Dian Garini Lituhayu

Lahir dan tumbuh di Kota Samarinda, aku rapat dengan budaya Melayu yang kental mewarnai kehidupan pinggiran Sungai Mahakam. Berkeseharian sebagai ibu dan ibu gu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Saat Cinta Marah

Saat Cinta Marah

SAAT CINTA MARAH

(MARAH DENGAN CINTA)

-Dian Garini Lituhayu-

Aku masih tercekat. Suara dari seberang teleponku membangunkan aku dari membentangnya pikiranku yang hilang. Kosong. Lengang.

"Cikgu, aku di Balikpapan ini, kamu gak usah pake shuttle, ikut aku saja pulang, kita kongsi uang bensin. Aku masih di wihara, sekitar dua jam lagi ketemu di Sepinggan ya.." Suaranya empuk dan santai. Ahong, teman sekolah masa SMK ku dulu itu memang sekarang menjadi sopir pribadi para biksu dan petinggi wihara, tempatnya bekerja.

Aku masih duduk di bangku ruang tunggu bandara Adi Sucipto bersama dengan segelas kopi panas tanpa gulaku, yang kupesan segera setelah masuk ke area ruang tunggu. Masih mengepul. Tapi hatiku tak beraturan nadanya. Denyut jantungku rasanya berkebat-kebit seperti sendok beradu dengan garpu, tak pernah bertemu. Mau dikategorikan tenang, nampaknya aku tak tenang. Mau dikategorikan panik, aku tak panik. Tapi pengang dan bengang. Tidak ada sinyal. Mungkin di situlah anak muda zaman sekarang, hanya terdengar suara krik krik di kepalaku. Meskipun sesungguhnya keramaian menjadi lagu biasa pengantar setiap suasana di bandar udara.

Pesawatku pukul 14.00, akan membawaku pulang ke kampung halaman. Setelah berada di kota ini selama 4 x 24 jam. Kegiatan di kota ini berlangsung sangat cepat. Telinga dan kepalaku kukosongkan saat berangkat, untuk belajar sesuatu yang baru. Hanya satu ransel yang kubawa, tanpa koper besar. Entahlah, akhir-akhir ini aku sudah mulai letih menggeret koper. Pikiranku hanya ingin ringkas dengan satu ransel dan satu tas tentengan, hendak kemanapun aku pergi.

Perjalanan dalam pesawat kali ini terasa sangat panjang dan meletihkan. Mungkin karena peristiwa semalam. Iyalah, apalagi kalau bukan itu. Pikiranku beradu dengan setiap lapisan debu yang terpesona melihat bayangan awan di atas sini, dari balik jendela pesawat ini. Mau kutangisi, aku sudah lelah menangis. Mau kuratapi, aku sudah semalaman tak tidur merutuki tindakanku sendiri. Mestinya aku lebih peka dan bisa melihat perasaan siapa yang harus kujaga. Ah, penyesalan selalu tiba belakangan, kalau di depan namanya pendaftaran kata orang.

"Cikgu, aku sudah di lantai bawah, aku pakai mobil hitam ya." Tanpa terlalu banyak berpikir aku putuskan untuk berbagi biaya bensin untukku pulang ke Samarinda.

"Cikgu, ini malam ada macet, solar kosong dimana-mana dan banyak sekali truk dan kendaraan besar antri sampai luar kota, sepanjang Balikpapan Samarinda.."

Aku tak banyak berkata. Ngantuk dan penat membuatku hanya diam sepanjang perjalanan. Aku biarkan Ahong tetap bicara.

“Aku baru selesai sembahyang tadi, untungnya pas dengan jam kamu datang. Sudah lama aku gak sembahyang di wihara sini. Aku doakan aku punya papa dan koko. Mama dan istriku juga aku sebut namanya..” Aku tak menyahut. Aku sibuk dengan percakapan di kepalaku sendiri.

“Tidur saja kalau lelah Cikgu..”

"Aku pasang lagu ya Cikgu.."

Cikgu adalah sebutanku dari banyak temanku di sekolah sejak zaman dahulu. Menurut mereka, pembawaanku sudah sepert ibu guru sejak zaman sekolah. Mengalun pelan lagu-lagu lawas yang syairnya membuat kepalaku seperti terjedot-jedot bising. Mulanya tak ada yang bisa membuatku tetap terjaga, sampai sebuah lagu yang membuatku bersudut pandang sebagai seorang lelaki di seberang lautan sana yang sedang marah dan kecewa padaku. Membayangkan aku berada di tempatnya. Dan kubiarkan Seberkas Cinta yang Hilang itu membanting kepalaku lebih keras lagi. Tanpa ampun.

Masih sanggup untuk kutahankan Meski telah kau lumatkan hati ini Kau sayat luka baru di atas duka lama Coba bayangkan betapa sakitnya Hanya Tuhanlah yang tahu pasti apa gerangan yang bakal terjadi lagi Begitu buruk telah kau perlakukan aku Ibu, menangislah demi anakmu Sementara aku tengah bangganya mampu tetap setia meski banyak cobaan Begitu tulusnya kubuka tanganku Langit mendung, gelap malam untukku Ternyata mengagungkan cinta harus ditebus dengan duka lara Tetapi akan tetap kuhayati hikmah sakit hati ini telah sempurnakan kekejamanmu Petir menyambar hujan pun turun Di tengah jalan sempat aku merenung Masih adakah cinta yang disebutkan cinta bila kasih sayang kehilangan makna? Ternyata mengagungkan cinta harus ditebus dengan duka lara Tetapi akan tetap kuhayati Hikmah sakit hati ini Telah sempurnakan kekejamanmu

---

Begitu buruk aku sudah memperlakukannya. Dan egoku masih putus sambung untuk mengakui sinyalku kadang terlalu ngaco untuk mengakui dengan seutuhnya yakin memang aku yang keliru. Airmataku mengalir deras, untungnya lampu memang gelap dan pekat. Perjalanan benar-benar lambat, antrian mengular solar di daerah penghasil bahan bakar ini, tak bisa membuatku berpikir kritis lagi. Senyap. Sepi.

“Kamu ada sedih ya Cikgu..”

Suara Ahong kali ini mengagetkan aku.

“Biasa saja Cikgu, kita semua pernah sedih. Biasa saja menangis Cikgu..” Ah kali ini aku yang sedari tadi berusaha mati-matian menyembunyikan tangisanku, akhirnya meledak. Aku menangis sesenggukan, seperti anak kecil kedapatan dirampas mainannya. Ahong tak berkata apapun, suara lagu dia pelankan sejenak.

“Mau kupasang atau kumatikan Cikgu?” tanyanya pelan. Aku hanya memberi kode dengan tanganku untuk melanjutkan. Aku resapi benar-benar liriknya sampai tercekat semua air liur di tempatnya. Kudengarkan lagunya sambil pelan-pelan menyusuti airmataku dengan tissue.

“Kalau masih ada masalah itu Cikgu, artinya masih hidup. Marah boleh, kesal boleh, tapi jangan lama-lama. Kita kan manusia bukan malaikat..” Aku mengangguk. Tidak terlalu banyak suara yang kukeluarkan kali ini.

“Iya Hong..” Aku kemudian menyelesaikan baitku.

“Kalau masih ada marah itu, berarti masih ada cinta Cikgu..” tanpa bertele-tele, Ahong yang menjadi teman sekelasku sejak zaman SMK kelas 1 itu menjadi penebak sejati, aku sedang kisruh dengan seseorang dalam hubunganku sebagai seorang perempuan.

“Maaf ya Cikgu, dengan siapapun kita ini berhubungan serius, masalah pasti ada, bolehlah sekejap ditangisi, tapi cari solusinya, introspeksi..”

Aku mengiyakan semua kalimatnya, tak kubantah memang aku yang salah. Terlalu santai memandang perasaan orang lain. Mungkin mentang-mentang sudah lama tak merasa, aku lupa kalau ada seseorang yang berhak dan wajib dijaga perasaannya.

“Mau kita kawin sama rahib, sama ustadz, sama orang alim, semua pasti ada masalah, bagaimana kitanya saja..” Ahong mengecilkan suara audio mobil.

”Kamu lihatlah aku ini Cikgu, waktu aku memutuskan kawin dengan istriku ini, aku sudah siap dijauhi oleh keluarga, karena aku keras dengan pilihanku, ya kamu tahu, istriku lebih tua hampir 18 tahun daripada aku. Aku sampai sekarang tidak punya anak. Awalnya sulit untuk mencari irama di pernikahan kami yang pas untuk kami dan keluarga besar kami..”

Aku manggut-manggut, aku tahu benar kawanku yang satu ini wataknya. Dia keras dan disiplin. Kalau A dia akan bela A, bilang A, hanya A. Rapi dan teliti mengurusi segala hal. Perfeksionis pada hal-hal yang menjadi obsesi. Menikah dengan perempuan yang hampir setua ibunya bukan perkara mudah. Teman sekelasku dulu, Dewi, yang jatuh cinta mati-matian dengan Ahong, akhirnya sempat stress dan jatuh sakit begitu menerima kabar Ahong menikah dengan perempuan lain. Dewi sudah sangat yakin, Ahong akan memilihnya.

“Aku kawin dengan istriku yang ini, bukan karena ladang kosong di kepalaku. Aku punya alasan. Hampir seusia ibuku, istriku ini penyayang dan membuatku bebas sebagai aku..” Sesekali saat masa pacaran kami dulu, aku temukan ketaksesuaikan dengan kebiasaanku. Dia Kristen, aku Buddha. Aku vegetarian, dia penggemar daging. Belum lagi kebiasaan. Belum lagi lingkungan pergaulan. Belum lagi keluarga. Maaf ya Cikgu, aku tak bermaksud menggurui, aku hanya cerita, siapa tahu bisa kamu ambil hikmahnya..”

Aku tak menyahutnya. Aku tahu benar dalam kisah perjalanan pernikahannya, Ahong punya banyak sisi yang bisa kujadikan pelajaran baik. Sebagai seorang Buddha yang sangat taat, dia terkenal sangat dermawan sejak zaman sekolahnya dulu. Mungkin karena itu banyak perempuan yang mengartikan salah setiap kedemawanannya. Suka membantu dan gampang kasihan. Lahir dari keluarga Tionghoa sederhana, Ahong hampir bukan tipikal anak remaja yang suka hura-hura. Dia berjalan kaki atau bersepeda sesekali ke sekolah. 11 km jaraknya. Selalu basah baju seragamnya. Tapi suka sekali membantu siapa saja. Apalagi dia pandai matematika. Semua siswa yang bertanya dia layani.

“Aku belum seperti Buddha, dia melayani, dia tidak marah, dia mencari damai saja..” ucapnya suatu hari saat mulai menjadi pekerja di sebuah wihara tak jauh dari tempatku bekerja. Sesekali bertemu jika arisan alumni sebulan sekali membuat kami yang satu kelas berwarna warni isinya, bisa melihat kebaikan siapapun dengan menanggalkan apa sukunya dan apa agamanya.

“Menolong saja, tak banyak bertanya manfaat atau balasannya, itu diajarkan pada kami di wihara setiap hari..”

Prinsip hidupnya itu sesekali aku dan kawan-kawanku perhatikan. Obrolan ringan diantara kami, “Pantas Ahong jarang sakit ya. Hidupnya sehat, makanannya sehat, pikirannya sehat..” Rai pernah menyebutnya begitu.

“Kalau kita cari orang sempurna Cikgu, tidak ada. Ingat itu kalau mau marah lama-lama. Kalau aku percaya karma. Kita doakan yang baik. Memberi lebih banyak, memaafkan, kemudian kita yakini karma baik akan datang membawa hal baik. Sudah..”

Dia melanjutkan ceritanya. Memang Ahong sangat suka bicara. Tiga jam perjalanan ini penuh isi mobil dengan kalimat-kalimatnya.

“Yang dicari persamaannya Cikgu. Ya macam aku dan istriku lah. Sejak kawin sama aku, dia harus masak untukku, tidak boleh minyak yang bercampur meskipun sedikit. Aku tidak boleh makan apapun dengan segala jenis bawang dan lemak hewani. Sementara istriku sejak masih sendiri aku tahu dia paling suka makan daging yang diolahnya sendiri atau sesekali beli. Tahu apa yang dilakukannya untukku di awal pernikahan dulu? Bikin stress Cikgu!”

Aku bisa membayangkan. Satu rumah, tak boleh bertukar piring dan alat makan, terpisah dapur satu dengan dapur lainnya. Demi langgeng dan saling menjaga.

“Semua produk non makanan pun harus kujaga Cikgu, aku tidak gunakan yang ada unsur hewan atau apapun yang berkaitan dengan hewan, sebisa mungkin kuhindari. Minyak kelapa sejak aku kecil mamaku selalu membuat sendiri. Cikgu bisa bayangkan tersiksanya istrku itu kalau mau makan daging. Dia sembunyi. Pernah kulihat dia makan sate sambil menangis. Padahal ya aku tidak apa-apa melihat orang makan daging dengan lahap. Ya mungkin dia kasihan padaku..”

Aku membayangkan posisi istrinya, belajar memasak tanpa bawang dari jenis apapun, tanpa bahan hewani, dengan menggunakan pinggan, piring, gelas, sendok, panci, wajan, bahkan sutil alias spatula yang berbeda.

“Tapi itulah kalau sudah cinta Cikgu, percikan di setahun dua tahun pernikahan itu biasa. Karena cinta sepakat tumbuh menjadi kasih sayang, ya cari yang sama dan biarkan perbedaan menjadi pengaya. Pegang betul sesuatu yang pasangan kita tidak suka, jaga kuat-kuat..”

Aku tercenung beberapa saat, frase sederhana, “biarkan menjadi pengaya” memberiku nafas yang lega dari sumbatnya pikiranku sesaat.

“Istriku itu tidak suka kalau aku bekerja terlalu keras, dia cuma akan bilang, kamu cari apa? Buddha suruh kamu cari apa? Kalau waktu kerja ya kerja, waktu istirahat ya istirahat, waktu olahraga ya olahraga.. Mau kamu kejar sampai kemana dunia ya begitu begitu saja..”

Ah kali ini kalimat itu benar-benar seperti menampar pipiku kiri kanan dengan keras.

“Setiap Minggu pagi aku antar dia ke gerejanya Cikgu, dia itu rajin dan taat ibadah. Dia suka memberi dan membantu. Dia tak punya banyak teman dan tak supel seperti aku. Dia bicara seperlunya. Kalau aku ajak bertemu dengan teman-temanku dia seringkali menolak, kecuali seperti acara sekolah kita. Karena sudah banyak kenal dengan dia yang tak terlalu suka bicara. Waktu aku bilang aku tidak suka dia terlihat ketus dan kelihatan pemarah di hadapan teman-temanku, dan meminta dia sedikit lebih ramah dan suka tersenyum, dia sempat mandeg sesaat. Perempuan Cikgu, perempuan ngambek itu biasa, tinggal aku lah yang waras..”

Kali ini Ahong tertawa. Aku ikut tersenyum. Iya, sesekali tulang rusuk bengkok itu diluruskan dengan keras, dia akan luka, akan patah, bukan akan lurus, bahkan mungkin semakin bengkok.

“Proses mengenali itu tidak instan Cikgu. Harus sabar. Kalau yang satu keras, yang satu harus woles. Kalau yang satu meledak, jangan ikut meledak. Harus mengimbangi lah..”

Mobil semakin melaju dengan merambatnya malam yang senyap. Tikungan tajam disana sini bukan cuma mengharuskan konsentrasi tinggi tapi juga keadaan yang selalu stabil dan tenang.

“Yang lebih penting Cikgu, kalau sedang marah, jangan ambil keputusan apapun. Saat sedang marah, saat sedang sedih, saat sedang sangat gembira; manusia sering lupa, sering khilaf. Kalau kita yang salah, minta maaf saja Cikgu, namanya juga manusia. Tulus tulus minta maaf. Sepenuh hati. Aku tahu lah, urusan begini, Cikgu lebih pandai. Lebih cakap..”

Mobil merapat ke kiri jalan, Ahong mengambil botol air dari sisi kanannya dan menghabiskan seluruh isinya. “Aku masih punya tahu isi, kalau kamu mau, isinya sayur saja, tahunya istriku sendiri yang membuat, demi aku dia belajar membuat apapun. Jeruk dan pisang juga ada kalau kamu mau buah saja..”

Sayangnya aku sedang kehilangan nafsu makan, aku benar-benar tak merasa lapar.

“Aku kenyang Hong..”

“Banyak hal yang awalnya tidak kupahami, kamu tahulah Cikgu, kebiasaan berbeda, cara pandang berbeda, cara makan berbeda, cara ibadah berbeda. Aku mengenalnya dengan mencari titik kesamaan antara kami. Kalau dia marah seperti apa, kalau dia sedang mau haid saja aku perhatikan. Sensinya karena apa. Kesalnya karena apa. Ya tidak mudah Cikgu. Kalau aku sembahyang, dia hanya duduk di luar. Ingin mengajaknya sama-sama ibadah, tentu saja dia tidak mau. Aku tak pernah memaksa. Yang penting kulihat dia soleh dalam agamanya..”

Mencari titik temu, mencari titik kesamaan. Kalimat itu terngiang sampai kini. Merendahkan ego dan berkenan untuk menundukkan hati supaya melihat dari sudut pandang yang tidak sama untuk kemudian bersedia menjadi pelita bagi hati masing-masing yang telah disepakati untuk diisi.

“Kalau sudah sama-sama mencintai itu Cikgu, meskipun marah dan terjadi pertengkaran, akan ada seribu satu alasan untuk kembali, hubungan kan tidak direncanakan sebentar saja kan Cikgu? Pasti direncanakan untuk sepanjang hayat. Ketika marah itu karena kasih sayang, bukan karena benci, semua akan beres Cikgu. Jadi kamu cari tahulah marah itu karena apa, karena apa, karena apa, harus berdua Cikgu. Jangan dia saja, kamu tidak..”

Aku tak membahasnya lebih dalam. Lagu yang kudengar dari mesin pemutar musik dalam mobil ini mengantarkan aku pada kejadian beberapa jam lalu. “I am terribly sorry..” lirihku.

---

Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage. Lao Tzu

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lelaki itu kurang ajar ya Bund... Tinggalkan saja..cari yang lebih baik pasti banyak lelaki yg jauh lebih indah dari dia...pikirkan dg jernih pasti ada diantara sekian lelaki disekitar yg lebih baik dari dia...saya ikut doakan.

12 Dec
Balas

Jatuh cinta tidak bisa request, kan Bapak. Langit sudah punya hitung-hitungannya sendiri. Marah biasa, kita bukan malaikat dan manusia sempurna. Tinggal dikelola. Sedang bete juga biasa, naik turunnya hidup, asal baik-baik ditata. Yakin mau ikut mendoakan kah dia yang ada dalam cerita agar si wanita mendapat lelaki indah yang lainnya? Pikirkan dengan jernih. Jalani yang sekarang, msa lalu dan kesalahan di waktu silam sebagai pemacu kasih sayang dan masa depan sebagai isyarat untuk tetap berniat berbuat kebaikan.

13 Dec



search

New Post