mampu lagi berkata, hanya diam, mencoba tenang..”

Tanda awal tubuh menyikapi yang terjadi, belum sinkron antara ketenangan pikirannya, dan kerumitan yang belum terurai jalannya. Kini aku membayangkan, seperti apa cinta yang ibuku pertahankan. Klise dan bodoh untuk ukuran orang muda sepertiku. “Apa yang ibu tulis untuk Cokro dalam surel ibu?”

“Ibu hanya meminta, biarkan sejenak ibu tetap mencintainya, tetap mendoakannya, tetap mengirimkan surel setiap hari untuknya, karena belum ada cita-cita lain kecuali bersamanya..” Ah cinta benar-benar membuat ibuku gila saat itu.

“Paling tidak, sampai ibu bisa temukan tempat sangat jauh untuk meleburkan semua harapan dan asa hidup ibu kepadanya. Yang entah kapan bisa ibu temui. Karena ibu sudah berhenti mencari..”

“Ih, Ibu, untuk apa ibu harus merendah seperti itu..” Ibu menatapku dalam. Lamat dan teduh.

“Bukan cinta kalau tidak sepenuh hati..” Aku mendesaknya,

“Ibu jauh-jauh terbang menemui Cokro, apa yang terjadi, dia dua jam menunggu, itupun karena hujan dan kemacetan jalan, dibalas dengan makian dan kemarahan. Dibandingkan dengan ibu dua tahun menanti dia menjemput ibu. Dan ibu masih terima dan membuka payung lebar atas nama cinta?”

“Kamu tak akan paham Nduk. Cinta itu nol. Apapun yang dikalikan dengan nol, hasilnya akan nol. Cinta itu ya seperti itu. Kesalahan apapun dikalikan dengan nol, akan jadi nol. Kekurangan apapun yang terbentang, jika dikalikan dengan nol, akan menjadi nol. Semua yang ibu jalani bersama Cokro bagi ibu adalah keindahan dan kemanisan semata..”

---

“Sudah sampai Nduk, nanti kalau kamu ada waktu longgar lagi, boleh temui Bapak lagi..” suara merdu itu menggamit lamunanku. Aku tak menjawab banyak. Aku tak merasa kaget dengan penantian ibu selama ini. Setianya dia menunggu lelaki yang mengantarku pulang ke asrama ini. Menyelesaikan salah satu rentet hidup yang harus kujalani. Mobil hitam itu berlalu dengan segera, gerimis jatuh perlahan diatasku. Bergegas aku kembali ke kamar asramaku dan mencoba terpejam. Napak tilas ini seperti roda, berputar dalam sunyi.

---

Jika bukan karenamu, aku tak pernah berniat kembali ke kota itu. Meskipun pesonanya luar biasa dimata siapapaun juga. Jika bukan karenamu, tak akan kucari alasan memohon pada langit untuk bisa mengintip atap rumahmu semata, mengobati rasa rindu. Klise. Tapi jika bukan karenamu, aku tak ingin kemana-mana kecuali menghabiskan masa tua di tempat yang jauh dengan lega. Jika bukan karenamu, tak berpikir aku ingin menghabiskan sisa hidup menjadi nenek dengan gigi rompang dan rambut uban bersamamu. Sebetulnya jika bukan karenamu, aku tak ingin menyapa dunia lagi, semua sudah dingin membatu. Jika bukan karenamu..

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Entah fiksi entah nyata..orang seperti Cokro itu buang saja jauh2 Bund... Apalagi ibunya Ibu sudah banyak berkorban...hapus saja dari memory

12 Dec
Balas

cinta itu nol. kesalahan apapun akan hilang. cinta itu memaafkan. ibu saya mencintai cokro. dengan apa yang dia punya dan apa yang dia tidak punya.

13 Dec

Ditunggu JANJI HATI Part 3 bunda

17 Nov
Balas

Nggih Bun.. Terimakasih.. menunggu terkumpul nyawa..

17 Nov



search

New Post