Dian Pertiwi

Yang sederhana itu hati Tak perlu direka karena telah tertata Yang sederhana itu hati Tak dapat dipaksa karena ia bisa memilih Yang sederhana itu hati Tak mung...

Selengkapnya
Navigasi Web

Secret Admirer

#TG H29

Secret Admirer 5

Rumah itu sungguh asri, berada di kawasan yang cukup padat, namun terlihat berbeda dari yang lain. Sebuah bendera kuning, dan papan pengumuman berada tepat di depan pagar rumah itu. "Wira,"batinku, sesaat setelah membaca tulisan di papan itu.

Halaman depan yang luas beralaskan rumput dan berbagai tanaman yang beragam, menyambutku. Hatiku bergetar memperhatikan betapa apik tempat itu tertata.

Di kiri depan terdapat dua pohon kelapa yang tumbuh berjajar dan sedang banyak buahnya. Di kanan ada pohon mangga, alpukat , dan entah satu lagi di pojok dekat teras, tampak rimbun namun tidak sedang berbuah. Sementara bunga-bunga tertata rapi di sela-sela tanaman buah kecil dan sayur lainnya. "Masyaa Allah,"ucapku tak dapat menyembunyikan kekaguman.

Halaman depan rumah itu terasa sejuk dan tak riuh, meski ramai orang terlihat disana. Jalan setapak berhias kerikil di tengah, membelah halaman itu dengan indah.

Beberapa wanita yang hadir disana tampak berurai air mata, sebagian tamu lainnya hanya duduk diam di kursi yang berjajar di depan teras, menandakan duka yang sedang mereka rasakan.

Aku terus melangkah ke teras. Teras yang juga cukup besar itu, dikelilingi kolam, dengan ikan-ikan yang beraneka warna dan ukuran. Tak henti mataku terpana keindahannya.

"Na, ayo kita ke dalam!" Tiba-tiba seorang wanita sebayaku menyentuh bahuku. Aku mencoba mengenalinya, rasanya wajah itu tak asing. "Aku Ayu, Na..."bisiknya, seakan menyadari tatapan bingungku. Aku cukup terkejut dengan perubahan pada penampilannya. Ia yang dulu langsing dan berkaca mata tebal, kini tubuhnya berisi dan tak lagi berkaca mata. Digandengnya tangan kiriku, kuikuti langkahnya ke pintu ruang depan rumah itu.

Kami berjalan perlahan diantara para pelayat yang telah hadir dan duduk di atas karpet yang menutupi lantai ruang depan itu. Tepat di tengah ruangan yang juga cukup luas itu, terbaring jenazah yang tak lain adalah Wira Wistara, yang selama hampir lima tahun tak pernah kudengar kabarnya. Wira, yang dalam beberapa hari itu menyita pikiranku. Hatiku kembali bergetar, seketika dadaku terasa nyeri sekali. "Wira..."ucapku lirih.

D_110322

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Salam, Ibu! salam literasi. semangat selalu

12 Mar
Balas

Salam literasi juga, Pak Rizal. Sehat selalu ya..

13 Mar



search

New Post