Dian Martiani

Dian Martiani...perempuan berdarah Sunda, putri dari Bp M.Ilyas dan Ibu Bai Rustiati yang keduanya berprofesi sebagai Guru. Meski Lulusan IPB, Jurusan Gizi Masy...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pembelajaran dari Kartini, bukan sekedar Konde

Pembelajaran dari Kartini, bukan sekedar Konde

Oleh: Dian Martiani

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Melalui perjuangan merekalah, kita dapat mengecap manisnya kemerdekaan. Segarnya udara kedamaian. Nikmatnya hidup dalam suasama yang aman. Melalui kiprah mereka pula, kita dapat menikmati hidup berdampingan, diantara keberagaman yang mewarnai bumi kita, bumi Indonesia.

Memasuki bulan April, setiap tahunnya, kita diingatkan pada sosok pahlawan perempuan Indonesia nan bersahaja. Melegenda karena “harum” namanya. Perjuangannya begitu mempesona, meski ditengah keterbatasan dan tekanan penjajah Belanda. Dialah Kartini, sang Guru Bangsa.

Saya pribadi, sangat mengagumi sosoknya, meski tak secara sempurna sejarah berbicara pada kita, tentang siapa sebenarnya dirinya. Bagaimana kiprahnya membela negeri ini. Gambaran kecerdasan, tidak hanya kognitifnya saja, namun kecerdasan sosial, bahkan spiritualnya. Masih lekat dibenak, setiap kali diminta membentuk kelompok atas nama pahlawan, atau membuat presentasi tentang perjuangan para pahlawan, saya kerap memilih sosok Kartini, sebagai pilihan.

Saking terinspirasi dan mengidolakan Kartini sedari kecil, saya sangat ingin menjadi seorang guru. Cita-cita saya jika ditanya ingin menjadi guru. Ketika dibangku TK, saya ingin menjadi guru TK. Ketika dibangku SD, saya ingin menjadi guru SD. Begitu seterusnya, hingga perguruan tinggi, maka sayapun terinspirasi ingin menjadi seorang dosen. Nyatanya...hari ini, saya adalah seorang guru, meski tidak dalam artian profesi formal.

Kartini telah mengajarkan kita banyak hal, semangatnya ini yang seharusnya menjadi inspirasi buat kita semua yang menyandang gelar GURU, baik Guru formal, maupun informal. Karena, sejatinya, semua kita adalah guru, bagi diri, anak-anak kita, dan lingkungan sekitar kita. Ruh dari seorang Guru adalah keteladanan. Kartini, dengan segenap kiprahnya, telah menunjukkan keteladanan itu, untuk kita tiru, dan menjadikannya mutiara-mutiara ilmu.

Pada beberapa referensi yang sangat terbatas tentang sosok Kartini, kita mendapati demikian banyak karakter luar biasa yang melekat pada diri beliau. Kritis adalah salah satu karakter Kartini ketika ia menuntut persamaan hak belajar, yang pada masa itu dibatasi oleh Belanda berdasarkan gender dan struktur sosio demografis yang diberlakukan. Dimana strata sosio demografis kala itu dibagi menjadi beberapa kelas, Kelas Eropa, Kelas Timur Asing, dan kelas Pribumi/Inlander (Amatullah, 2016).

Tulisan-tulisan Kartini yang berjiwa, banyak bercerita tentang pemberontakan dan kegelisahan hatinya tentang kebijakan pemerintah Belanda yang membatasi keinginan belajarnya. Satu dari keinginan kuatnya adalah menterjemahkan Al Qur’an dari bahasa Arab, kepada bahasa Indonesia, yang saat itu dilarang oleh pemerintah kolonial. Keinginan belajar, dan mencerdaskan anak bangsa inilah yang kemudian membuat ia terdorong untuk mendirikan sekolah bagi Pribumi, yang tidak begitu mendapat tempat pada sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah saat itu.

Kartini berkeinginan, generasi Indonesia adalah generasi yang “melek” ilmu, memiliki semangat belajar tinggi, terpelajar, peduli terhadap kehidupan sosial, memiliki harga diri, dan memahami perintah Tuhannya. Untuk itulah, Kartini berkeras belajar terjemahan Al Qur’an secara diam-diam kepada Kyai Sholeh Darat, penerjemah Tafsir Faid Ar Rahman fi Tarjamah Kalam Malik Dayyan, yang oleh sebagian kalangan diisukan sebagai figur fiktif belaka.

Kartini menyadari, bahwa sebelum sesiapapun menjadi guru bagi anak Indonesia, seorang Ibu adalah Madrasah Pertama dan Utama bagi anak-anaknya. Melihat strategisnya peran seorang Ibu untuk menjadi “Guru” utama, maka prioritas pembelajaran yang dilakukan oleh Kartini adalah kepada perempuan, karena kelak ia akan menjadi seorang Ibu. Maka berdirilah sekolah untuk perempuan dibawah kepemimpinannya.

Maka, benderang sudah filosofi dibalik mengapa Kartini membela “kesetaraan” kaum perempuan. Beliau bukan hendak meminta persamaan hak secara umum antara laki-laki dan perempuan, namun meminta persamaan hak diberi kesempatan belajar. Hakikat pembelajaran yang diberikan kepada pewrempuan, bukan untuk dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan bangsa ini, karena ilmunya ia gunakan untuk mendidik anaknya, generasi bangsa calon-calon pemimpin masa depan. Sama sekali bukan hendak menggiring perempuan menjadi wanita karir semata yang berada di ruang publik, tanpa mempertimbangkan fitrah dan peran strategis perempuan sebagai seorang ibu dalam keluarganya.

Perempuan Indonesia harus “Cerdas” menangkap “pesan” dari Kartini ini. Jika mungkin, terus bergerak guna melanjutkan perjuangannya itu. Peringatan hari Kartini tidak untuk menggembar gemborkan emansipasi perempuan, yang justru tidak sejalan dengan hakikat perjuangan yang dimaksud oleh Kartini itu sendiri. Memperingati Hari Kartini, adalah mengambil semangat belajar dan semangat berjuangnya, untuk kemajuan bangsa ini, bukan sekedar memakai kebaya dengan konde dikepala.

5 April 2018

#sinergi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post