DIDIK HERMANTO

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
TITIK TERANG LITERASI

TITIK TERANG LITERASI

Bismillahirrahmanirrahim,

Literasi merupakan hal yang tidak lepas dari dunia pendidikan. Bahkan, literasi menjadi tolok ukur keberhasilan di sebuah negara dalam mengelola program pendidikan. Sayangnya, dalam hal ini Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara lain.

Survei yang dilakukan Central Connecticut State University (CCSU) pada Maret 2016, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal literasi, unggul satu peringkat dari Botswana. Sedangkan tiga besar dipegang oleh Finlandia, Norwegia, dan Islandia.

Meski demikian, Indonesia bisa sedikit bernafas lega, lantaran berdasarkan hasil survei World Culture Index Score 2018, kegemaran membaca masyarakat Indonesia meningkat signifikan. Indonesia menempati urutan ke-17 dari 30 negara. Hal ini sedikit banyak dibuktikan oleh Inisiator Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka. Menurutnya, anak-anak Indonesia sebenarnya bukan tidak suka membaca, melainkan ada beberapa faktor yang mengahambatnya. Antara lain, buku-buku yang tidak menarik, khususnya buku-buku terbitan Kementrian/Dinas Pendidikan dan kebudayaan. Dan ini harus diakui pemerintah jika menginginkan adanya peningkatan minat baca anak-anak Indonesia.

Selain itu, anak-anak Indonesia saat ini mengalami kesulitan dalam mengakses buku. Terbukti, saat Nirwan dan tim membuat gerakan “Gerobak Baca” anak-anak sangat antusias menyambutnya, tak terkecuali anak-anak jalanan.

Beberapa masalah yang disebut di atas hanyalah gambaran kecil dari kompleksnya masalah literasi di dunia pendidikan. Meskipun literasi menjadi program pemerintah yang sudah mulai dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sekolah, kenyataannya sekolah masih terkesan “jalan sendiri” dalam mengelola program ini. Mereka seolah-olah kebingungan karena belum mendapatkan penyuluhan yang jelas mengenai program literasi terutama dalam hal teknis.

Aura Literasi

Sebagaimana yang dialami oleh Nirwan dengan Inisiator Pustaka Penggerak-nya. Munculnya kesadaran literasi seringkali berangkat dari keinginan orang-orang tertentu. Sialnya, orang tersebut hanyalah dari kalangan “bawah”. Mereka merintis sambil berharap agar programnya didukung oleh pemangku kebijakan.

Diakui atau tidak, hal ini juga sering terjadi di lembaga pendidikan. Terlebih bagi sekolah-sekolah yang masih berorientasi pada keunggulan kognitif. Apalagi jika guru-gurunya belum semua memahami bahwa literasi merupakan salah satu kebutuhan penting untuk pendidikan anak.

Fenomena tersebut merupakan hal yang wajar karena inisiatif bisa datang dari mana, kapan, dan siapa saja. Hanya saja, sebagai pemangku kebijakan baik pemerintah atau instansi pendidikan harusnya memberikan perhatian kepada mereka. Support dan motivasi sangat diperlukan agar kemajuan literasi bisa dimulai dan berjalan dengan baik.

Penulis teringat masa pendidikan di pesantren dahulu. Meski bukan menjadi bagian dari kelompok literasi, tetapi penulis merasakan aura pembinaan literasi yang intens. Saat itu, kelompok-kelompok jurnalistik bermunculan. Kajian-kajian menjadi pemandangan yang biasa di gazebo masjid setiap menjelang maghrib. Pelatihan maupun seminar dilaksanakan hampir setiap bulan. Bahkan tak jarang mendatangkan penulis nasional.

Majalah dinding (mading) juga seolah tak pernah absen mengisi gedung yang dinamakan “Pusat Kreatifitas Santri”. Bahkan saat akhir tahun, kelompok-kelompok santri, mulai dari kelas, daerah (konsulat) hingga kelompok ekstra kurikuler seperti beladiri, pramuka, olahraga, pencinta alam berlomba-lomba membuat mading, meski mereka bukan bagian dari kelompok literasi.

Uniknya, semua kegiatan tersebut diinisiasi dan dikelola sendiri oleh santri senior. Meski demikian dewan guru juga ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama dari segi bimbingan dan pembinaan. Guru-guru yang mempunyai kompetensi dalam bidang ini seakan tersentuh dengan sendirinya untuk menjadi pembina. Adapun guru-guru yang lain tetap memberikan motivasi sesuai dengan fungsinya. Setidaknya mereka tidak “mencibir” karena (mungkin) sebagian dari anak-anak menjadikan kelompok ini hanya sebagai alasan untuk tidak mengikuti kegiatan tertentu.

Lembaga juga ikut memberikan peran yang tak kalah pentingnya dalam mendukung program ini. Mulai dibentuknya Pusat Studi dan Penelitian Islam (Pusdilam) sebagai perindukan dari kelompok-kelompok tersebut. Menyediakan tempat semisal kantor bagi setiap kelompok. Meski hanya dibuat dari triplek sebagai sekat, dan ditempatkan diantara bangunan seadanya. Tapi anak-anak merasakan bahwa keberadaan mereka sangat didukung oleh lembaga. Sederhananya, mereka tidak perlu kebingungan hanya untuk sekadar menulis naskah dan ngeprint hasil karyanya.

Alhasil, majalah yang menjadi media menulis santri seolah sangat mudah terealisasikan. Mereka ditopang oleh kelompok-kelompok literasi tersebut, khususnya dalam hal naskah hingga pemilihan dewan redaksinya.

Lebih dari itu, beberapa alumni yang menjadi bagian dari kelompok literasi pesantren telah banyak menjadi penulis hebat hingga mendapatkan penghargaan tingkat nasional. Contoh kecil, penghargaan yang baru-baru ini diperoleh oleh teman seangkatan penulis, Ali Ibnu Anwar melalui buku puisinya berjudul Syahwat Batu. Dia memperoleh penghargaan sebagai salah satu buku puisi pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2019. (www.haripuisi.info)

Dukungan semua pihak

Sebagaimana disampaikan di atas, pemerintah atau lembaga tidak perlu sungkan karena upayanya memajukan literasi “didahului” oleh kelompok tertentu maupun anak-anak didiknya. Sebaliknya, mereka harus bersyukur dengan cara menfasilitasinya dengan berbagai kebijakan yang mendukung.

Idealnya, sebuah kebijakan akan lebih mudah digulirkan jika dimulai dari pemangku kebijakan (top down). Namun tanpa mengenyampingkan peran dari bawah (grass roots) sebagai akar rumput dari pelaksanaan program itu sendiri. Justru, kombinasi dari dua hal tersebut akan membuat kebijakan berjalan lebih efektif.

Hal itulah yang diterapkan oleh Edi Sutarto saat menjadi Direktur Athirah Sulawesi Selatan. Sebagai direktur sekolah yang baru diangkat, dia benar-benar menyusun program dan kebijakan baru yang benar-benar matang dengan mengimplementasikan prinsip kombinasi top down dan grass root. Dengan itu, Athirah di bawah pimpinannya menjadi sekolah yang maju dan unggul dalam waktu yang relatif singkat, dari 2011 sampai 2014 (Edi Sutarto : 2015)

Untuk menunjang program pembinaan literasi, pemangku kebijakan bisa melanjutkan dengan menyusun rencana strategis. Mulai dari hal terkecil hingga yang terbesar, termasuk hal-hal kecil yang sudah dilakukan oleh grass roots. Respon inilah yang sebenarnya paling diharapkan dalam pembinaan literasi. Termasuk kehadiran seluruh stake holder mulai dari santri, guru, hingga wali santri. Sedikit peran yang diberikan akan memberikan aura pembinaan yang besar, hingga ke unsur yang bukan bagian dari literasi itu sendiri.

Jika aura dan semangat itu muncul, kasus seperti Eka Kurniawan yang menolak Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni 2019 dari Kemendikbud bisa dihindari. Tidak ada lagi insan literasi yang merasa dianaktirikan karena merasa kurangnya perhatian dari pemangku kebijakan. Penghargaan bagi pelaku literasi bukan sekadar seremonial saat menerima penghargaan saja, tapi lebih dari itu mereka membutuhkan perhatian saat menjalankan program-programnya.

Titik Terang Literasi

Saat ini di Pesantren Terpadu Daarul Fikri sendiri, alhamdulillah pergerakan literasi mulai menemukan titik terang. Terlebih hasrat beberapa guru dan santri dalam menyemarakkan individu yang gemar membaca. Di unit SDIT misalnya, dengan dorongan tim manajemen, dibuatlah pojok baca di kelas-kelas. Ditambah dengan gerakan membaca setiap pekan dua kali. Hingga bagi santri level bawah, mereka seringkali dibacakan dongeng sebagai bagian dari program literasi.

Tak terkecuali di Unit SMPIT dan IMAD, membaca bahkan dijadikan salah satu syarat mengikuti ujian. Sehingga santri secara tidak langsung dilibatkan dengan aura literasi.

Meningkatnya minat santri dalam literasi juga turut dibuktikan dengan banyaknya naskah yang masuk ke redaksi majalah Al-Bayan. Hal ini membuat redaksi “terpaksa” melakukan seleksi yang cukup ketat sehingga ada beberapa naskah belum bisa diterbitkan.

Namun di edisi spesial ini, kami memberikan ruang khusus bagi santri yang telah mengirim naskah. Kali ini, kami menerbitkan semua naskah yang masuk. Hal ini sebagai bentuk apresiasi kami terhadap santri dan guru yang mendukung penuh program literasi pesantren.

Harapannya, semua stake holder dapat merasakan aura dan spirit literasi yang mulai menemui titik terang ini. Ke depan kami juga berharap, meski sebelum ini banyak naskah yang belum bisa diterbitkan, tidak menjadikan semangat literasi menurun, melainkan bertambah untuk terus memperbaiki diri. Akhirul kalam, kami mengucapkan “Selamat” karena anda telah menjmenjadi agen penyemangat literasi. SALAM LITERASI!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post