Dian Garini Lituhayu

Lahir dan tumbuh di Kota Samarinda, aku rapat dengan budaya Melayu yang kental mewarnai kehidupan pinggiran Sungai Mahakam. Berkeseharian sebagai ibu dan ibu gu...

Selengkapnya
Navigasi Web

Janji Hati - Part 6

Parasnya masih pias dan tenang. Dingin seperti gunung batu.

"Ibuku hanya ingin Bapak lebih lentur padanya.." aku menyahut suara-suara gelisah di kepalaku sendiri.

"Paling tidak, itu yang ibu utarakan kepadaku Pak. Ibu tak bermaksud membantah, apalagi sok gagah-gagahan.." seakan tulisan surat beribu halaman itu beradu dalam kepalaku, dalam setiap satu-satu ayatnya.

"Ibumu sok keren, sok hebat, merasa cerdas, keras kepala dan ngeyel.." suaranya tenang tapi berat.

"Tidakkah ada kata bagus untuknya Pak?" kutatap matanya, hanya mencoba menikmati mata indahnya dari kacamata mudaku.

"Bukankah Bapak menganggapnya istri dan bagi ibuku, Bapak adalah segalanya? Mengapa masih ada predikat jelek untuknya?" aku membalasnya perlahan.

"Cinta ya cinta, kalau salah ya harus berkata salah, supaya ibumu bisa diluruskan!" suaranya menghangat.

"Tapi Pak, dengan jarakmu yang jauh dari ibu, takkah lebih mudah mempercayainya sepenuh hati bahwa dia perempuan baik? Dia tak pernah berhenti menjadikanmu sebagai Tuhannya. Dia tak pernah melirik orang lain selain dirimu. Bahkan sampai menjelang matinya pun, dia cuma milikmu.." aku seperti pelanduk, menunduk dalam pasrah dibidik senapan.

"Kalau cuma di kata-kata, semua jadi gampang. Kalau cuma niat semua bisa hilang.." suara hangat itu terdengar lagi.

"Ibu pernah berkata, ibu hanya ingin jangan melulu dicurigai, ibu selalu menjaga marwahnya sebagai istri Bapak. Bahkan di usiaku sudah paham urusan cinta. Ibu tak pernah berhubungan dengan sembarang lelaki.." aku pandangi langit kecoklatan di depanku.

Kopiku sudah hampir habis.

"Segala sesuatu yang dilakukannya hanya untuk menyenangkanmu Pak. caranya berpakaian, dipikirkannya agar disukai olehmu. Caranya bergaul disesuaikan agar disenangi olehmu. Segala hal termasuk foto dan apapun keputusannya, semua diaturnya, demi mendapatkan rasa senangmu. Sampai dia lupa menjadi senang atas dirinya sendiri, dia lupa menjadi dirinya sendiri.."aku menahan suaraku.

Aku tahu persis, di hari tuanya, ibuku tak pernah berpikir menjadi siapapun kecuali menjadi istri lelaki ini, lelaki yang berdiri tegak di depanku dengan pemandangan pantai yang dingin ini. Sudah hampir senja.

"Aku tak suka dibantah, Ibumu tahu itu.." ucapnya pelan-pelan.

"Ibuku sangat tahu Pak. Karenanya dia hanya ingin Bapak tak marah padanya, dia enggan berseteru akan masalah-masalah kecil apalagi besar.." aku menjawab kata-kata lelaki tampan ini dengan tenang.

"Ibuku hanya ingin dihargai, disayangi, dikuatkan saat down dan lemah, bukan semakin dihajar sampai menekuk dan lunglai. Dia tak setiap saat kuat, tapi dia ingin selalu kuat agar memperoleh rasa senangmu Pak. Dia tak selalu ceria, tapi dia bahagia demi Bapak memandangnya gembira. hanya kredit dari Bapak yang dia perlukan. Sampai dia lupa, dia harusya bahagia dengan apapun keadaannya.." aku menggebu.

"Semua sudah kulakukan, tapi ibumu tidak pernah merasa cukup. Silakan mencari yang lain jika tak bersedia dengan caraku, ibumu sudah tahu itu.." suara hangat itu meninggi. Khas.

"Justru ibu ingin selalu bersama Bapak, selama-lamanya. Dia ingin bapak tak melulu mencari salahnya, dia memang tak sempurna, dia merawat kami dengan airmatanya, dengan darahnya. Dia sama sekali jauh dari hebat bagi Bapak. Tapi, dia mempersembahkan hidupnya untuk Bapak.."aku menunduk. Aku datang kesini, jauh menyeberangi laut, hanya untuk menyampaikan hal seperti ini.

Ibuku tak pernah sempurna, tapi kami mencintainya dan kami ingin dia bahagia.

"Dia hanya ingin Bapak bisa menyapanya ceria, seperti seorang sahabat dan kekasih yang tak ingin berpisah. Ingin diperlakukan manja dan tanpa rasa bersalah yang membuncah. Karena hanya satu ungkapan senang bapak, satu potong pujian dari Bapak, ibu seperti tak kehabisan energi meski sepanjang hari bekerja tanpa tidur sama sekali.. Seperti itu ibuku mencintai Bapak.." aku teguk kopi terakhirku, sisa ampas disana.

"Ibu tak perlu menjadi ratu bagi Bapak, dia sudah tahu dia ratu di hati kami, dia jannah kami. Dia hanya ingin bapak mencintainya setiap hari, tanpa berpikir dia perempuan yang tak lurus. Tegurlah, aturlah, tapi jangan menafikan kehadirannya indah bagi bapak dan dirinya sendiri.." aku memutus kalimatku perlahan sambil menatapi pasir di sela jariku sendiri.

Aku tahu ibuku sangat keras. Apa yang tlah dilaluinya menjadikannya tembaga, matang coklat terbakar. Dia menjadi keras pada dirinya sendiri. Dia sanggup melakukan apapun demi kami. dan semenjak lelaki ini datang dalam kehidupannya. Dia hanya ingin lelaki ini mengakui dirinya berharga. entahlah, apa yang ibuku maksud dalam setiap goret ceritanya. Untuk apa dan mengapa, aku tak lagi bertanya.

Sakit dan takut ditahannya. Risiko dan kemalangan ditebusnya. Hanya supaya lelaki di depanku ini melihatnya sempurna. Supaya tidak ada kalimat komplain dari lelaki pemilik suara hangat ini untuknya. Semua dilakukan ibuku dengan rinci dan terencana. Apa yang harus dilakukannya bertahap dan memandang lelaki ini sebagai alasannya. Hanya dia. Supaya lelaki ini bahagia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pilihan katanya bagus mbak... Saya suka. Sederhana tapi penuh makna.

29 Oct
Balas



search

New Post